Connect with us

News

Menyikapi LGBT dari Perspektif Sains

Published

on

Diskusi tentang lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) santer mengemuka di ruang publik. Seperti isu kontroversial lain, topik ini juga tak luput menjadi bahan perdebatan. Perbincangan tentang LGBT muncul di berbagai ranah dengan berbagai bentuk. Bagaimana dengan perspektif ilmu pengetahuan?

Perspektif ilmu pengetahuan patut menjadi alternatif agar dapat melihat LGBT secara lebih komprehensif. Pasalnya, isu LGBT telanjur menjadi isu politik yang dikomodifikasi untuk aneka kepentingan. Baik pihak yang setuju dengan LGBT maupun pihak yang berseberangan dengannya sama-sama mencari pembenaran, bukan kebenaran. Tidak jarang, perdebatan ini antara keduanya berubah menjadi ajang saling olok.

Memang, tidak ada jaminan perspektif pengetahuan dapat menghindarikan kita dari perdebatan. Penyebabnya: dalam internal komunitas peneliti juga terdapat berbagai pendapat yang tidak selalu searah. Hasil riset satu menunjukkan perbedaan simpulan dengan hasil riset lain. Kondisi ini lumrah karena para peneliti lazimnya mengembangkan penelitiannya dengan variabel yang berbeda. Sampel, lokasi, dan metoda yang digunakan para peneliti juga berbeda.

Oleh karena itu, penelusuran pustaka yang dilakukan Merah Putih dilakukan dengan multidispilin. Tinjauan ini dilakukan dengan tiga tinjauan, yaitu psikologi, sosiologi dan antropologi, dan medis.  Perspektif psikologi patut ditempuh karena perilaku seksual berkaitan erat dengan kondisi kejiwaan manusia. Asumsi dasar yang digunakan adalah: setiap tindakan manusia bersumber pada kehendak berupa hasrat yang dimiliki.

Perspektif sosiologi dan antroplolgi dapat digunakan untuk memahami untuk melihat interaksi LGBT dengan manusia lain. Adapun perspektif medis patut digunakan untuk melihat akibat perilaku seksual penderita LGBT.

Peta dan Gerakan

Sepanjang penelusuran Merah Putih, tidak ada satu pun periset yang dapat menyebutkan secara spesifik jumlah LGBT. Namun melihat perkembangan dan intensitas kegiatan organisasi LGBT, jumlahnya menunjukkan tren meningkat. Dalam laporan Being LGBT in Asia, United Nation Development Program (UNDP) menyebut, terdapat dua jaringan nasional dan 119 organisasi yang didirikan di 28 provinsi dari keseluruhan 34 provinsi di Indonesia, beragam dari segi komposisi, ukuran dan usia.

Alfred Kinsey, pendiri Kinsey Institute for Research in Sex, Gender and Reproduction di Indiana, Amerika menghadirkan fakta mengejutkan bahwa jumlah orang dengan homoseksual jauh lebih banyak dari yang diduga orang selama ini. Salah satu temuannya yang mengejutkan dan memantik kontroversi adalah bahwa tidak sedikit orang yang memiliki kecenderungan seksual sesama jenis.

“Lima puluh persen dari laki-laki dan 28 persen perempuan dalam studinya telah memiliki pengalaman seksual sesama jenis,” demikian temuan Kinsey sebegaimana disebut V Clarke dalam laporan berjudul Lesbian, Gay, Bisexual, Trans And Queer Psychology: An Introduction. Simpulan ini konon dilakukan Kinsey atas survei terhadap 10 ribu responden. Tidak disebutkan, apakah sampel tersebut berasal dari masyarakat liberal atau konservatif.

Jumlah LGBT di Indonesia juga tidak pernah diketahui pasti. Meskipun sejumlah organisasi pernah merilis prediksi angkanya, namun secara metodologis angka yang mereka lansir patut diragukan.  Namun demikian, organisasi LGBT di Indonesa ternyata telah berdiri sejak sangat lama. Pada tahun 1969 telah berdiri Himpunan Wadam Djakarta (Hiwad) yang difasilitasi oleh Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, Ali Sadikin. Wadam adalah akronmin dari wanitad Adam, sebutan yang merujuk pada jiwa perempuan dalam tubuh laki-laki.

Organisasi gay Indonesia diketahui telah berdiri pada 1 Maret 1982 dengan nama Lambda Indonesia denga sekretariat di Solo. Tanggal inilah yang kemudian dijadikan sebagai Hari Solidaritas LGBT. Usai itu, organisasi ini juga berdiri di kota-kota lain seperti Yogyakarta, Surabaya, Jakarta dan tempat tempat lain. Mereka menerbitkan media Gaya Hidup Ceria. Pada 1987, organisasi  Kelompok Kerja Lesbian dan Gay Nusantara (KKLGN)  berganti nama menjadi GAYa NUSANTARA (GN)) didirikan di Pasuruan-Surabaya sebagai penerus Lambda Indonesia.

Pendirian kedua organisasi itu disusul dengan pendirian organisasi sejenis bagi para lesbian. Persatuan Lesbian Indonesia (Perlesin) berdiri pada 1986 karena terdorong oleh perkawinan dua wanita pada tahun 1981 yang mendapatkan liputan media massa. Sejak tahun 1983, media massa sudah mulai meliput pergerakan ini. Ada yang menyoroti menyoroti aspek seksual dalam pemberitaan sensasional, dan ada pula yang berisi pembahasan lebih serius.

Gaya Nusantara adalah sedikit organisasi yang sangat eksis. Organisasi ini didirikan dengan visi terciptanya suatu Indonesia yang menghargai, menjamin dan memenuhi hak asasi manusia dimana orang dapat hidup dalam kesetaraan, kemerdekaan dan keanekaragamaan hal-hal yang berkaitan dengan tubuh, identitas dan ekspresi gender dan orientasi seksual. Dua misi utama organisasi ini adalah melakukan penelitian, publikasi dan pendidikan dalam HAM, seks, gender dan seksualitas, kesehatan dan kesejahteraan seksual. Selain itu, melakukan advokasi dalam HAM, seks, gender dan seksualitas, kesehatan dan kesejahteraan seksual.

Realitas Kejiwaan

Dalam laporan berjudul Lesbian, Gay, Bisexual, Trans And Queer Psychology: An Introduction yang diterbitkan Cambrdige University, V Clarke menyebut ada dua alasan utama menggunakan psikologi untuk menegtahui LGBT. Pertama, ada sebuah asumsi umum yang meyakini bahwa LGBT adalah penyakit kejiwaan. Kedua, pendekatan psikologis juga tepat jika digunakan untuk mempelajari pengalaman orang-orang LGBT. Pendekatan ini telah lama digunakan oleh sejumlah peneliti di berbagai negara.

The British Psychological Society yang berbasis di Inggris telah mengembangkan buku ulasan pustaka untuk memandu anggotanya menangani klien dengan kecenderungan seksual “menyimpang”. Dalam buku berjudul Psychopathia Sexualis yang terbit pada 1886, psikiater berkebangsaan Austria-Jerman bernama Rcihard Krafft-Ebing menyebut bahwa homoseksualitas sebagai penyakit (patologi). Perbuatan ini disetarakan Krafft-Ebing dengan pedofilia.  Namun menurut Freud, ketertarikan kepada sesama jenis disebut sebagai bagian dari tahapan perkembangan. Pencetus psikoanalisis ini menilai, ketertarikan sesama jenis adalah proses perkembangan seksual yang belum selesai. Menurut Freud, psikoseksual manusia berkembang dari biseksual ke heteroseksual.

Melalui teori itu Freud berpendapat bahwa kecenderungan homoseksual sebenarnya bisa dialami oleh siapa pun jika seseorang gagal menyelesikan tahapan perkembangannya. Dari situlah Freud percaya bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang buruk, namun tidak jahat. Namun pandangan Freud yang menyatakan homoseksualitas sebagai ketidakdewasaan spikologis dikoreksi oleh ahli psikoanalisis generasi setelahnya. Psikoanalisis seperti Rado berpendapat bahwa homoseksualitas adalah fobia irrasional atas heteroseksual. Adapun Socarides berpendapat bahwa homoseksual adalah ekspresi trauma akibat keterpisahan seseorang dengan ibunya.

Pandangan itu bertahan cukup lama dan dominan selama abad 20. Namun kesulitan untuk menghubungan antara ekspresi seksual dengan penyakit mental membuat American Psychiatric Association menghapus homoseksual dari dari daftar penyakit mental. Namun itu bukan hasil akhir. Penelitian-penelitian yang dilakukan setelahnya justru menunjukkan dialektika yang menunjukan simpulan bahwa homoseksualitas adalah penyakit dan bukan penyakit. Inilah yang memicu perdebatan berkelanjutan.

Tentang Keteraturan

Perspektif sosiologis memandang LGBT dari bagaimana cara masyarakat memandang keteraturan sosial. Dalam Sexual Orentation (2011) Leon Gurero mengutip Emile Durkheim bahwa keteraturan sosial adalah sebuah strategi bagi masyaraka untuk mengendalikan perilaku individu. Dengan asumsi itu, masyarakat ternyata juga memiliki kekuatan untuk mengatur perilaku dasar manusia, termasuk seks. Dua instrumen yang digunakan masyarakat adalah norma dan nilai. Termasuk, bagaimana cara masyarakat menghargai pernikahan heteroseksual melalui lembaga-lembaga sosial.

Para sosiolog mengakui bahwa pernikahan heteroseksual merupakan pernikahan yang diakui benar oleh masyarakat. Pernikahan heteroseksual dikukuhkan dan difasilitasi oleh komunitas dan negara. Di Indonesia, pengakuan negara atas pernikahan heterokseskual dilakukan melalui pencatatan dan pemberian buku nikah. Pengkuan masyaraka direpresentasikan dengan adanya tradisi kondangan dan pesta di beberapa daerah. Pengakuan dari negara lazimnya berumber dari konstitusi. Adapun pengakuan dari masyarakat lazimnya bersumber dari norma dan agama.

Nah, karena masyarakat telah mengakui pernikahan lain jenis sebagai sesuatu yang benar, masyarakat akan memandang hubungan sesama jenis sebagai sebuah penyimpangan sosial. Di sinilah Gurero menemukan bahwa pernikahan sesama jenis kerap menjadi awal konflik sosial. Di beberapa daerah, konflik itu muncul di permukaan dalam bentuk penolakan. Lebih vulgar lagi, konflik itu diekspresikan dalam bentuk kekerasan fisik.

Dari perspektif sosiologis, lanjut Gurero, orientasi seksual merupakan produk konstruksi lingkungan. Ada proses sosiologis yang menentukan bagaimana seseroang mengidentifikasi oreintasi seksual dirinya. Dalam pandangan D’Augelli (1998) seseroang bisa sukses menemukan  orientasi seksualnya jika mendapatkan dukungan dari lingungkan: keluarga, teman, atau masyarakat. Kecenderungan inilah yang membuat LGBT dari lingkungan keluarga LGBT bisa leluasa menyatakan identitasnya tetapi LGBT dari keluarga normal akan cenderung merahasiakannya.

Berkaitan dengan itu, Pulmer (1981) memiliki analisis menarik bahwa homseksualitas lebih berpeluang muncul pada masyarakat urban yang berkultur industri. Pada masyarakat bertipe seperti ini, orang-orang biasanya hidup jauh dari kerabatnya sehingga memiliki kebebasan memilih identitas sosialnya. Peneliti lain menganalisis bahwa identifikasi seorang laki-laki sebagai gay dapat terjadi saat seseorang berusia 6 tahun. Pada usia itulah seseorang berupaya menjaga jarak dari stereotip sosialnya dan berusaha menemukan identitas dirinya. Namun bagi perempuan, prosesnya tidak demikian karena para perempuan memiliki mekansime mengenali hubungan cinta yang kemudian berubah menjadi seks.

Risiko Kesehatan

Di tengah riuhnya perdebatan tentang LGBT, perspektif kesehatan kerap tidak mendapat perhatian serius. Padahal ini urusan penting karena berkaitan dengan kesehatan, persebaran penyakit, dan kematian. Potensi penyakit pada pasangan homoseksual, baik lesbi maupun gay, teridentifikasi lebih besar karena pola hidup dan hubungan seksual.

Dalam laporan Top Health Issue for Homosexual yang diterbitkan Subtance Abuse of Mental Health Service Admission (SAMSHA) disebutkan bahwa oreintasi seksual dan gaya hidup homoseksual mempengaruhi sejumlah kesehatan. Pada kalangan lesbian, penyakit jantung berpotensi lebih besar karena obsites dan merokok yang sudah lazim di kalangan tersebut. Pada kalangan gay, rokok dan alkohol juga sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Laporan itu juga menyebut perempuan lesbi memiliki pelaung terkena kanker payudara lebih tinggi. Hal ini karena perempuan lesbi dan biseksual memiliki peluang hamil dan menyusui lebih rendah. Padahal tubuh perempuan dapat menghasilkan hormon saat hamil dan menyusui yang bermanfaat mengurangi kanker.

Kesehatan fisik juga dipengaruhi tindakan kekerasan yang besar dialami oleh lesbi dan gay. Lesbi dan gay berpeluang mengalami kekerasan karena dua alasan sekaligus, yaitu karena status orientasi seksual mereka dan kekerasan dari pasangan mereka.

Spesifik di komunitas gay, persoalan kesehatan juga kerap muncul berkaitan dengan latihan fisik yang dilakukannya. Citra fisik yang amat penting pada omunitas gay menyebabkan mereka terdorong membentuk fisik, bahkan dengan cara-cara yang tidak biasa. Gangguan makan seperti bulimia dan aneroksia juga lebih besar dialami oleh laki-laki dengan orientasi seksual ini.

Di antara risiko kesehatan itu, penularan HIV/AIDS adalah yang paling mengerikan. Dalam sebah survei di Amerika Serikat pada 2006, laki-laki gay ternyata menjadi penyumbang 48 persen pengidap HIV dari sekitar 1 juta orang. Gay juga menyumbang 58 persen penularan HIV/AIDS kepada penderita baru. Gay berusia muda, antara 13 sampai 24 tahun, dari kalangan Amerika-Afrika menjadi kelompok yang paling potensial terkena HIV, selain Hispanik.

Rahmat Petuguran
Tulisan disiapkan untuk majalah Merah Putih

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending