Connect with us
Ada berita judulnya begini: Ibu-ibu Putar Balik Sembarangan, Diklakson Langsung Emosi dan Bentak Pengendara Lain.
Di bawah berita begini, komentar yang nyaris pasti muncul adalah: “Emak-emak emang gitu, bla bla bla…”.
Baik judul berita maupun komentar berisi (setidaknya menguatkan) setereotip kalau manusia berjenis kelamin dan berusia tertentu punya pengaruh terhadap ketidaktertiban berlalu lintas.
Kata “ibu-ibu” dan “emak-emak” itu mengimplikasikan bahwa pelakunya berjenis kelamin perempuan. Kata itu juga mensyaratkan usia: tak lagi muda, tapi juga belum cukup tua.
Kalau diambil angka moderat, mungkin 40 hingga 50-an.
Benarkah jenis kelamin dan usia tertentu punya pengaruh membentuk perilaku tak tertib berlalulintas? Apa iya sih?
Kenapa variabel jenis kelamin dan usia yang dipilih sebagai faktor dominan (yang dianggap) mempengaruhi ketidaktertiban berlalu lintas?
Baiklah. Karena saya baru sarapan dan punya banyak waktu luang, saya coba paparkan dari dua sundut pandang.
Pertama, tuduhan dan stereotip itu lazimnya bersumber dari kekacauan naratif (narrative fallacy).
Ini jenis kekacauan berpikir yang disebabkan oleh dorongan untuk menghubungkan aneka fakta menjadi kesatuan cerita yang logis. Fakta-fakta ditafsir saling terhubung sehingga tampak membentuk jejaring kausalitas.
Saat saya tahu Andini suka baca dan kemudian saya tahu ia anak profesor, saya menghubungkan kegemaran membacanya disebabkan oleh pengaruh orang tua.
Padahal saya tidak benar-benar tahu: kenapa Andini suka baca lebih dari teman-tean saya yang lain.
Kekacauan naratif begini gampang sekali menjebak pikiran kita. Orang-orang terdidik dan bahkan para peneliti perilaku pun masih bisa terjerumus ke “lubang” ini.
Kemungkinan besar, ini terjadi karena pikiran bekerja dengan mengenali pola-pola. Adapun pola-pola itu biasanya dibentuk dari kelaziman-kelaziman yang diperoleh lewat pengalaman.
Kenapa jenis kelamin dan usia (baca: emak-amak) dihubungkan dengan ketidaktertiban berlalu lintas? Bisa jadi karena pengalaman kolektif masyarakat membentuk pola kauslaitas itu.
Pengalaman kolektif itu bisa terbentuk karena akumulasi pengalaman personal (misalnya, sebagian besar orang pernah mengalami).
Tapi juga bisa terjadi karena pengalaman personal yang diproyeksikan sebagai pengalaman kolektif (misalnya, satu peristiwa didokumentasikan dan disebarkan seolah-olah pengalaman bersama).
Kurang lebih begitu dari perspektif kekacauan kognitif.
Yang kedua, stereotip terhadap emak-emak dan ibu-ibu juga bisa tejadi karena alasan yang lebih serius: ideologis.
Kita harus akui, penduduk Indonesia yang secara demografis didominasi kelompok Jawa-Islam, menyimpan ide-ide patriarkhi sejak dari orok.
Ide-ide itu tak cuma tersimpan dalam pikiran laki-laki, tapi juga pada perempuan.
Itu karena ide ini sudah lama berkembang dan dinirmalisasi sebagai sesuatu yang wajar dan niscaya.
Bagi beberapa orang, ide ini tersimpan secara potensial dalam pikiran. Tapi bagi beberapa orang, ide ini sudah bocor sebagai praktik hidup sehari-hari yang terekspresikan lewat perkataan dan tindakan.
Nah, orang-orang yang menyimpan potensi ide patriarkhi hanya perlu menunggu pemantik untuk membuat ide itu menjadi perkataan dan tindakan.
Pemantik itu bisa berupa pemberitaan, statistik yang dimanipulasi, juga bentuk stimulasi lingkungan dalam bentuk lain.
Dalam konteks peyorasi emak-emak, saya melihat wacana pemojokan itu diinstrumentasi. Bukan sesuatu yang organik.
Sebab, kalau pelakunya laki-laki, jarang sekali ketidaktertiban berlalu lintas dikaitkan dengan jenis kelamin dan usia.
Padahal secara statistik, laki-laki lebih sering melanggar aturan lalu lintas, lebih sering ribut di jalanan, lebih pecicilan, dan lebih sering mengalami kecelakaan fatal.
Statistik Lembaga Asuransi Keselamatan Jalan Raya Amerika menunjukkan laki-laki, dari tahun 1975 sampai 2018 kecelakaan yang melibatkan laki-laki bahkan hampir dua kali lipat dari perempuan.
Tapi ketidaktertiban berlalu lintas yang melibatkan laki-laki lebih sering dihubungkan dengan jenis kendaraan (sopir truk versus angkot) atau merk kendaraan (pengendara Xenia, Avanza, dll). Jenis kelami tak disebutkan seolah-olah tak punya peran.
Kenapa begitu ya? Pada perempuan kenapa jenis kelamin dipandang berperan dan pada laki-laki tidak?
Pilihan-pilihan itu tak organik. Menurut saya, itu sikap yang dibentuk secara ideologis.
Rahmat Petuguran
Juru kampanye emak-emak Indonesia

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending