Connect with us

Tiap orang tua punya imaji kondisi ideal untuk anak-anaknya. Imaji itulah yang mendorongnya memberi nasihat, membimbing, dan mendidik.

Tapi kemudian saya ragu, seberapa besar orang tua punya akses kepada anak-anaknya agar anak-anak dapat hidup ideal sebagaimana diimajinasikan orang tua?

Pertanyaan ini berkelebatan tiap kali kami mendengar suara musik dangdut terdengar dari rumah tetangga.

Tetangga kami memang suka memutar musik dengan suara cukup nyaring. Utamanya dangdut dan campursari. Itu hobi yang saya juga turut nikmati.

Dari tetangga itulah saya mulai kenal lagu “Apa aku salah yen aku cerita apa anane.” Karena begitu sering kami dengar, sebagian liriknya saya hapal.

Bahkan kadang, tanpa saya sadari, lagu itu juga saya dendangkan.

Nah, pengalaman itu mungkin juga akan dialami anak saya.

Selera musik, makanan, busana, dan bahasa mungkin akan pertama kali diperoleh melalui kami, orang tuanya.

Tapi ia kan tidak hidup dalam rumah yang terisolasi. Karena itu, ia juga akan menerima pengaruh dari masyarakatnya. Itu akan membuatnya belajar, menginternalisasi nilai dan selera dari masyarakatnya juga.

Dalam konteks inilah analogi busur dan anak panah yang ada dalam salah satu bait puisi Khalil Gibran terasa tepat:

….

Engkaulah busur asal anakmu,

anak panah hidup, melesat pergi.

….

Berkat hubungan biologis dan sosialnya, orang tua memang punya kesempatan paling besar memberi pengaruh anak. Pencekokan, indoktrinasi, dan adopsi perilaku bisa membuat anak berkembang sesuai kehendak orang tua.

Namun sampai batas apa pengaruh itu efektif dan berterima?

Untuk menjawab itu, kita perlu menyelidiki potensi bawaan dan potensi perolehan pada anak.

Apa yang saya sebut sebagai potensi bawaan adalah sesuatu yang melekat pada tubuh, terkodekan dalam kode-kode genetis.

Adapun yang perolehan adalah segala hal yang diperoleh anak melalui lingkungan.

Pembagian itu segera mengingatkan saya pada teori subjektivisme objektif.

Dalam memahami perilaku dan tindakan manusia, selama ini ada dua pandangan yang bertolak belakang.

Determinisme mengasumsikan bahwa tindakan manusia ditentukan oleh serangkaian sebab-akibat lingkungannya. Manusia adalah buih dalam gelombang perilaku masyarakat. Sebagai buih, ia tidak memiliki keotonoman, melainkan hanya mengikuti ke mana gelombang bergerak.

Bukan cuma tindakan manusia, kondisi alam semesta saat ini juga dipandang sebagai akibat logis dari kondisi sebelumnya

Di seberangnya ada teori kehendak bebas. Teori ini mengasumsikan manusia memiliki kapasitas untuk memilih dan menentukan tindakan secara independen, terbebas dari kekangan alam.

Dua teori itu sama-sama tidak bisa diterima jika bertahan pada titik ekstrimnya masing-masing.

Keduanya kemudian diakomodasi dalam sebuah pandangan baru yang lebih akomodatif: subjektivisme objektif.

Teori yang kali pertama saya kenal dari Pierre Bourdieu ini mengasumsikan manusia dalam dialektika antara kehendak bebas dan kekangan lingkungan. Situasi dialektis itulah yang digambarkan melalui konsep habitus.

Habitus, bagi saya, adalah sebuah struktur mental individu yang relatif stabil yang distrukturkan atau dibentuk oleh struktur lain yang lebih dominan melalui proses konsumsi budaya yang panjang.

Struktur yang distrukturkan itu kemudian menstrukturkan aneka pilihan praktis yang dipilih individu ketika menghadapi situasi konkret dalam arena tertentu.

Dari definisi yang njlimet itu, ada empat ciri utama habitus.

Pertama, ia bersifat relatif stabil atau tetap karena dibentuk oleh proses kultural sejak individu lahir, namun tidak tetap.

Kedua, habitus bisa dialihpindahkan dalam berbagai praktik di berbagai arena yang beragam.

Ketiga, habitus adalah struktur yang distrukturkan, karena keberadannnya dibentuk oleh kondisi objektif di luar manusia.

Keempat, habitus adalah struktur yang menstruktural, dalam artian ia membentuk praktik-praktik sosial yang sesuai dengan situasi khusus tertentu.

Dari empat ciri utama di atas, kita bisa simpulkan bahwa habitus adalah gabungan antara hal-hal yang bersifat bawaan sekaligus perolehan.

Aspek-aspek bawaan yang membentuk habitus misalnya: kapasitas kognitif, kemampuan indra, dan kecakapan tubuh.

Aspek-aspek bawaan itu mempengaruhi jenis, porsi, dan cara anak mengakses dan mengolah informasi dari lingkungan.

Informasi-informasi awal yang diakses dan diterima anak ibarat pondasi, pola dasar yang menentukan bagaimana informasi-informasi berikutnya akan distrukturkan.

Pola dasar itulah yang pada perkembangannya menentukan informasi-informasi yang dapat diterima, diinternalisasi, atau informasi yang akan ditolak dan diabaikan.

Dari uraian itu, tindakan anak dapat dipandang sebagai paduan antara kapasitas bawaan dengan stimulus lingkungan.

Anak bisa menyukai dangdut, jaz, atau rock bukan semata karena ia dicekoki, tapi juga karena ada kondisi yang memungkinkan anak menilai bunyi-bunyian itu sebagai musik dan mengandung keindahan.

Anak bisa menyukai sepeda, skateboard, atau berkuda bukan sekadar karena ia melihat orang-orang di sekitarnya melakukan itu, tapi juga karena ada struktur halus yang membuat anak menilai kegiatan itu sebagai sesuatu yang seru.

Uraian ini menegaskan bahwa anak-anak adalah dirinya sendiri, anak orang tuanya, anak masyarakatnya, sekaligus anak zamannya.

Konsep ini membuat saya sebagai orang tua menyadari batas. Ada wilayah dalam diri anak yang terbuka aksesnya bagi orang tua. Di wilayah inilah berbagai model pencekokan, imitasi perilaku, dan nasihat bekerja.

Sebaliknya, ada wilayah dalam diri anak yang akan berkembang di luar jangkauan orang tua untuk mengendalikannya.

Wilayah itu bisa berdimensi aspek atau waktu. Saya sendiri tidak bisa memastikannya.

Saya sering melihat anak-anak bermain gadget meski orang tua melarangnya. Nasihat orang tua diacuhkan begitu saja seperti tak pernah ada.

Ketika itu terjadi, anak telah berada di wilayah yang tak terjangkau orang tua. Fitur-fitur gadget telah memberinya stimulasi yang diterima anak lebih sesuai dengan pola dasar habitusnya. Adapun orang tua ditolak karena informasi atau nasihatnya tak lagi cocok dengan struktur dasar habitusnya.

Kondisi ini meyakinkan saya bahwa masa-masa awal strukturisasi habitus adalah masa paling berharga bagi orang tua.

Masa ini memungkinkan orang tua mewariskan (secara sosial) nilai-nilai, termasuk keyakinan religius, kepada anak yang akan mempengaruhi cara anak mengakses dan mengolah informasi di sekitarnya.

Nilai-nilai itu mungkin saja goyah, bergeser, atau bahkan disangkal oleh anak-anak di masa yang akan datang. Toh, nilai memang selalu dalam ketegangan dan negosiasi. Namun nilai dasar itu bisa berguna sebagai pijakan bernegosiasi supaya anak-anak punya daya tawar ketika bertransaksi dengan nilai-nilai di lingkungannya.

Rahmat Petuguran
Ayahnya Ishvara Vidya Elakshi

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending