Muda & Gembira
Kalau Kamu Masih Mendewakan IPK Tinggi, Renungkanlah 15 Pertanyaan Ini
SAAT yudisium tiba, tidak ada yang lebih penting buat mahasiswa selain nilai. Tiap mahasiswa pasti penasaran dengan indeks prestasi komulatif yang diperolehnya.
Sangking penasarannya, banyak mahasiswa yang begadang sampai jam 00.00 supaya segera lihat nilainya. Gagal loading, coba lagi. Gagal lagi, coba lagi.
Perasaan senang hinggap kalau IPK kita cum laude. Dengan gaya sok rendah hati yang dibuat-buat, kita akan memposting transkrip nilai di Facebook.
Tapi kalau IPK kita jeblok, dengan nada tegar yang dibuat-buat kita akan nulis status “IPK bukan segalanya.” Atau, “Yang penting adalah proses mendapatkannya.”
Hak untuk bangga atau tidak terhadap IPK adalah hak personal. Tapi, ada baiknya kalau mahasiwa merenungkan 15 pertanyaan ini.
1. Bagaimana IPK Dibuat?
Di dunia akademik, metedologi adalah hal penting yang tak boleh diabaikan. Dalam penelitian, misalnya, peneliti harus pertanggungjawabkan sumber dan analisis datanya. Dari mana data berasal? Bagaimana data itu diolah dan dianalisis?
Idealnya, pertanyaan serupa juga perlu diungkapkan terhadap IPK. Bagaimana dosen memunculkan angka antara 0 sampai 4 itu di kartu hasil studimu?
Secara normatif, skala 0 sampai 4 pada IPK adalah akumulasi penilaian kuantitatif dari nilai tugas, nilai ujian tengah semester, dan ujian akhir semester. Ketiga komponen itu dijumlahkan dengan rasio bobot tertentu. Ada dosen yang membuat rasioa 1:1:1, ada yang 1:2:3, ada juga yang 2:1:2 (ini dosennya bernama Prof Sinto Gendeng).
Tapi, apakah penghitungan itu dilakukan secara ketat? Hanya Tuhan dan dosenmu yang tahu.
2. Mengapa Universitas Perlu Membuat IPK?
Universitas menggunakan IPK sebagai alat ukur. Sebagai alat ukur, IPK berfungsi seperti termometer, speedometer, atau anumeter (alat ukur apa ini?).
Alat ukur biasanya menghasilkan angka atau tanda lain yang merepresentasikan sebuah kondisi. Angka atau tanda ini kemudian dibaca untuk mengetahui kondisi aktual. Dalam hal IP, kondisi yang ingin diketahui adalah perkembangan performa akademik mahasiswa.
Dengan IP, universitas bisa membuat kebijakan yang sesuai kebutuhan mahasiswa. Misalnya, mahasiswa ber-IPK rendah harus mengikuti pendalaman. Adapun mahasiswa IPK tinggi boleh mengikuti kuliah lanjutan.
3. Mengapa di Dunia Ini Harus Ada IPK?
Para pemikir positivistik zaman dulu percaya bahwa realitas hanyalah sesuatu yang dapat dilihat, diamati, diukur. Di luar sesuatu yang dilihat hanyalah takhayul, omong kosong, atau ilusi.
Keyakinan ini tampaknya diadopsi oleh para akademisi beraliran sama. Mereka hanya percaya sesuatu ada jika tampak, terlihat, dan terukur.
Mereka percaya kemampuan, pemahaman, dan penghayatan mahasiswa terhadap sebuah konsep juga harus terukur. Mereka baru percaya bahwa seseorang mampu, paham, atau menghayati jika ada indikatornya.
Keyakinan semacam inilah mendorong para dosen membuat alat ukur dengan berbagai alat tes. Dulu orang percaya soal pilihan ganda cukup akurat. Belakangan, orang yakin soal pilihan ganda adalah kekonyolan sehingga perlu ditinggalkan.
Untuk menggantikan itu, para dosen membuat alat ukur lain, misalnya ujian lisan, menulis makalah, atau portofolio.
4. Apakah IPK Cukup Akurat untuk Menilai Prestasi Mahasiswa?
Jika digunakan untuk mengukur aspek kognitif, tes-tes tertulis mungkin cukup memadai. Tapi, tes-tes semacam itu tidak bisa membaca aspek-aspek kemanusiaan lain, misalnya keyakinan, penghayatan, dan pengamalam. Padahal ketiga hal itu merupakan tujuan tertinggi pendidikan.
Ada sebuah kasus. Seorang guru agama Islam menggelar ujian lisan dengan meminta siswanya menghafal surat Al-Maa’uun. Siswa A mendapat nilai bagus karen hafal surat pendek itu. Tapi siswa B justru mendapat nilai jelek. Siswa B tidak hafal surat Al-Maa’uun, meskipun ia hafal surat Ali Imron.
5. Benarkan Orang Tua Kita Senang IPK Kita Tinggi?
Tiap orang tua berharap anaknya jadi orang baik – apa pun profesinya. Jika anaknya kuliah, tentu saja orang tua ingin anaknya jadi lebih cerdas dari sebelumnya.
Beberapa orang tua bangga anaknya ber-IP tinggi karena bisa dijadikan bahan obrolan di kantor. Beberapa orang tua senang anaknya cepat lulus supaya bisa dipamerkan dengan tetangga.
Tapi, ada juga orang tua yang tak ambil pusing dengan IPK anaknya. Mereka woles. Asal kamu bahagia, dia ikut bahagia juga; berapa pun IPK-mu.
6. Jika IPK Saya Rendah, Apakah Berarti Saya Bodoh?
Masih ingat pidator Erica Goldson saat pidato kelulusan? Lulusan terbaik itu menyinggung satu hal penting.
“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.”
Erica percaya, untuk dapat nilai bagus mahasiswa hanya harus melakukan hal yang sangat sederhana: turuti dosen. Kalau bisa, beri lebih dari yang mereka minta. Dosen suruh buat satu makalah, buatlah 3 makalah. Dosen minta Anda presentasi, berkhutbahlah! Dosen minta Anda rajin kuliah, berangkatlah ke kampus sebelum Subuh.
Tapi, itu pilihan yang punya risiko juga. Jika kamu terlalu sibuk menuruti keinginan dosen, kamu justru tidak sempat menuruti keinginanmu sendiri.
Sata mahasiswa lain naik gunung, kamu di kos kerjakan laporan praktikum. Saat temanmu rafting di Serayu, kamu justru buat paper. Sementara temanmu pergi ke bioskop sama pacar, kamu malah antri di servisan komputer gara-gara laptopmu njebluk!
7. Apakah IPK Berpengaruh terhadap Masa Depan Saya?
Tergantung kamu ingin jadi apa kelak. Kalau mau jadi karyawan, tentu kamu perlu IPK bagus supaya bisa ikut rekrutmen. Tapi kalau kamu pengin jadi pengusaha, yang lebih kamu perlukan adalah kecapakan berinovasi dan mental baja.
Kalau kamu pengin jadi pengacara dan buka firma hukum sendiri, IPK tinggi juga tidak mutlak diperlukan. Yang lebih kamu perlukan adalah keakapaan analisis.
Kalau kamu pengin jadi seniman, berkreasilah. Buatlah sesuatu yang bisa dinikmati banyak orang.
8. Benarkah Perusahaan Suka Karyawan Ber-IPK Tinggi?
Beberapa perusahaan membuat syarat ketat saat rekrutmen. Biasanya mereka hanya mengizinkan sarjana dengan IPK di atas 2,75 untuk ikut seleksi.
Sikap perusahaan ini, menurut saya, bukan strategi merekrut mahasiswa cerdas. Mereka hanya sedang menghindari merekrut karyawan malas.
Sebab, IPK 2,75 itu standar. Itu bisa diperoleh dengan cara-cara standar. Berangkat kuliah, presensi, nulis makalah, lalu ikut ujian. Jika IPK-mu di bawah itu, ada kemungkinan kamu malas. Itu saja.
9. Apakah IPK Membantu Kita Memperoleh Jodoh Idaman?
Menurut analisis psikologi sosial Prof Yamato Sukamesum, jumlah cowok yang tertarik dengan cewek karena kecerdasannya tidak lebih banyak daripada jumlah cowok yang tertarik dengan cewek karena ukuran pa****ranya.
Kalau kamu tidak percaya, perhatianlah saat cowok ngobrol dengan cewek yang baru dikenalnya. Dia memang berlagak memperhatikan pembicaraan, tapi percayalah, pandangan matanya akan “luber” ke mana-mana.
Begitu pula buat cowok nih. Cewek tidak tertarik dengan cowok pintar (apalagi sok pintar!). Lebih banyak perempuan justru tertarik dengan laki-laki yang membuatnya nyaman.
Kamu bisa lihat sendiri di sekolah. Populasi jomblo lebih banyak diisi oleh pecinta karya ilmiah. Cowok yang bisa masukan bola ke keranjang setinggi 3 meter justru sering gonta-ganti pacar kan?
10. Apakah Calon Mertua Menanyakan IPK Saat Lamaran?
Tentu saja iya (jika calon mertuamu adalah dosen pembimbing skripsimu di kampus). Bukan cuma tanya IPK, dia bahkan akan tanya kenapa rasio sampel dan populasi tidak representatif. Dia akan tanya bagaimana data A dan B ditriangulasikan.
Tapi kalau calon mertuamu adalah dai, dia tidak akan tanya IPK. Dia cuma akan memintamu salat yang rajin.
11. Apakah IPK Tinggi Bisa Diagunkan ke Bank?
Tidak! Bank tidak peduli dengan kepintaran orang di sekolah. Bank lebih peduli pada kepintaran orang menghasilkan uang.
Ini memang fakta yang kej(i)am. Tapi memang begitulah cara bank bekerja.
Mereka bisa memberi kredit 5 miliar pada juragan tanah lulusan SD, tapi susah sekali memberi kredit pada lulusan cum laude untuk sekadar buka usaha.
12. Berapa IPK yang Diperlukan Agar Bisa Jadi Presiden?
IPK Joko Widodo saat kuliah di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada hanya 3,05. Tapi dia jadi presiden negara terbesar keempat di dunia.
Presiden Amerika Serikat Barack Obama lulus dari Jurusan Ilmu Politik Columbia University, tapi tanpa penghargaan. Konon dia bisa diterima di Harvard Law School karena politik afirmasi ras. Selain itu, saat itu karirnya sedang bersinar sebagai tokoh politik berhaluan liberal.
Tersebar guyon, sarjana dengan nilai A atau cocoknya jadi dosen, peneliti, atau ilmuwan. Kalau nilanya B cocok jadi karyawan atau PNS. Kalau nilainya C cocok jadi pengusaha. Kalau C atau D, cocoknya jadi politisi.
13. Berapa IPK Maria Ozawa?
Jangan tanya IPK-nya. Tanya yang lain, pasti saya bisa jawab. :-p
14. Apakah Soekarno Pernah Nyontek Supaya dapat IPK Bagus?
Saat sekolah Teknik di Bandung, dia pernah bekerja sama dengan mahasiswa lain saat ujian. Dan dia menyebut perbuatan itu sebagai “gotong royong”. Tidak percaya? Bacalah buku Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adam.
15. Pertanyaan Terpenting: Kapan Kampus Akan Berhenti Memproduksi IPK?
Segera. Tidak lama lagi orang tidak percaya lagi dengan penilaian kuantitatif. Masyarakat ingin penilaian akademik yang lebih otentik. Saat itulah kampus akan berhenti memproduki angka-angka.
-
Muda & Gembira10 years ago
Inilah 10 Sifat Orang Ngapak yang Patut Dibanggakan
-
Muda & Gembira9 years ago
Sembilan Kebahagiaan yang Bisa Kamu Rasakan Jika Berteman dengan Orang Jepara
-
Muda & Gembira9 years ago
SMS Lucu Mahasiswa ke Dosen: Kapan Bapak Bisa Temui Saya?
-
Muda & Gembira10 years ago
Inilah 25 Rahasia Dosen yang Wajib Diketahui Mahasiswa
-
Lowongan9 years ago
Lowongan Dosen Akademi Teknik Elektro Medik (ATEM), Deadline 24 Juni
-
Kampus11 years ago
Akpelni – Akademi Pelayaran Niaga Indonesia
-
Kampus13 years ago
Unwahas – Universitas Wahid Hasyim
-
News8 years ago
Foto-foto Ini Membuktikan Jalan di Banjarnegara adalah yang “Terbaik” di Indonesia
Tandiyo Rahayu
January 29, 2015 at 10:01 am
Anakku..percayalah dg ketulusan isi tulisan jurnalis kebanggaan saya, Sdr Surahmat. Utk poin 6. Sy memiliki testimoni: ipk s1 sy, sebesar 2,4..(lupa)..yg jelas tidak lebih besar dari angka NIM saya …248. Apakah besaran ini selaras dg makna poin 8? Mungkin. Saya malas? Entahlah..tapi secara faktual saya belajar hidup dari kehidupan, saya belajar ilmu keolahragaan di dunia olahraga, dan saya menyerap serta menyesap setiap lembar pengalaman utk dijilid di dlm memori otak dan otot. Seharusnya, pelajaran yg diterima di kelas atau dibaca dibuku, difungsikan sbg validator “isi jilidan pengalaman” yg sdh ada di dlm memori. Niscaya hidup dan ilmu mu akan bermakna
rahmat petuguran
January 29, 2015 at 10:28 am
Salam hormat, Prof Tandiyo. Saya merasa “salah sasaran” kalau tulisan ini dibaca oleh bukan mahasiswa (meksipun pernah jadi mahasiswa). Apalagi yang kini jadi profesor. Agak malu juga sebenarnya, sebab tulisan ini kelakaran saja.
Mudah-mudahan, pengalaman Prof Tandiyo saat mahasiswa bisa jadi bahan belajar untuk saya dan kawan2 mahasiswa lain. Hwehehehe.
indra kertati
January 29, 2015 at 11:12 am
Saya senang membaca tulisan2 mas Rahmad. Cerdik, jenaka dan tentu berisi. Saya selalu menyampaikan pada mhs sy bhw hidup itu butuh keseimbangan. IPK perlu, menikmati masa muda juga penting. Tentu sulit mempraktekannya. Ketika mhs S 1 seringkali saya mbolos kuliah krn saya ikut seminar atau lomba paduan suara. Anehnya dosen saya mengijinkan. Waktu itu sy berfikir sederhana saja. Apa jadinya sy jika hanya duduk diam di kampus padtilah boring ya….hehehe. Smg mhs baca tulisan ini ya….
Ma`rifah
January 29, 2015 at 1:03 pm
Bismillah, mas Rahmat.
Saya juga Mahasiswa yang sedang berjuang juga untuk mengejar “Final Project” tahun ini. hehehe
IPK menurut saya bukan menjadi tolak ukur dalam hasil studi. Pengalamanlah yang bisa menjadi sumber belajar yang lebih baik. Setuju saya dengan Prof Tandiyo “bahwa pelajaran yg diterima di kelas atau dibaca dibuku, difungsikan sbg validator “isi jilidan pengalaman” yg sdh ada di dlm memori”.
Sholekan
January 29, 2015 at 3:22 pm
hahaha. untu point yang ke 3 cukup menggelitik bagi saya. seperti hukum sendiri, antara penganut romawi dan yunani.romawi dengan alasan sesuatu yang terlihat dan otentik itulah hukum, faham ini orang-orang hukum biasa menyebutnya dengan faham legisme (hukum berarti tertulis), pun sebaliknya yunani lebih mementingkan subtansi hukum, bukan sebuah kepastian yang tertuang dalam bentuk tulisan ataupun perundang-undangan. jadi kalau untuk masalah ipk saya lebih melihat pada apa yang terjadi dalam realitas perkuliahan dengan didasarkan bukan pada nilai semata, namun juga perlu memperhatikan kecakapan mahasiswanya, contoh mahasiswa hukum semisal ditanya uu tidak bisa jawab dan mungkin tidak hafal nomor berapa, tapi dia bisa menterjemahkan isi uu itu sesuai apa yang dikehendaki uu tersebut, meskipun kadang uu mempunyai tafsir ganda. hehehe
saya rasa, tenaga pengajar harus bisa lebih melihat realitas yang terjadi dalam mahasiswa, misal kemampuan kognitif, skill, bahan bacaan dan aktivitas intelektual mahasiswanya 🙂
Fadel Abdurrahman
January 29, 2015 at 4:58 pm
Kalo bisa dapat IPK tinggi dan bercita-cita menjadi pengusaha, kenapa tidak? Bukankah lebih luar biasa jika….. “Sebelum menjadi pengusaha hebat, dia memiliki prestasi yang gemilang di kampusnya”
Memang IPK bukan penentu masa depan, tapi bukankah kita berhak untuk berjuang mendapatkan yang terbaik di berbagai bidang. Bukankah lebih baik kalo kita berusaha mengejar semua puncak yang memungkinkan untuk kita gapai?
Itu hanya sebagian dari pemikiran yang terpercik dari mimpi-mimpi saya :3
farid
June 23, 2015 at 4:54 am
wow. . kamu pasti orang bergolongan darah B atau seorang capricorn. .haha. . but, so far i agree with ur statement. . if be the best is possible , why not. .
Rihanna
July 2, 2016 at 11:42 pm
Dari kecil saya selalu mengagungkan nilai sampai saya merasa sedih kalau peringkat saya turun menjadi 2 atau dibawahnya. Saya selalu ingin untuk menjadi yang pertama. Saat SMA saya akhirnya tidak terlalu memikirkan itu dan hanya bersenang-senang. Karena saya berpikir masa kecil saya hanya dipakai belajar agar orang tua bisa bangga dengan saya. Dan saya tidak menyesali itu semua. Awal mula saya kuliah pun sama, saya masih berpikir ipk tinggi adalah sesuatu yg membanggakan apalagi kalau kuliah di kampus yang orang lain bilang kampus ternama. Saya merasa nilai B adalah hal yang buruk ketika menerima transkrip nilai. Tapi apa yang saya sadari belakangan mungkin apa yang selama ini orang lain tutupi dan mereka memendamnya di dalam hati kecil mereka. Bahwa nilai tak selamanya membuat anda bahagia dan menjamin sukses. Apa yang selama ini saya rasakan dan ini faktanya, nilai tak menjamin anda pintar atau bodoh karena pada dasarnya semua anak pintar hanya yang membedakan adalah tingkat usahanya. Yang kedua IPK tinggi bukan berarti anda paling pintar di kelas, yang terpenting anda menarik atau terlihat rajin di depan dosen. Yang terakhir jika anda ingin mendapat nilai bagus, anda hanya cukup mengikuti aturan main si dosen. Apa yang saya katakan salah? tapi itulah yang saya rasakan ketika masuk bangku kuliah. Bukan hanya itu saja, saya rasa selama ini masyarakat kita sudah memberikan sugesti sedari kita kecil bahwa alangkah membahagiakannya mendapat “nilai yang tinggi” ketimbang “mendapat ilmu yang banyak” yang pada akhirnya sekolah hanya ajang formalitas semata agar mendapat pekerjaan yang layak atau agar terlihat bergengsi di depan orang lain. Pada akhirnya saya hanya ingin melakukan apa yang saya sukai dan saya tidak mau lagi yang namanya di dikte sama pemikiran orang lain saya harus ini dan itu. Karena kebanyakan irang sukses seperti bill gates, steve job etc mereka melakukan apa yang mereka sukai bukan apa yang orang lain katakan. Maaf saya jadi kebanyakan curhat, tapi buat mahasiswa saya cuma ingin kalian tidak didikte oleh nilai karena di luar sana hanya ilmu kalian yang akan menjamin kesuksesan kalian dan buat dosen jangan terlalu menekankan pada mahasiswa kalian untuk melakukan tugas dengan baik, untuk membuat presentasi yang sesuai dengan mau kalian, untuk mengejar nilai A karena itulah yang mnyebabkan banyak mahasiswa “mengejar” dosennya. Saya hanya sedih dengan sistem pendidikan seperti itu…
mahad wicaksono
August 1, 2016 at 8:03 pm
setuju….
Sasa
December 30, 2016 at 12:08 pm
?bermanfaat mbak,komentar yang sangat menghibur buat saya sebagai maba. Terimakasih
fien
July 31, 2017 at 2:52 am
Setuju kak.. aqu dulu jg selalu ingn jd number one.. tapi kini aq ngerasain kuliah dpet nilai c-.. oh my god dunia serasa runtuh .. pdahal mnurtku jg nggk bodoh2 amatttt.. tp kok tega bgd dosen e.. sakiiit rasanya.. sekrg aq lbh mementingkan hal2 yg aq sukai aja.. udah males mw bngkit lg.. krn ipk itu keberuntungan menurutQ.. sebell
Fitriani
January 30, 2018 at 11:04 am
Aku hampir stress karena nilai C aku. Padhal aku rajin masuk kuliah. Tapi sekarang aku sadar srdikit dari mahasiswa yang benar2 mencari ilmu yang sesungguhnya. Selebihnya hanya mengejar nilai tinggi.
jeje
January 29, 2015 at 6:08 pm
Meskipun sks lulus saya di semester 5 baru 57 sks yg seharusnya sudah 90 sks. Tapi.. terima kasih tuhan hidupku asik.
dwi
January 30, 2015 at 12:44 am
ha ha ha ha ha ….setuju 1000 %. Selama hidup dan pernah kuliah…sampai kuliah lagi untuk yg kedua kalinya…gak pernah peduli..mau dapat nilai berapa, mau dapat IP berapa apalagi IPK. Orangtua gak pernah nanya…saya juga cuke bebek. Klop deh ! Makanya pas ditanya sama Admin ditempat kerja, ” berapa IPK terakhir bu ?” ( buat pemberkasan ). Saya jawab, ” besok yaaa saya mesti buka dokumen saya dulu dirumah ” ( hi hi hi hi ). Didunia kerja gak menjamin yg ber IPK tinggi dapat bekerja lebih baik daripada ber IPK rendah….contohnya..suami saya yg saat kuliah IPK nya biasa2 saja. Tetapi dibandingkan saya, wah…bagai bumi dan langit…dia lebih rajin, lebih kreatif dsb..( makanya saya mau diajak nikah sama dia,,,ha ha ha ha) so… boleh2 saja mengagung2kan IPK, tetapi ingatlah jangan terpaku dengan angka…kemampuan kita didunia kerjalah yg akan membuktikan kwalitas kinerja kita yg sesungguhnya !!! ( itu menurut saya lho…. )
elz
February 2, 2015 at 1:51 am
daleem..
husain latuconsina
January 30, 2015 at 6:20 am
Perlu difahami oleh mahasiswa
hadi
January 30, 2015 at 6:27 am
Hehehehej menarik sekarang yg di tanya dlm pekwrjaan km bisa apa bukan ipkmu.brpa hehheehe menarik tulisannya (y) 😉
Was
January 30, 2015 at 6:56 am
wahhh, super sekali gan
Bahtiar (BatikOnlinePekalongan)
January 30, 2015 at 7:17 am
Untuk point 4, pengalaman ane banget ketika satu kelompok dapat nilai AB dan cuma ane yg dapet B, padahal masalah akademis sebagian dari mereka tidak jauh lebih baek dari ane bahkan sebagian temen2 mempertanyakan, kenapa dan kenapa kok bisaa… Ane jawab aja udah di 3 matkul nilai ane yg kurang bagus klo diajar dosen si A, trus malah dijawab katanya muka ente lebih ganteng dari beliau sih…haha. Soalnya memang dosen si A ini terkenal suka modusin cewek difakultas ane fakultas bahasa… Ane cuma berfikir mungkin tu dosen lagi menikmati masa tuanya yg dulu kehilangan masa mudanya..hehehe
adi dwi
January 30, 2015 at 9:24 am
Tidak ada yang salahkan dengan mendpaatkan IP yang baik?? Untuk urusan masa depan tuhan dan usaha kita yang menentukan. Jokowi aja yng IP nya 3.05 bisa jadi Presiden, apalagi dengan mereka yang IP nya lebih dari itu. Tulisannya terkesan dan memang menyalahkan mereka yang mengejar IP bagus. Urusan masa depan biar tuhan dn oang tersebut, mendaptkan IP bagus saat kuloah setodaknya itu sebagai MODAL TAMBAHAN untik meraih kesuksesan. Gak ada yang salah dengan IP
eimjan
January 30, 2015 at 12:40 pm
Bener banget tulisan ini. IPK itu boleh kok mau setinggi2nya, tapi tetep aja IPK bukan segalanya. Kalo menurut saya sih kalo sampe nyontek atau apa itu kebangetan, sayang banyak temen saya yang suka banget nyotek -.-
Mufti Islam Insani
January 30, 2015 at 1:10 pm
Alhamdulillah IPK S1 dan S2 masih tetap tinggi tanpa lupa naik gunung dan touring. Heuheu. Tulisan yang bagus, Mas.
Mardian
January 31, 2015 at 1:17 am
Pendekatan filosofisnya bagus sekali mas, sebagian temen2 mahasiswa hari ini terpenjara oleh target IPK sehingga terenggut kebebasannya sebagai manusia dan lupa esensi kemahasiswaanya.
Pandapotan Harahap
January 31, 2015 at 1:32 am
Tak semua yg ditulis disini benar.
contoh yg pebasket gonta ganti pacar, apa hebatnya?
Jk anda ke kampus ya salah satu indikator ya IPK.
Tdk semua didapat dikampus. Tergantung di hati.
apakah semua kesuksesan tanpa dasar?
Tuhan telah memberikan pd manusia bakat dan minat masing2. Jk anda sangat minat pd kinestetik, jgn geluti bidang Ilmiah/Teknis.
IPK dr kampus ibarat cangkul, jk gak mau dipakai silakan saja, tp jk itu syarat mau bilang apa?
Brp banyak org yg punya skill gara2 gak punya IPK atau Ijazah tetap jd Jongos? Kecuali IPK nya asal-asalan, dibuat di kampus X.
Wahyu
August 11, 2016 at 7:10 am
Sedih baca ini komentar heheu. Saya ipk 3.18 jurusan teknik, kampus negeri cukup ternama. Ga tinggi ga rendah juga. Pas2an lah. Tapi, alhamdulillah, cv lumayan penuh. Tidak hanya mentok di ipk saja. Pengalaman organisasi, menjadi pemimpin, mengikuti exchange, alhamdulillahnya di kampus saya tidak hanya melihat dari murni ipk. Ipk saya tidak tinggi namun saya dipercaya menjadi salah satu asisten lab. Lalu pas kerja, seringkali wawancara lebih ditanya ttg soft skill kita. Apa yg sudah pernah dilakukan? Apa yg anda lakukan jika…? Kenapa anda mendaftar disini? Apa kelebihan dan kekurangab anda? Itu yg ditanya. Bukan kenapa ip anda sekian hahaha. Saya sering ikut workshop, sebagian besar perusahaan enggan merekrut ip tinggi tanpa pengalaman organisasi/ekstra kampus mumpuni.(ini orang hrdnya sendiri yg bilang) 🙂 so, buat yg ngerasa ipknya masih pas2an dan ngerasa sangat berat buat naikkin jadi cumlaude, bagusin di softskillnya. Banyakin organisasi dab channel. Tunjukkan kemampuan lewat hal lain.
Nana
January 31, 2015 at 1:40 am
Kalo menurut saya orang yang ber IPK tinggi dia malah sepertinya bersikap sombong , mengakui kalo dia paling pintar . Seperti yang dikatakan di awal kalo dia ber-IPK tinggi pasti di share di facebook atau kadang kan sekarang terkenal tuh dengan BBM , nah pasti langsung deh dijadiin DP bbm abis itu pmnya sok rendah diri gitu misalnya ” gak nyangka bisa dapet segitu” *sambil emot ketawa* maksudnya apa coba -_- hadehh
Iya semoga saja yang ber-IPK tinggi maupun rendah harus dihargai dan jangan dijadikkan tolak ukur kalo dia pintar maupun bodoh 🙂
Andro
January 31, 2015 at 1:54 am
intinya, kalo IPK bisa tinggi ga masalah asal ga ngelupain yang lain kan?
masalahnya adalah banyak yang menganggap IPK tidak begitu penting sehinggal melupakan kewajiban sebagai mahasiswa yaitu belajar(bukan hanya pelajaran ujian)
dari pengalaman saya–dari IPK 2.5 ke 3.1–dapet IPK diatas standar yaitu 3 hanya butuh sedikit niat karena ibu saya ingin IPK saya 3, masa hal seperti itu saja tidak bisa saya kabulkan setelah ibu saya membesarkan saya sedemikian susah payah? lebih baik saya sedikit berkorban waktu main game 2 jam perhari dan pensiun maen band beberapa saat. perlahan2, saya terbiasa dengan gaya belajar yang rutin, toh ujian (TERNYATA) ga jauh2 dari pelajaran yang dibahas dosen dikelas, saya aja yang selama ini ga memperhatikan 🙂 akhirnya? ya tetep maen game juga, tetep maen band juga, tetapi cara pandang tentang belajar udah di set, waktu kosong dipake ngulang pelajaran.
ada lho temen saya di jurusan sebelah yang dari IP 1.8 di semester 3 menjadi IP 4 di semester 7 nya.
kewajiban jadi manusia itu banyak, bersosialisasi lah, berorganisasi, yang saya sangat yakin banyak mahasiswa yang merasa lebih penting kewajiban ini daripada kewajiban hakiki pelajar yaitu belajar. ubah pandangan tentang belajar, pasti bakal sukses insya allah 🙂
hanz
January 31, 2015 at 5:31 am
Menurut saya IPK tinggi atau rendah, bergantung status kampusnya, tentuny kampus negeri lebih sulit dpt IPK bagus ketimbang kampus swasta. So buat para perusahaan lihat background kampusnya dulu sebelum lihat IPK.
rifan
January 31, 2015 at 4:53 pm
saya kurang setuju dengan pendapat anda . karena setiap kampus menggunakan metode distribusi nilai yang berbeda jadi saya kurang setuju klo mendapat IPK bags di PTN lebih sulit dibanding PTS .
untuk perbandingan saja teman saya kuliah di jurusan hukum UNNES. ketika yudisium saya melihat IPK beserta rincian nilainya. disitu tercantum dibeberapa mata kuliah dia mendapatkan nilai 86 dan 87 dan langsung diberi bobot 4 atau “A” sedang di beberapa mata kuliah dia mendapat nilai 74 – 78 dan hanya diberi bobot 3 atau “B”. dari situ saj sudah dapat disimpulkan bahwa metode distribusi nilainya biasa , ketika anda mendapat nilai 55 – 69 mendapat “C” nilai 70 – 84 mnedapat “B” nilai 85 – 100 mendapat A
sedang saya kuliah di PTS di jurusan teknik mesin universitas gunadarma. ditempat saya kuliah menggunakan metode ditribusi nilai yang berbeda. jika ditempat teman saya UNNES mendapat nilai 85 otomatis mendapat nilai A . sedang di saya mendapat nilai 85 belum tentu mendapat nilai A karena di tempat saya dalam penentuan nilai A,B,C,D,E melihat nilai tertinggi di kelas . jika nilai tertinggi misal 88 maka yang mahasiswa yang mendapat nilai 88 mendapay nilai A sedang yang bernilai katakan 85 hanya akan mendapat nilai B .
dari sudah jelas perbedaanya . JADI DI PERGURUAN TINGGI SWASTA UNTUK MENDAPAT IPK TINGGI TIDAK SEMUDAH YANG ANDA KATAKAN . PADA KENYATAANYA PTN LAH YG JUSTRU LEBIH MUDAHUNTUK MENDAPAT IPK TINGGI
Felix
February 1, 2015 at 11:58 pm
kesimpulannya, gak semua kuliah di PTN maupun PTS itu gampang. itu juga bergantung dari kebijakan masing-masing jurusan di univ tersebut. mungkin anda pernah tau, ada jurusan di salah satu PTN yang belum ada mahasiswa nya yang lulus dengan IPK > 3.5. bukan karena mahasiswa nya malas tp karena bobot nilai yang diberikan dosen lebih tinggi dari kemampuan mahasiswa.
rifan
February 2, 2015 at 7:47 am
yess , saya sangat setuju dengan pendapat anda
mudah sulitnya mendapat IPK tinggi bukan karena perguruan tinggi tersebut negeri atau swasta. karena memang setiap kampus memiliki kebijakanya masing masing.
jadi plisss hilangkan pandangan mendapat IPK tinggi di perguruan tinggi swasta lebih mudah dibanding perguruan tinggi negeri.
karena saya juga merasakan sendiri. betapa sulitnya mendapat IPK >3,5 dikampus saya yang swasta.
andri
January 31, 2015 at 6:02 am
Alhamdulillaah…dgn ipk standar,pngalaman bekerja ttp saya dapatkan. Ga melihat ipk,tp bagaimana kreatifitas seseorang. Kejar ipk tinggi jg bagus banget. Yg jelas Ortu pengen liat anakny lebih baik darinya. Smoga dgn ipk yg lebih baik, lebih bermanfaat pula ilmu2ny di masyarakat.
nita
January 31, 2015 at 7:18 am
kalo pendapatku gini:
bagi mhs, kuliah adalah bernafas, sedangkan organisasi/keg kmps lainnya adl beraktivitas
terserah kalian tinggal pilih yang mana..
kalo aku mah pilih ke2nya.. tapi dgn kuliah sbg prioritas utama.. krn sbg makhluk hidup, kita lebih butuh u/ bernafas, daripada beraktivitas.. dan dgn bernafas, itu dpt menunjang aktifitas..
gak ada kan makhluk hidup yg ga bernafas??..
kalo masalah keberuntungan, karir, jodoh, dan ganjaran yg akan didpt.. itu semua urusan tuhan..
kita kan tinggal melakukan yang terbaik.. 😉
Wiwaha
January 31, 2015 at 8:17 am
IP mungkin bukan satu2nya indikator maupun variabel kesuksesan, tapi setidaknya memperoleh IP yang baik adalah salah satu cara yang bisa saat ini saya lakukan
Abdullah
January 31, 2015 at 8:40 am
Assalaamu’alaikum..
Saya suka artikelnya, mas Rahmat Petuguran. Ringan dan mencerahkan.
Tapi khusus poin ke-13, saya yakin niat mas pasti hanya untuk memasukkan unsur jenaka, tapi sebagai seorang muslim, saya sangat keberatan anda menyandingkan asma Allah (insha Allah) pada hal-hal yang tidak mulia. Asma Allah itu Maha Agung, Maha Suci, Maha Mulia.
Permohonan dari sesama muslim, mohon di-edit ya, mas..
Wallahul muwaffiq, wa Jazaakallah khair..
rahmat petuguran
January 31, 2015 at 8:58 am
Waalaikum salam, Ustad…
Terima kasih sudah diingatkan. Tulisan pada poin ke-13 sudah saya sunting. Mohon maaf lho kalau sempat bikn Ustad tidak nyaman. Hehehehe.
Salam,
sepatu futsal
February 1, 2015 at 12:29 am
siji meneh bro, mengko nek mati ora ditakoni IPK mu pira
Mar
February 1, 2015 at 1:21 am
IPK bukan segalanya. Tapi kita tidak akan diberi tanggung jawab yang besar apabila tidak bisa menangani pekerjaan/tanggung jawab yang kecil. Tugas seorang mahasiswa adalah belajar dan patokan bagi mahasiswa yang dikatakan berhasil dalam studi yaitu nilainya (IPK). Tapi mahasiswa pun harus sadar, dunia kerja tidak hanya membutuhkan nilai: kreativitas, sikap pro-aktif, kerja-sama tim, kejujuran, dsb.
Saya pun dulu punya IPK jelek (2,0) karena lebih suka main game ketimbang kuliah. Karena lulus mepet DO dan IPK jelek, akhirnya saya memilih untuk melanjutkan kuliah. Di tahap berikut ini saya lebih rajin karena saya sadar bahwa saya harus segera mandiri. Bersyukur, bisa lulus dengan IPK > 3 dan saya pede melamar ke perusahaan-perusahaan.
Saat diwawancarai, sempat saya ditanya tentang IPK jenjang kuliah sebelumnya. Dengan jujur saya sebutkan nilai saya apa adanya dan saya katakan bahwa saya dulu memang malas. Saya juga jelaskan bahwa motivasi saya sudah berubah menjadi lebih baik, dan itu dibuktikan dengan IPK yang tinggi. Akhirnya saya diterima bekerja, dan uniknya, tampaknya pengalaman mengurus jaringan saat main game dulu turut membantu saya diterima.
Apa makna dari semua itu bagi saya? Perusahaan membutuhkan orang yang jujur dan ulet. Meski pernah gagal, kita harus bisa menunjukkan bahwa kita bisa bangkit kembali, tidak rapuh. Dengan demikian apakah punya IPK tinggi itu jelek? Tidak juga. Memperoleh IPK > 3.0 bukan perkara sulit. Syaratnya sederhana: datang kuliah, perhatikan dosen saat mengajar, kerjakan tugas, dan rajin review apa yang sudah dipelajari. Masa itu saja tidak bisa? Jika masih gagal juga, mungkin itu bukan bidang kita: segera lirik bidang lain, cari tahu kekuatan kita! Banyak jalan ke Roma, tapi itu semua membutuhkan usaha. Jangan jadikan pengalaman Bill Gates (dan orang-orang besar lainnya yang dulunya tidak lulus sekolah) sebagai tameng kemalasan kita. Jika kita malas, akui saja itu!
Bara
August 9, 2016 at 2:30 am
Benar sekali kak, jika kita malas, akui saja itu!
mahasiswi
February 1, 2015 at 1:55 am
Selamat pagi, saya adalah mahasiswi baru sebuah perguruan tinggi negri di Depok, menurut saya tulisan bapak bagus, sangat bagus. Tapi cenderung memojokkan mahasiswa yang berambisi untuk memiliki IPK tinggi. Memang ipk tinggi bukanlah segalanya tapi bagaimanapun ipk juga sedikit mencerminkan kepribadian kita bukan? Mahasiswa jaman sekarang sudah banyak yang pintar kok pak, kita juga sibuk berorganisasi, pacaran, menikmati masa muda, menambah pengalaman, dan lain-lain. Bukankah lebih hebat jika kita dapan imbang dalam semuanya? Toh ya kewajiban mahasiswa memang untuk belajar 🙂
ripin
February 1, 2015 at 3:31 am
Tidak semua orang bisa mencapai IPK tinggi karena setiap orang punya kemampuan yang berbeda.
Seandainya ada tiga mahasiswa yang betul-betul rajin yang diberi tugas yang sama dengan keadaan masing-masing mahasiswa adalah sebagai berikut.
1. Ada mhs yang hanya belajar sebentar langsung paham dan mudah mengerjakan tugas dari dosen.
2. Ada mhs yang belajar lama namun tidak paham-paham dan pelupa ditambah kesusahan mengerjakan tugas dari dosen.
3.Ada mhs yang belajarnya butuh waktu yang lama dan waktu mengerjakan tugas juga butuh waktu lama misal mahasisi.
Kalau tidak percaya cek sendiri wahai para mahasiswa dan para dosen
sultan
February 1, 2015 at 3:42 am
Banyak yg terjanggal di hati, namun hanya ingin mengeluarkan satu atau dua komen dan saran. Pertama no. 13, ini ranahnya main-main, ya enggak usahlah ditulis. No. 14, kita sama-sama tahu bahwa di dalam buku sukarno penyambung lidah rakyat edisi revisi. Ia mempunyai dua keinginan, agar namanya di sesuaikan dengan bahasa indonesia yg baku. Jadi redaksi no. 14 diganti, bukan soekarno tapi, sukarno.
devy
February 1, 2015 at 6:22 am
Iya, ipk memang bukan penentu, banyak kok yg dpet ipk tinggi tp bukan dri hasil kerja otaknya, yg ada hasil kreatifitasnya memanfaatkan orang lain dan kepandaiannya dalam mencari tugas kakak angkatan untuk di copast. Hahahaha
aufa
February 1, 2015 at 10:41 am
Tulisan yg tdk mendidik
Mahasiswa
February 1, 2015 at 12:14 pm
Tulisannya dikemas apik pak, sederhana dan menarik. namun menurut saya tulisannya hanya berpandangan sempit pak, takutnya ini dibaca oleh siswa SMA kemudian dia malah terdoktrin untuk mendapatkan ipk kurang baik, dia berpendapat buat apa punya ipk baik? toh dengan ipk buruk”blablablabla” malah nanti jadi malas-malasan saat kuliah pak,dan tulisan ini merupakan tameng kemalasannya.kan malah salah kaprah.
ipk baik atau buruk itukan tergantung universitasnya standar masing2 univ kan juga berbeda.
IPK tinggi juga bukan hasil bimsalabim kan? ada usaha dibelakangnya, ada perjuangan dibalik itu, ada niat baik. Apa salahnya jika kita bermimpi memiliki IPK yang tinggi? insya Allah banyak manfaat yang akan kita dapat ketika kita mendapat ipk tinggi,(TRUST ME)dan saat ini hal yang bisa saya lakukan sebagai mahasiswa adalah membuat orang tua bahagia dengan berprestasi salah satunya dengan berusaha memiliki ipk baik.
tidak semua mahasiswa yang memiliki ipk bagus hanya fokus pada kuliah, banyak juga yang berkontribusi dikampusnya, berorganisasi,bermain. justru menurut saya itu adalah cara MENIKMATI MASA MUDA YANG MENYENANGKAN.
bukan mengkerdilkan yang ber-ipk kurang baik, namun tetaplah berusaha dengan cara yang baik memperoleh hasil yang baik. Bermimpi boleh namun bukan berambisi.
SARAN: mungkin sebaiknya artikel ini ditambahi dengan motivasi juga untuk bisa meraih ipk baik pak agar seimbang, dan tentunya melihat dari berbagai sudut, bukan hanya satu sudut sehingga timpang.
Ridho
February 1, 2015 at 12:45 pm
IPK itukan tolak ukur bagi mahasiswa.. justru dengan adanya ipk.. kita akan terlatih untuk menyelesaikan sesuatu tepat pada waktunya.. dan ipk itu tidak mudah harus berkorban seperti yg pak prof bilang.. kan sebagai mahasiswa harus bersusah2 dahulu bersenang senang kemudian.. klo masalah cewek.. ya tuhan aja yang ngattur.. yang baik insya Allah mendapatkan jodoh yang baik.. maf curhat 😀
Susanti Muharni
July 27, 2016 at 2:58 am
hhahahahaa kocak..tapi bener bener..target IPK mmbwt mhs mnjadi terlatih menyelesaikan sesuatu tepat waktu..setidakny sadar akan hal it lh 😀
skavo
February 2, 2015 at 6:24 am
IPK?
IPK?
tergantung dirimu. kau ambil ok, lupakan juga tidak papa. Yang penting bertanggung jawab.
#Tingkatkan ketakwaanmu kepada Tuhan itu yang segala-galanya.
alam
February 2, 2015 at 10:30 am
sudah datang suatu jaman dimana ketika satu orang bicara terus terang, maka orang lain juga akan ikut berterus terang. makin banyak yang sependapat, makin kuat apa yang dibicarakan. tapi belum tentu teruji kebenarannya.
Susanti Muharni
July 27, 2016 at 2:59 am
yoi!
Rahadian
February 2, 2015 at 4:08 pm
Tidak setuju..IPK itu penting, karna kalo IPK saya dibawah 3, ikatan dinasku batal dan musti ganti 20 jutaan.. T.T
Nadya
February 2, 2015 at 4:08 pm
Benar. Tapi sayangnya orang tua selalu membanding bandingkan ipk saya dengan mhs lainnya. Saya berkata memang ipk saya lebih kecil dari mereka tapi saya memperolehnya dengan jujur dan berusaha sendiri dari belajar dan menghafal. Bukan maksud menjelekkan teman saya tsb, tapi ini fakta. Kenapa org tua saya lebih menilai hasil dibandingkan proses dan kejujuran yg saya lakukan? Mungkin ada saran utk saya. Terima kasih:)
Bara
August 9, 2016 at 2:38 am
Pertahankanlah kejujuran kakak, kakak bisa memperoleh IPK yang jauh lebih baik dengan tetap menjadi seorang mahasiswa yang jujur.
Rizky
February 3, 2015 at 2:07 am
Bener banget, percuma kalo IPK tinggi tp bukan hasil kerja keras sendiri.
yang saya kejar waktu kuliah itu ilmunya bukan IPK.
adhi gandha
February 3, 2015 at 2:18 am
ya mnurut saya balik lagi tiap individu, balik ke pola pikirnya.. mau belajar akademik apa non akademik.. mau pilih yg mana, mau berkembang ndak… ipk rendah atau tinggi bukan jaminan sukses atau tidaknya di masa depan nanti… asal ada tujuan dan mau brusaha.. serta rajin berdoa dan tidak durhaka.. hhaha.. #salammahasiswasemesterakhir
Satyo Hernawan R
February 3, 2015 at 3:44 am
kalo terlalu pinter IPK tinggi, malah balik ke kampus juga jadi dosen, kalo terlalu rendah tetep di kampus juga ga lulus-lulus, mending sedang-sedang saja hehehe
muhammad ubab
February 4, 2015 at 12:06 pm
simple aja bro, intinya gini. IPK itu sebagai tolak ukur gimana ente usaha dikampus, kalo IPK bagus berarti usaha ente maksimal kalo IPK jelek usaha ente kurang maksimal. la wong buat dapetin IPK aja usahanya kurang maksimal gimana mau jadi PENGUSAHA?? please dijawab giamana caranya jadi pengusaha jika kita malas berusaha?
rvp
February 6, 2015 at 8:21 am
bagus tulisannya,tapi memang terlalu sempit pandangannya menurut saya..inti dari semua tergantung orangnya,niatnya,dan kerja kerasnya,..dan ipk tinggi juga tidak salah,mempunyai ipk tinggi juga sebuah pendukung dalam kita berorganisasi,kalau akademiknya pintar pasti dalam berorganisasi juga pintar dalam berfikir dan cepat dalam memutuskan sesuatu. ipk juga sebuah tanggung jawab bahwa kita kuliah sungguh” untuk kedua orang tua kita. intinya antara ipk dan pengalaman kalau bisa di ambil baik dua”nya kenapa tidak? toh juga tidak ada ruginya.
sadr
May 3, 2015 at 7:52 am
semoga para HRD perusahaan baca yah wkwk. kampus ehh bahkan fakultas pny kebijakan masing2 menentukan nilai. kayak sistem nisbi, dll. jadi ga adil klo kita memukul rata. ipk bagus penting tapi jadi sia-sia kalo skill ga sebanding sama nilai yg ddpt ketika kuliah. renungin diri sendiri pantes ga dpt IPK segitu.
van
May 23, 2015 at 11:50 pm
Menurut saya, tidak ada yang salah dengan ipk tinggi ato rendah, yang penting mereka bertanggung jawab atas hidup nya. Jika pengejar ipk tinggi terus dipandang sebelah mata, trus siapa yang akan ngambil bagian dalam pengembangan ilmu pengetahuan negeri ini? Ipk rendah juga tetap bisa survive dengan kemampuannya sendiri asal tetap gigih. Dan mereka juga bagian penting dalam pembangunan, karena setiap manusia punya kemampuan dasar untuk menghasilkan output.
duo serigala instagram
May 24, 2015 at 8:29 pm
Alhamdulillah IPK S1 dan S2 masih tetap tinggi tanpa lupa naik gunung dan touring. Heuheu. Tulisan yang bagus, Mas.
bastian
June 5, 2015 at 8:16 pm
Keren nih orang mana nih?
Kalo anak malang atau pas di malang Pengen ngopi bareng sambil bertukar pemikiran enak kelihatan nya 😀
D
June 9, 2015 at 4:00 pm
Hmmm…IPK ya…IPK saya terakhir bertahun-tahun yang lalu 3.46 dan putus kuliah karena masalah dana…namun saya tetap dapat jadi karyawan di salah satu perusahaan asing dengan cakupan se Asia Pasifik selama 7 tahun terakhir ini walau status tidak lulus…hari gini psikotes dan skill lebih diutamakan…itu pengalaman saya pribadi…kalo masalah jadi Jongos itu saya ada rekan yang S1 IPK 3 koma dengan status jabatan pekerjaan Supporting Employee alias Office Boy (OB)…IPK dan kesarjanaan tidak menjamin masa yang akan datang kita jadi apa…just do the best…Yang Diatas yang berikan jalan…kita hanya pion-Nya…
Tempat Download Lagu
June 10, 2015 at 3:56 am
SALAM SUPER GAN ;D
Kamen Rider Drive dari Unnes 2007
June 23, 2015 at 12:22 am
Hee.. Thanks sharingnya..
aku juga mau sharing..
saya membenarkan ttg IPK tdk mencerminkan apapun mahasiswa pintar atau tidak.. Malas atau tidak juga tidak..
Saya sembunyikan identitas saya.. Karna cerita saya ini mungkin akan dianggap sombong oleh beberapa orang..
jadi, saya lulus 2011 dengan IPK cumlaude.. Dan saya wisudawan terbaik se jurusan waktu itu.. Saya pintar? Tidak.. Rajin? Tidak..
temanku sekelas bahkan pernah bikin statement gini ke aku: “bro, kowe ki ra tau nyatet kok iso pinter”
sekilas nyindir tapi ya piye ya..
aku lulus pas 4 tahun.. 8 semester.. Pembantu dekan ku dulu di unnes pernah bilang, orang organisasi pantang lulus 4tahun.. Ahahahhaa.. Aku lulus 4 tahun padahal aku ikut hima dan paduan suara.. Jabatannya juga bukan yg enteng sekedar anggota gitu..
terus aku itu orang yg cuman di kosan ngerjain paper, makalah dll? Tidak juga.. Pacarku, yg sekarang sudah mantan.. dulu orang dr universitas lain yang beda provinsi.. Minimal 2 minggu sekali aku kesono.. Jadi ya kerjaanku jalan-jalan aja sebenernya selama kuliah..
terus, kok bisa IPKnya tinggi dan lulus tepat waktu?
intinya, utk dapet IPK tinggi itu kita hanya harus cerdik.. Pilih2 matakuliah dengan dosen yg enak.. Tau gimana caranya caper ke dosen.. Dan paling penting bersahabatlah dengan internet..
Trz penting gak ipk? Buatku penting vroh.. Bayangin nih.. Nama orang tua lo disebutin pas wisuda sebagai orangtua wisudawan terbaik.. Betapa bangganya mereka..
tujuanku cari ipk tinggi 75% buat itu.. Cuma pingin Bikin bokap nyokap seneng.. Selebihnya, sekarang aku kerja ipk gua g dilirik sama sekali sama kantor gua.. Kantor butuh orang, ada yg ngelamar, diselrksi, lolos, diterima deh.. IPKnya g guna di dunia kerja.. Hahahhaaa
Susanti Muharni
July 27, 2016 at 3:05 am
sumpvah keren nih orang kalo ngomong nyablak..hhahaa tapi salut deh sama niat membahagiakan ortu dgn IPK 🙂 s
mahasiswa
July 3, 2015 at 12:29 am
Tulisannya sangat menarik. Kebetulan saya adalah seorang mahasiswa contoh kasus pembuktian teman saya yang biasa – biasa sama dengan saya malah mendapatkn angka A sedangkan saya B. Padahal saya lebih rajin dari pada dia, dia setiap kuis
Dari dosen selalu nyontek. Berarti hal ini tidak membuktikan Ipk seseorang dapat mengatakan seorang itu pintar atau bodoh. Di indonesia dalam dunia perkuliahan yang saya lihat hanya melihat hasil akhir IPK saja. Hal ini menyebabkan mahasiswanya melakukan hal apa saja untuk mendapatkan IPK tinggi secara tidak murni. Sebagian teman saya yang beIpk tinggi sombong mengaggung – agungkan ipknya yang lebih dari temannya. Padahal mereka mendapatkan ipk tersebut dengan cara yang salah. Kadang saya prihatin dengan mereka yang ipknya kecil dengan usaha sendiri justru tidak dihargai. Padahal kemampuan seseorang tidak diukur dari ipk nya.
eko
July 16, 2015 at 6:07 pm
Salam,
Semenarnya saya agak malas menanggapi dan berdiskusi ttg tulisan populer ini. Namun ketidaksesuain dhn hati nurani saya, izinkan saya menanggapi:
1) Sepertinya interpretasi terhadap IPK di perguruan tinggi dalam tulisan ini sudah keliru. Kekeliruan interpretasi dlm tulisan ini pada akhirnya dapat beri pembrpihakan (tempat persembunyian yg nyaman) bagi mahasiswa yg malas.
2) Ada kesalahan argumen penulis ttg “pisitivistik” dlm pnentuan IPK.
3) Atas dasar apa tulisan populer (tendensius) ini dibuat? sudahkah jastifikasi tersebut didasari oleh riset yg kredibel? bukankan keilmiahan haruskredibel dijunjung tinggi dalam tiap analisis-sintesis.
4) Saya sangat salut dgn tulisan ini jika penulisnya adalah seseorang yg riil ‘berkarir mandiri’ dgn IPK tdk tinggi, tidak pula bekerja di lembaga tertentu. Jika tidak demikian, heh… jauh panggang dari api.
Kemudian, izinkan saya bertanya:
1) Sistem evaluasi bagaimana yg penulis tawarkan dalam penentuan IPK yg penulis sebut kurang tepat? tentu Penulis seyogianya punya solusi (ini konskuensi evaluasi dlm sistem penilaian baik kualitatif/kuantitatif yg penulis kuliti)
2) Soal IPK tidak penting, apakah penulis benar2 yakin? logisnya, jika mahasiswa ipk tinggi saja blm menjamin kesuksesan, lha bagaimana dgn ipk rendah? Tentu simpulan dalam tulisan perlu dipertanyakan kembali.
3) Memang tidak ada yg menjamin IPK tinggi/rendah itu lebih sukses/tidak. Namun sekurang-kurangnya ipk dpt mbantu mengidentifikasi derajat tanggung jawab seseorang. Apakah rela negara ini diisi oleh derajat generasi tak bertanggungjawab? tentu tidak.
4) Bagaimana ilmu pengetahuan akan dibawa oleh mahasswa yg seenaknya? bedakan bidang antara bidang vokasi, scientific/natuaral science, dan socil science. Ketiganya memiliki kontinum yg berbeda paradigma.
5) Penulis, ini bukan soal ‘pengalaman prbadi dari seseorang (yg kebetulan sukses), ini soal nilai pendidikan, soal etos kerja. Saya tidak rela tulisan ini dijadikan legitimasi. Tengoklah kesungguhan mahasiswa ITB, UI, ITS yang sungguh sungguh (mereka sukses pula). Tengok pula rahasia kesuksesan negara Jepang dan Korea.
6). Case by case dari cara penilaian dosen yg keliru, apakah lantas dijadikan pembenaran ipk tinggi tak penting bagi lembaga dan pengguna?
Simpulan saya:
a) Tulisan ini (meskipun populer) saya pikir ‘gagal fokus’ dalam analisis. (Ontologinya kurang relevanO, epistemologinya melenceng)
b)IPK tetaplah sebagai indikator yang baik. Yang tidak baik adalah mindset mahasiswa ‘dalam memperoleh IPK’ serta dosen yg kurang tepat dalam melaksanakan sistem penilaian yg komprehensip.
Salam,
rahmat petuguran
July 19, 2015 at 3:14 am
Sebagai penulis populer (tulisan populer itu selalu bermutu rendah, kurang benar, sementara tulisan ilmiah adalah benar) saya tersanjung dengan pendapat Mas Eko: sungguh analisis yang “cerdas” dan “mencerdaskan”. Hwahahaha…
Viani
January 28, 2016 at 7:34 am
Sangat disayangkan penulis tetap melakukan publikasi walau sudah tahu bahwa tulisan ini kurang benar dan bermutu rendah. Mengecewakan bila penulis sengaja membagikan pemikiran yang juga kurang benar pada para mahasiswa. Semoga ke depannya lebih berhati-hati dalam menulis, sebab lihatlah, tulisan Anda dibaca oleh banyak orang. Selamat menulis!
Bara
August 9, 2016 at 2:54 am
Sebab, tulisan yang menyesatkan hanya akan memproduksi dosa jariah. ^__^
Lnd
January 5, 2018 at 11:52 pm
👍
portal konseling
July 24, 2015 at 1:15 am
luar biasa..
berdoa aja
August 18, 2015 at 5:49 pm
Nice post bgt mas!!! Wkkkk ?
Btw dari komen diatas keliatan bgt mana mahasiswa yg sangat mendewakan ipk dan mahasiswa yang males2an nganggep ipk penting.
Saya masuk mana?
Cerita deh ya, sebenarnya saya masih mahasiswi di salah satu PTN favorit di surabaya dengan jurusan favorit dan banyak sekali peminatnya.
Waktu saya kelas 3 SMA, saya benar2 mati2an buat masuk ke PTN tersebut.
Setelah masuk, saya jadi lupa daratan –“.
Lupa gimana susahnya dulu buat masuk ke PTN ini.
Hasilnya ipk semester 1 saya jelek 2,96. Dan itu saya masih sante2 aja gak ngerasa takut karena banyak juga temen2 yg ip segitu.
Semester 2, gara2 udah aktif organisasi, ikut hima, aktif panitia dan ikut jadi aktivis universitas jadi makin lupa deh sama kewajiban kuliah –“, ditambah lagi waktu itu punya pacar hahaha makin sering nglayap.
Akhirnya ip semester 2 jeblok parah jadi 2,57 dan gr2 itu aku cuma bisa ngambil 18 sks aja, padahal jatah semester 21sks. Dengan artian hanya bisa ngambil 6 makul aja –“.
Jujur, mungkin pasti banyak yg bilang saya alay atau apa –“, tapi waktu saya liat nilai saya segitu saya sempet nangis –“.
Nangis karena apa? Nangis karena bisa dibayangin pasti nanti kuliahku molor karena ada makul yg belom aku ambil dan ada makul yang harus aku ulang (banyak yg harus diulang) –“.
Dari situ bisa kebayang sedihnya ortu yang harus biyayain kuliah anaknya lebih lama.
Jadi intinya, apa kalian yg mempunyai ip kecil dengan kuliah dengan waktu molor gak membayangkan sedihnya ortu kalian yang membiyayai kuliah seharusnya 4th jadi 4th++?
Apa kalian tega, liat ortu kalian bingung mau jawab apa waktu temen2, sodara, atau tetangga ortu kalian tanya ip kalian?
Emang bener ip gak menjamin kesuksesan sesorang, tapi ipk cumloude menjamin ortu kalian bangga berarti jerih payah mereka menyekolahkan anaknya gak sia2 🙂
Gak usah cumloude sih, cukup memuaskan aja sesuai keinginan ortu pasti kalian juga ngerasa bangga 🙂
Eks mahasiswa
August 29, 2015 at 12:17 am
Apa cuma saya yang “nyasar” di tulisan ini dg keyword “ipk dibawah tiga”? 😀
Ipk itu penting banget. Saya setuju dg siapapun yg mengatakan ipk penting dg alasan apapun. Karena, beberapa program study lanjutan seperti program profesi mensyaratkan ipk minimal untuk seleksi administrasi nya. Jika syarat adm saja tidak lulus, bagaimanakah rasanya “ditolak” sebelum melamar saudara-saudara setanah air?
Ipk itu bukan indikator seseorang malas atau bukan. Saya juga setuju. Kasusnya, di kampus saya sendiri. Seseorang yg mati2an menghafal beberapa hari sebelum ujian namun kalah dg seseorang yg berlaku cerdik dengan membuat catatan kecil (re: contekan) pada malam hari sebelum ujian, lalu hasilnya, jreng jreng jreeeng, si kertas contekan kecil itu emang seperti “sihir” mengubah C menjadi A. Apa daya si penghafal? Jika kejujuran dan usaha kerasnya terkalahkan oleh kertas “magic” tersebut? Usaha seprti apa lagi yg harus dia lakukan? Kalah akan “usaha” dari “mahasiswa mendewakan ipk dengan menghalalkan segala cara”. Tapi dunia tidak peduli itu, yang di pedulikan adalah, ipk tinggi adalah indikator keberhasilan mahasiswa. Mahahahhhahaha *ketawajahat*
Nah, adik2 mahasiswa tercinta, usahakan lah ipk terbaik yg bisa kalian usahakan. Selipkan kejujuran dan norma2 filosofis yg kalian anut. Jika nanti ipk kalian tinggi, bersyukurlah ada cara halal disana. Jika ipk kalian di bawah standar masyarakat, jangan minder, jangan salahkan orang lain, jangan lupa nikmati masa2 kuliah kalian. Jangan lupa orang tua di kampung. Jangan lupa bayar spp. Hohohoho
weni
September 17, 2015 at 5:03 am
kadang ada benernya.. orang dengan ipk rendah biasanya ditolak kerja dimana2 akhirnya mau ndak mau dia usaha, bisnis ato apalah.. jualan ato melakukan apapun yang dia bisa. akhirnya malah lebih sukses, dan penghasilanya lebih besar dari orang kantoran. ini kisah nyata teman kuliah yg sekarang bisa bangun rumah besar dan mobil mewah padahal ipk cuma 2.3
jiung
November 16, 2015 at 9:32 pm
Jadi klo ipk 3,5 termasuk nilai terndah atau tinggi sih ?pencerahannya gan
Bara
August 9, 2016 at 4:12 am
3,5 itu sudah lumayan kak.
aldi putra
November 28, 2015 at 5:08 am
Menurut saya org yg akan sukses besar hanyalah mereka yg punya loyalitas konsistensi dan kontribusi pada suatu bidang.. kuantitas Ipk hanya lah tolak ukur seberapa mampu anda membagi banyak hal dalam hidup anda terkhusus untuk bidang akademik dalam perkuliahan anda…so yg telah mendapat ipk rendah jangan putus asa perbaikilah hal2 buruk dalam bidang akademik anda setidakya dapat merubah kualitas masadepan anda
Dea adelia
December 27, 2015 at 6:12 am
Saya dulu S1 hukum lulus cumlaude 3,90 dari 4,00 alhamdulillah..tapi saya bener-bener merasa hanya mengikuti sistem dan merasa yang saya lalui membosankan. Saya tidak merasa tau diri sendiri. Sekarang sedang s2, dan baru 1 nilai yg keluar yaitu B+, muatan 3,3 untuk ip sementara. Tapi anehnya saya merasa lebih bahagia.. karena di s2 saya melakukan apa yg saya mau. Bukan berarti melawan aturan.tp jadi lebih tau apa yg benar benar ingin dijalani .
Bagus sekali postingannya terima kasih (^^)
Novia
January 4, 2016 at 7:11 am
Postingannya bagus. saya sekarang masuk semester 6, saya baca postingan ini untuk menambah semangat saya, karena saya mendapat nilai yg kurang memuaskan untuk mata kuliah yang saya yakin saya bisa. tapi emang saya ceroboh dan kurang teliti, jadi gitu. (eh ini kenapa curhat, maaf maaf).
Jujur saja, saya takut kalau IP saya anjlok, karena dari beberapa postingan di internet, saat bekerja yang dilihat pasti IP.
Aduh… jadi sedih sendiri. gagal semangat.
19
January 6, 2016 at 2:24 pm
Nilai juga pengaruh dari dosen juga. Apa lagi para dosen muda. Suka ngasih nilai besar dngn mahasiswi yg di sukainya. Atau mahasiswa yg selalu berbuat curang. Memalsukan kehadiran dan membuka contekan saat ujian. Aku lebih suka ipk ak sedang namun di dapatkan dngn cara yg benar . Tidak curang . Karena kecurangan itu adalah awal dari kerucangan lainnya . Bisa berbuat curang pd saat dia kerja nanti . Masih mudah sdh berbuat curang bagai mana waktu tuanya nanti.
yoyo
January 9, 2016 at 8:36 am
temen yang nyontek dapat ip bagus sedangkan aku yg berprinsip gak boleh nyontek saat ujian ipnya gak pernah dapet 3, msh disekitaran 2-3. padahal aku udah belajar. apa emang karena salah jurusan.
Susanti Muharni
July 27, 2016 at 3:17 am
bukan karna salah jurusan atw apa..ak juga kayak gitu, setelah pusing dan stress karna smw yg ak alami, ak berpikir yang salah adalah awal mula belajar ak, seharusny ak lebih banyak bertanya dengan banyak sumber, jadi jelas pelajaran apa yang mesti ak dalami sehingga smw dapat dipahami dan menguasai segala hal yang dibutuhkan jurusanku.
Devy
January 30, 2016 at 4:05 am
Kasih masukan dong ,saya maba dan ip saya cuma 3 pas. Kira2 ada kemungkinan smt depan naik kalo saya bener2 niat kuliah dan aktif ? Soalnya smt ini saya analisis kenapa saya cuma dapet nilai segini karena saya kurang aktif di kelas,tapi saya selalu ngerjain tugas kok.
Devy
January 30, 2016 at 4:13 am
Kasih masukan dong ,saya maba dan ip saya cuma 3 pas. Kira2 ada kemungkinan smt depan naik kalo saya bener2 niat kuliah dan aktif ? Soalnya smt ini saya analisis kenapa saya cuma dapet nilai segini karena saya kurang aktif di kelas,tapi saya selalu ngerjain tugas kok.
Dan saya lagi nge down bgt sekarang gara2 kakak saya membanding-banding kan dengan temannya yang se univ sama saya
bagus
January 30, 2016 at 1:58 pm
hallo mas … thanks tulisannya … merasuk ke fikiran …. tulisannya juga ok salut sama pean ….
Ashabil
February 1, 2016 at 1:54 pm
kejujuran tidak akan berhasil apabila tidak berdoa dan berusaha, berusahalah dan berdoa kalau kamu orang jujur. dengan kejujuran kita bisa tau sampai di mana potensi kita.
Ashabil
February 1, 2016 at 2:19 pm
kejujuran tidak akan selalu membawa keberhasilan tanpa doa dan berusaha !!! saya mungkin akan sngat bersyukur apabila bisa meraih prestasi dengan kejujuran yang sampai dimana kejujuran itu tidak lagi di gunakan, walaupun saya bukan orang yang jujur.dunia ini MODEREN. CUM LAUD ITU GAMPANG APABILA KITA MENGANGGAP ENTENG, tetapi bagaiman kita bisa mengukur sampai di mana potensi kita. apakah kita akan tampil dengan kepalsuan, sedangkan orang yang di belakang kitalah yang mungkin lebih berhak di katakan Berhasil?????? hanya Allah yang dapat mengadili, dan tau siapa yang benar benar berhasil?
download
February 9, 2016 at 3:52 pm
bahas ipk gk d hbisnya
wino alvian
February 13, 2016 at 2:41 am
aduh saya jadi bingung ini dengan IPK 2,6.apa mau diluluskan aja apa tidak yah gan.
Sang Pengembara ilmu ilahi
February 24, 2016 at 2:10 pm
IPK 3,30-4,00 lebih banyak berkerja individu,kurang dalam berelasi dan kerja team. Itu adalah fakta !
Nilai kuantitatif seakan sebagai tolak ukur yang di banggakan dalam masyarakat.
Perlu di ketahui mendapatkan nilai tinggi sekarang ini, di tuntut menjadi orang yang menghilangkan status makhluk sosial dan lumrah berkedok/bertopeng. Satu hal lagi apakah nilai yang di dadapat hasil murni kerja keras atau mengikuti budaya orde baru (copy-paste).
Orang yang berperangai baik dan berkerja keras tidak akan di tanya berapa nilai IPK? Jangan berkecil hati apabila mendapatkan hasil yang kurang memuaskan. Justru itu dapat memacu tindakan perubahan untuk memperbaiki hasil kemarin, dengan usaha yang “Jujur” dan “Baik”.
“If you can’t make it good, at least make it look good.”
rafi'i
March 1, 2016 at 1:36 pm
bank izin kopas ke fb ku ya.terima kasih
afit
March 4, 2016 at 5:33 pm
jangan terlalu memikirkan IPK…
tapi raihlan SERTIFIKASI INTERNASIONAL seperti sertifikasi CISCO CCNA atau MIKROTIK dan lain2.. Untuk jurusan IT…
Kalau IPK tinggi tanpa ada pengakuan sertifikasi, kita bakal kalah dengan IPK standart yg memiliki Sertifikasi internasional….
buat meraih sertifikasi biaya nya lumayan dan ujian nya langsung dari vendor…
saya ipk 2.59 mudah dapat kerja dan cepat promosi karna di dukung sertifikasi saya… pengalaman saja.
Kiki
March 17, 2016 at 11:04 pm
Tulisan yg “Rahmat Banget”. Peace! Aku lg browsing apa.. Malah nemu artikel ini. Hahaha
bunlagu
March 25, 2016 at 6:00 pm
aduh saya jadi bingung ini
dengan IPK 2,6.apa mau
diluluskan aja apa tidak yah
gan.
Caca
February 5, 2018 at 11:49 pm
Gan kabarnya sekarang gmna, ipk saya jga rencah
Help
February 6, 2018 at 1:08 am
Aku juga mau cerita ini pengalaman pribadi
Tahun ini aku lulus di sebuah univ dengan ipk rendah cuman 2,84 🙁 bingung mau bilang sama ortu gmna takut ortu kecewa marah dan sebagai nya. Gimanaa yaa sebenarnya aku itu udah kuliah semaksimal mungkin aku juga orang nya kalo ada tugas dari dosen langsung ngerjain tapi jujur juga aku emang orang nya malas kalo abis dari kuliah itu ga pernah buka buku lagi kecuali mau ujian hiksss dan iya bayangin aja aku bingunh sistem dikampus ku gmna masa naik semester ipk cuman naik 2 coma aja kan ipk ku smester 6 2,82 semester 7 2,84 masaa sih cuman naik koma nya aja gimama itu, kadang sedih mau ngelapor tapi gimana aku orang nya ga bisa berurusan dan pemalu kadang mau juga kayak orang orang yang nyogok dosen dll tapi aku ga bisa kayak gitu. Dan sedihnya dikampus ini aku ngerasaim beda sangat sama jaman SMA, dikampus ini aku ngerasain orang nya sombong2 yang mana kalo orang pintar di deket2in terus. Panjang deh ceritanya bingung ngetik apa lagi
Gimanaa bilang keorang tua tolongg guys beri saran aku harus gimana karna itu aja pikiran ku saat ini dan boleh dibilang aku frustasi:(
Stafaband
June 9, 2016 at 4:48 am
SALAM SUPER GAN
Lintang Sunu
June 15, 2016 at 9:48 pm
Mas Rahmat,
Menarik tulisannya. Saya lulusan UNNES dengan IPK 2,90, jauh di bawah teman-teman saya yang IPK-nya di atas 3.
Setelah lulus saya mengajar, padahal bukan keahlian saya. Saya lulusan Sastra Inggris yang tidak mendapatkan ilmu tentang mengajar.
Setelah 6 tahun mengajar, saya putuskan resign dan mencoba berbagai jenis pekerjaan, hingga, genap di tahun ke-6 setelah saya totalitas jadi penerjemah lepas online.
Dan ternyata, dari pengalaman melamar di beberapa perusahaan internasional sebagai penerjemah, hanya 5% dari mereka yang meminta menunjukkan ijazah, dan tidak pernah menanyakan GPA (IPK). Mayoritas mereka meminta referensi dari klien yang pernah menggunakan jasa saya. Dan referensinya bukan saya mengirimkan tulisan referensi dari mereka, tetapi mereka meminta kontak person langsung. Selain itu, mereka juga akan menguji saya dengan beberapa bahan yang harus diterjemahkan.
Kesimpulan saya, meski IPK juga penting, khususnya ketika hendak mencari pekerjaan atau mencari beasiswa, atau melanjutkan studi di Indonesia, tetapi bukan mutlak, dan bukan standar kepintaran.
Angga Lesmana
August 4, 2016 at 2:42 am
Aku setuju banget sama Pak Admin,,, Sama banget sama Uneg uneg saya , terimakasih mas
Roy Andriana
August 10, 2016 at 8:20 pm
saya dapet IPK 2.82, alhamdulillah itu hasil kerja keras. masalah masa depan karena ipk kecil saya gak khawatir agan2, insyallah dengan usaha dibantu dengan doa diberikan jalan sama allah swt. amin
bismillah aja kalau saya gan, jujur saya mau dapet ipk bagus, tapi ini adanya,,, alhamdulillah masih bisa kuliah dan sayapun gak bodo2 amat suma malas ajah. hahahahaha
Intinya qlo kita rajin kuliah bisa ngatur jadwal bermain sama belajar pasti bisa ko dapet nilai bagus. buat yang mau masuk kuliah semangat kalau bisa bagus kenapa harus kecil. hehehehe
thony
August 12, 2016 at 8:11 am
Kurang berbobot
thony
August 12, 2016 at 8:15 am
Sorry
selltiket
September 9, 2016 at 5:39 am
Baru dari selltiket.com,
untuk semua agen selain anda bisa menjual tiket pesawat
dan tiket kereta api sekarang anda
juga dapat melakukan pembayaran :
PLN, Pembelian pulsa, Pembayaran Telkom,
pembayaran multifinance ADIRA, BAF, MAF, MEGA WOM.
Gabung sekarang juga di http://agen.selltiket.com
Ronny saputra sanjaya
September 10, 2016 at 3:38 am
Nama saya RONNY SAPUTRA SANJAYA saya kuliah Di STIKES CAHAYA BANGSA BANJARMASIN skrng Saya Semester 8 Nilai Saya Jelek Saya pemalas dan skrng Saya D suruh naik ke semster 9 Dan saya Yakin IPK saya Jelek namun Saya akan terus mencba dari sebuah kegagalan Saya saya yakin suatu saat saya Sukses Bukan Karna masalah IPK tapi Mslh semangat belajar Perubahan Hidup Dan semangt 😀 ga ada Yang ga mungkin walau ipk Jelek Tapi semangat Nya bgus Dan Giat Insyallah 😀 saya akan trus mencba Kalau IPK tidak akan menentukan masa depan saya
moehammad ilham
October 2, 2016 at 5:28 pm
haloooooo
menarikk bangett dehh ulasann diatas..aku hanya bisa nyimakk..dan pastinya berkat kaliann aku dapatii sedikit bnyaknya ilmu dari pmahaman teman-teman yg masing-masing memiliki sisi positif sihh..tergantung personn nya ajha..mau dibawa kemana hidup kita ini..jadilahh sperti anda mauu sesuai dengan dosisnya..ohya sblum pamit..sedikit yahh..aku adalah salasatu mahasiswa PTS dengan nilai IPK 3,13 …curhat”tau gakk tman-teman.sberapa hebatnya perjuangan sya berburu dosen untuk dpatkan nilai it..dan bahkan aku pernah ptus asah..tp ingat orang tua…aku jadi gak pduli apapun yg harus ku lalui untukk slesaikan apa yg udahh aku mulai..tak perduli brapa IPK yg harus aku raih…IPK dtentukan darii usaha kita..ok semangatt heheh
nova
October 9, 2016 at 7:02 am
wah sangat menarik ulasanya, membuat saya jadi lebih terbuka lagi bahwa ipk bukan segalanya, saya seorang mahasiswa di pts yg awalnya saya rasa sedih ipk saya berkurang padahal saya masih semester 3 dan perjuangan untuk lulus masih panjang, tapi sekarang saya sadar bahwa ipk tinggi itu bagus tapi lebih bagus lagi bila diri kita bisa bermanfaat bagi banyak orang, kriteria orang itu diibaratkan sebuah pohon: 1. ada pohon yang tinggi mejulang dan daunya pun tak bisa dijadikan tempat berteduh
2. ada pohon yang tidak terlalu tinggi tapi daunya meleber dan sangat nyaman dijadikan tempat berteduh
maksudnya: ada orang yang terus meggapai prestasi yg tinggi namun kurang bermanfaat bagi orang lain, ada juga orang yg biasa2 saja namun dirinya sangat bermanfaat bagi banyak orang disekitarnya. so, semangaatt semuanya:)) sebaik baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainya.
MahasiswA
November 16, 2016 at 1:35 am
Jika kamu tidak bisa menjadi orang pintar dan cerdas jadilah orang rajin dan pekerja keras ,biasa nya org pintar di kalah kan oleh orang rajin dan org cerdas biasanya di kalah kan oleh org yg pekerja keras ,tapi gunakan lah otak mu
MAN JADDA WAJADA
Murphyheidegger
January 10, 2017 at 2:37 pm
Tulisannya kurang pas,karena ukuran kesuksesan yg diagungkan hanya dr sisi material (duit).Bagaimana dg penghayatan ilmu? Itu butuh kesadaran & pemikiran mendalam.Kenikmatan tenggelam dalam kemisterian ilmu tak ada bandingnya. Sementara mereka yg malas,tak bisa merasakan kebahagiaan manisnya ilmu.. Lalu jangan anggap mereka yg belajar sungguh2 & ber-IPK tinggi tidak bisa jadi pedagang yg sukses duitnya.Saya lulusan S1 Filsafat,begitu lulus bisa jd pedagang..soalnya saya malas kerja,disuruh orang ini-itu,& klo prospek alumnus filsafat itu paling kerja jd wartawan,penulis,editor,etc.,yg kalau belum terkenal gajinya selevel UMR.. preet.. males ah…Nilai IPK saya 3.85 & waktu wisuda jd lulusan trbaik sefakultas.Pacar saya ganti2 terus,& yg trakhir beliau sekolahnya di Depok.Sementara saya sekolah di Ciputat,kampus Islam yg banyak tokoh nasionalnya itu..hehehe..malu ah,klo disebut..anyway stlh 6 bln bergelut dg dagangan,krn saya mantan mahasiswa terbaik sefakultas,saya diberi beasiswa S2 di Magister Ilmu Ekonomi olh Kementrian Pendidikan National di campus beken di Bandung..Bu Mega dulu pernah sekolah di sini,tp beliau tdk tamat.. S2 saya nggak nyambung banget kan dg S1 saya.. wkkk..wkkk… wkkk.. itulah gunanya pintar..di S2 pacar saya tak kalah OK dg waktu S1,asisten dosen ekonometrika,ekonomi mikro-makro.. saya bsa jalan2 ke mana-mana.. tdk diam di kamar kost sempit nulis makalah..skrg saya sdh kerja jd dosen,& dagang terus lanjut..enaknya jd org pintar dg IPK tinggi itu,selalu percaya diri & tahu banyak hal..teman2 alumnus filsafat bareng saya dulu,banyak yg nasibnya tdk jelas..misalnya kerja Siang Malam cuma dpt duit ala kadarnya.Itu saya yakin krn mereka alpa membaca & melihat peluang yg tersedia,disebabkan minimnya informasi yg mereka punya.Maaf,jika kalimatnya kurang sopan..hehehe
umahaum yj
January 10, 2017 at 6:20 pm
artikel diatas ada positif dan ada negatif nya tergantung dari mna dan magai mna sudut pandang kita melihat dan membancanya namun semuanya tidak ada yg salah kok untuk masalah masa depan sukses atau tidak suksesnya itu yang menentukan seberapa besar usahamu, seberapa banyak ibadah mu, seberapa bnyak sadakoh mu dan seberapa baik nasib mu dan bagai mna jalan takdir hidup mu.. namun yg perlu do perhatikan adalah di setiap universitas atau yg lainnya baik negri maupun swasta semua hanya memandang pada sisi akademik saja dan mengabaikan sisi kemampuan (sof skill)… kenapa begitu ada bnyak mahasiswa yg pintar di dalam materi namun gagal di saat mempraktekkan dan ada juga mahasiswa yg gagal di materi namun berhasil dalam mempraktekkan (ini la yg selalu terjadi kebanyakan) dan ada juga yg berhasil keduaduanya (namun jarang di jumpai)… untuk masalah pekerjaan dan masa depan mungkin ada instansi yg memerlukan IPK tinggi dan ada juga yg tidak melihat IPK.. so utuk yg ipk tinggi atau renda bahkan udah di DO jangan kawatir di balik IPK masih ada (KEEBERUNTUNGAN / HOKKI DAN TUHAN) yang akan menentukan perjalanan karir kita jangan lupa berusahha dan berdoa jika belum bisa coba lagi dan lagi smangat dan semangat
belajar dari anak elang di saat anak elang di tendang induknya dari sangkarnya….
Yossy Aprianita
January 20, 2017 at 4:12 pm
Saya adalah mahasiswi baru di Stie amik lembah dempo pagaralam, saya baru semester 1. saat ini saya lagi gundah gulana karena nilai yang saya terima tidaklah memuaskan, saya mendapat nilai B dari mata kuliah Pengantar Sistem Komputer. saat ini saya sangat merasa sedih dengan nilai yang dapat itu, padahal saya sudah rajin, tidak pernah membolos satu hari pun, saya aktif di kelas dan selalu membuat tugas yang diperintahkan oleh dosen saya. Tapi saat pengumuman hasil kami selama satu semester saya mendapatkan nilai yang sama dengan teman satu kelas saya yang sering minggat, terlambat dan tidak aktif di kelas dan kebetulan saya juga adalah ketua kelas juga. dosen itu memberi nilai yang sama pada kami sekelas padahal kami berbeda. saya merasa itu tidaklah adil, saya merasa kerja keras saya tidak dihargai.
Gudanglagu
January 24, 2017 at 10:52 am
Perlu difahami oleh mahasiswa
Muhaimin
January 28, 2017 at 6:12 am
Wah,seru nih,, berbicara tentang IPK, Memang banyak persepsi dari berbagai kalangan, yang terpemting menurut saya adalah, BAGAIMANA MAHASISWA ITU DAPAT MEMPERTANGGUNG JAWABKAN IPK yg ada.. Artinya , ILMU DIKAMPUS ITU LHO yg perlu kita bawa. Bukan hanya covernya, isinya dong….!, buat apa IPK tinggi, tapi Ilmunya nggak sebagus IPK rendah,, wah wah wah,, jadi malu kan…
Asyrofi
February 26, 2017 at 2:57 pm
Assalamualaikum wr.wb 🙂
Gc lelah2nya nih mata mbaca artikel diatas bserta 86komentarnya 😀
Menarik utk dibaca and difahami..
Semua saling menuangkan pengalaman dan pendapat masing2,, jgn lupa sebut No.Absen biar dpt nilai! Hehehee
Nah sdikit curhat, aku trmasuk mahasiswa yg sering dipasrahin bikin makalah, PPT, Karya Ilmiah, dan tugas2 lain.. Saat diskusi juga إِن شَاء اللَّهُ Aku aktif juga.. (Pengakuan dr temen)
Q nuruti slalu kontrak belajar dr dosen, tpi pas UAS, aku gak bisa kabur, hasil kerja kerasku kadang malah dicontek temen2 lain.. Belum selsai semua udah terbang kemana2 tuh kertas! Hahaha
Disitulah aqu kalah, dan ternyata IPK ku 3.21 🙁 lebih rendah dari mereka yg pada nyontek dan dpt nilai buta dari Tugas..
Tpi aku tak mempermasalahkn itu, yg penting mah USAHA, DOA, Tawakkal.. 🙂
Rencana Alloh lebih Indah
“MAN JADDA WAJADA”
adiwija
July 12, 2017 at 5:57 pm
Waalaikumsalam wr.wb
critanya bgus mbak, tpi saya cuma mau nanya mbak, itu kertas ujian nya kok bisa terbang kemana- mana mbak? itu mbak kasih liat atau gimana? atau kalau misalnya dipaksa, apa mbaknya gak bisa lapor ke pengawasnya gitu? biar kapok, biar bibit2 ketidakjujuran di negri ini bisa dihilangkan atau paling tidak dikurangi ^_^
Ervan
August 29, 2017 at 3:43 pm
Baru saja saya melihat transkrip nilai semester 2 dan ada yang C di 2 matkul. Pd sebelumnya dan selain itu A, alhamdulillah gada rasa apa-apa hanya bangga dan senang saja entah mengapa. Lalu agak membingungkan dan mulai mencari apakah pengaruh nilai pada pengalaman hidup. Teman-teman saya pada sibuk bahkan sudah ngerencanain buat “cuci nilai”, sampe-sampe saya juga disaranin. Tapi, seketika ingat beberapa patah kata dari dosen yaitu “variasi nilai”, mungkin ini saatnya mulai memvariasikan nilai dan tidak semestinya harus A.
Ahmad Tondonegoro
October 30, 2017 at 2:06 am
ironi yang terjadi saat ini adalah banyak yg mensyaratkan Ipk 3. padahal ipk 3 blum tentu dia seorang yg cerdas pintar dan rajin, bisa saja dpt ipk 3 karna faktor keberuntungan. memang ada yg benar” murni orang itu cerdas tp tdk boleh mengabaikan yg 2.75 karna sejauh pandangan saya ada seorang teman saya yg ipk nya cumlaude tetapi dia tdk paham materi kuliah tertentu dimana matkul tersebut sangat inti dan diharuskan di pahami. moga kebijakan perusahaan tdk terpatok melulu pada ipk 3 tp mereka jg harus melirik yg d bawah 3 bisa saja mereka menemukan berlian di antara bnyaknya sampah. trima kasih
clear
January 17, 2018 at 7:07 am
Saya merasa di kampus saya saya rajin cuma karena kebetulan saya kuliah di tempat yang cukup menantang karena saya kuliah industri dan saya basicnya IPS dan saya harus berusaha keras banget di banding yang lain untuk belajar pelajaran industri yang kebanyakan IPA ,dan UAS nilai yang IPA buruk :(,Tapi saya bisa di ya matakuliah lain
salma
February 7, 2018 at 7:32 am
Tentang ipk. Wah saat ini saya semester 8 bisa dibilang semester akhir. Dan parahnya lagi ipk masih tergantung di 2.5 sekian. Menurut saya, bukan masalah rajin datang kuliah atau bagaimana tidak ngumpulkan tugasnya. Tapi di ujiannya. Banyak banget teman2 sama yg bawa kertas kopekan demi dpt nilai tinggi. Mereka dapat ipk 3.9 atau diatas itu hasil dari kopekan. Gak semua sih yg begitu, tapi coba bayangkan aja yg jarang masuk kuliah dan hanya bisa titip absen ke temanya diakhir bisa dpt ipk tiga koma sekian. Wahh… luar biasa banget kan. Saya saksi gimana kalo ujian, banyak banget yg buka hp dan searching dan anehnya pengawas malah gk jalan2. Dan hanya duduk di depan.serasa gk adil kan kawan2. Mereka yg ngopek ketika ujian yg dapat ipk tiga koma sekian itu, kalo dipikir2 akan bernasib sama juga yg ber ipk dua koma sekian. Yahh,, kalo bisa sih kalo ujian itu mending lisan saja. Dosen bisa menilai sendiri, tidak dgn tulisan. Banyak kecurangan kalo dari tulisan. Unek..unek banget dihati wkwk. Maaf saya curhat. Cuma greget aja sama yg ber ipk tiga dgn searching hahah
slanvert
February 20, 2018 at 3:09 am
assalamualaikum wr wb
jd inget waktu jaman kuliah dulu, saya mahasiswa menengah dengan ip rata-rata 3,3 .. saya memiliki teman dengan ipk rata-rata 2,9 ..
namun apadaya setelah lulus kuliah teman saya malah ketrima di perusahaan bumn ternama dan saya malah di perusahaan biasa.
dari pengalaman ini saya sadar bahwa ipk bukan segalanya. hehe
Pingback: Cari Kerja Ipk Rendah Tahun Ini – SUNOTOBLOG