Kolom
Kontribusi Michel Foucault untuk Analisis Wacana Kritis
Hari ini saya ingin mengajak teman-teman mendiskusikan kembali analisis wacana kritis. Sebagaimana kita tahu, analisis wacana kritis sebagai sebuah pendekatan studi tidak muncul begitu saja. Ia lahir berkat teori-teori kritis yang telah lahir sebelumnya.
Ada cukup banyak teori yang berkontribusi besar menjadi fondasi lahirnya AWK. Teori itu bisa bersumber dari dua cabang yaitu teori sosial dan teori linguistic.
Teori sosial yang dinilai berkontribusi besar terhadap AWK antara lain Marx, Gramci, dan yang lebih kontemporer adalah Foucault dan Bourdieu. Juga teori-teori kitis yang dikembangkan oleh orang-orang Sekolag Frankfurt, misalnya Habermas, Adorno, dan Herbert Marcuse.
Di sisi lain, teori-teori linguistic juga mengalami perkembangan yang memungkinkan kajian kritis terhadap wacana dilakukan. Salah satu yang paling relevan adalah berkembangya systemic functional linguistic (SFL) yang memberi landasan tentang fungsi sosial bahasa.
Kita akan bahas berbagai teori itu di kesempatan yang akan dating. Tapi di kesempatan in, saya akan mengajak Anda membahas kontribusi pemikiran Foucault terhadap analisis wacana kritis.
Siapa Michele Foucault, bagaimana corak pemikirannya, dan apa kontribusinya bagi analisis wacana kritis? Akan kita bahas satu per satu.
Michele Foucault tentu nama yang familiar dalam studi sosiologi. Ia dianggap sebagai pemikir postmodern yang sangat penting karena keberhasilannya mempelopori studi tentang kekuasaan dengan cara pandang baru. Beda dengan sosiolog pendahuluinya, ia memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang menyebar, praktik sehari-hari, diproduksi dan direproduksi secara diskursif.
Pemikiran-pemikiran itu terhimpun dalam berbagai buku. Salah satunya adalah Knowledge/Power yang dianggap paling relevan dengan semangat analisis wacana kritis.
Dua Fase Pemikiran
Dalam buku Discourse and Social Change, Norman Fairclough mengulas satu bab sendiri kontribusi Foucault terhadap analisis wacana kritis. Kontribusi tersebut terbagi dalam dua fase pemikiran yaitu pemikiran yang bersifat arekologikal dan pemikiran yang bersifat geneaological.
Mari kita bahasa lebih dulu, pemikiran Foucaul yang bercorak arkelological.
Pada fase pemikiran bercorak arkeological, Foucault mengembangkan teori tentang asal-usul cara berpikir. Ia menunjukkan bahwa pengetahuan yang hari ini kita anggap benar merupakan sesuatu yang dikontrsuksi secara sosial. Dalam proses kontstruksi itu ada objek pengetahun yaitu tentang apa pengetahuan itu bicara dan subjek pengetahuan yaitu siapa orang-orang yang membicarakannya.
Ada dua poin penting corak pemikiran Foucault pada tahap ini yaitu, sifat konstitutif discourse dan hubungan intertekstual dan interdiskuskurif wacana.
Menurut Foucault, diskursus itu bersifat konsitutif karena tersusun dari elemen-elemen esensial yang menjadi penyusunnya. Suatu pengetahuan yang benar bisa menjadi kebenaran karena ia memiliki elemen-elemen yang membuatnya jadi benar. Elemen itu bisa berupa proposisi, statement, dan episteme yang diinstitusikan menjadi kebenaran.
Sebagai contoh, bersekolah saat ini merupakan sebuah kebenaran sosial. Kita percaya sekolah merupakan keharusan karena memiliki dampak psotif terhadap individu, masyarakat, bahkan mungkin kemanusiaan. Bagaimana masyarakat bisa mengakui dan membenarkan bahwa sekolah itu baik, sekolah itu benar? Kebenaran itu secara konstitutif tersusun oleh pernyataan-pernyataan pendahulu. Ada proposisi, ada statement, yang membentuk cara berpikir kita sehingga kita berpikir itu sebagai kebenaran dan kewajaran.
Poin kedua dalam pemikiran arkelolical Foucalut yang dianggap penting adalah pemikiran tenteng wacana yang bersifat intertektual dan interdiskursif.
Dalam teori Foucaul ada istilah formasi diskursif yang digunakan untuk menjelaskan adanya berbagai pernyataan yang saling terhubung, tumpang tindih, sekaligus kontraproduktif satu sama lain tentang sesuatu. Pernyataan-pernyataan itu terorganisasi oleh aturan yang tidak stabil, terus bertransformasi, mengalami pembaruan dan ekslusi terus-menerus.
Namun dalam ketumpangtindihan tersebut pernyataan dapat terkait dan saling mendukung. Hubungan tersebut dapat bersifat intertekstual dan interdiskursif. Hubungan intertekstual menjelaskan keberadaan teks lain pada suatu teks. Adapun hubungan interdiskursif mengacu pada pencampuran beranekaragam genre, wacana, atau gaya yang terkait dengan makna institusional dan sosial dalam satu teks.
Saya akan ambil contoh sekolah sekali lagi. Ketika kita menyatakan bahwa sekolah itu penting dan merupakan pilihan yang benar, kita bisa menyususn statement itu dari proposisi yang kita ambil dari karya ilmiah sekaligus kitab suci. Itu intertekstualitas.
Ketika kita bicara sekolah itu penting, kita membicarakannya dalam seminar, dalam obrolan di pos ronda, dalam humor yang kita baca dalam ludruk atau stand up comedy. Semua pernyataan tersebut membentuk statement yang turut membuat kebenaran pengetahuan tentang pentintnya sekolah menjadi semakin mapan atau sebaliknya, menjadi goyah. Itu hubungan interdiskursif.
Dari proses itu, kita bisa lihat bahwa wacana memiliki peran yang sangat besar dalam proses konstruksi kebenaran. Adapun kebenaran yang merupakan suatu set pengetahuan tentang segala sesuatu dikontruksi atas elemen-elemen esensial penyusunnya. Kebenaran disusun melalui proses diskursif. Adapun discourse itu bersifat konstitutif.
Fase Genealogical
Mari kita beranjak pada fase kedua dalam pemikiran Foucault, fase yang oleh Fairclough disebut sebagai fase genealogical. Pada fase ini Foucault tidak sekadar menyoal sejarah kebenaran tetapi mengkaji bagaimana kebenaran diskurisf berdampak terhadap kekuasaan.
Untuk memahami garis besar pemikirannya, ada tiga hal penting yang dicatat Fairclough yaitu (1) bahwa kekuasaan itu bersifat diskursif, (2) bahwa wacana atau diskursus itu bersifat politis, dan (3) sebagaimana kekuasaan, perubahan sosial juga bersifat diskursif.
Poin pertama, kekuasaan itu bersifat diskursif. Di sini Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan apa pun, untuk menjadi legitimate, memerlukan instrument biopower yang memungkinkannya. Dua instrumen bipower tersebut adalah examination dan confession. Untuk membuat orang patuh, disiplin, dan terkendali, kekuasaan harus memproduksi pengetahuan yang membuat kepatuhan dan disiplin diakui sebagai kebenaran sehingga menjadi dasar dalam praktik sehari-hari.
Argumentasi inilah yang melahirkan ungkapan knowledge is power. Pengetahuan tidak netral karena merupakan instrument yang digunakan untuk memodifikasi perilaku agar disiplin dan patuh sesuai dengan kepentingan tertentu. Kekuasaan hanya bisa tegak jika ditopang oleh pengetahuan yang dapat menormalisasi sesuatu.
Kondisi itu sekaligus menjelaskan poin kedua bahwa wacana itu bersifat politis. Kekuasaan ditegakkan menggunakan wacana namun ditentang juga melalui wacana. Oleh karena itu, wacana bersifat politis karena merupakan arena kontestasi, arena pertarungan, arena of struggle. Melalui wacana, subjek-subjek sosial berjuang untuk membela kepentingannya, mewujudkan harapan-harapannya, mendesakkan agar kebenaran versinya dinormalisasi sebagai kebenaran bersama.
Penjelasan tersebut kemudian menjelaskan poin ketiga yaitu perubahan sosial yang bersifat diskursif.
Karena wacana adalah arena pertarungan untuk mewujudkan kekuasaan, maka perubahan sosial akan sangat ditentukan oleh wacana yang dominan.
Segala bentuk kewajaran yang mendasari praktik hidup kita hari ini ditopang oleh wacana. Kita bersekolah karena wacana dominan hari ini menormalisasi itu. Kita beramal karena wacana dominan menormalisasi itu. Kita menikah dan berkeluarga karena wacana dominan menormalisasi hubungan laki-laki dan perempuan dalam institusi pernikahan.
Namun wacana itu pada saat yang sama juga terus-menerus digugat. Sekolah digugat, praktik beragama digugat, pernikahan juga digugat. Di dalam dominasi selalu ada resistensi. Ketika wacana dominan tersebut berubah, maka kewajaran juga mengalami perubahan, sehingga praktik sosial yang kita terima sebagai kewajaran juga mengalami perubahan.
Situasi itulah yang menunjukkan bahwa perubahan sosial bersifat diskursif. Perubahan seperti apa yang diperjuangkan akan sangat ditentukan wacana apa yang menormalisasinya.
Catatan Kritis
Teman-teman, itulah kontribusi Foucault terhadap analisis wacana kritis. Dari penjelasan itu kitab isa lihat bahwa Foucault telah memberi dasar teoretis yang sangat kompleks untuk melihat wacana sebagai praktik sosial. Dari penjelasan itu, kita tidak bisa lagi menerima dan memahami wacana sebagai entitas kebahasaan yang terisolasi dari praktik sosial. Wacana adalah praktik sosial.
Meskipun dianggap memiliki kontribusi besar dalam analisis wacana kritis, Foucault juga memiliki kekurangan karena tidak menjadikan teks sebagai contoh konkret wacana. Artinya, dalam pikiran Foucault, wacana dipahami sebagai sesuatu yang abstrak.
Oleh perintis analisis wacana kritis, kekurangan ini kemudian dilengkapi dengan menjadikan teks and talk sebagai bentuk konkret wacana. Dengan cara inilah analisis wacana kritis menjadi kajian yang jauh lebih empiris. Meskipun empirisme bukan sesuatu yang selalu diterima oleh AWK, tetapi bukti-bukti tekstual membuat analisis wacana kritis menjadi lebih meyakinkan.
Dengan begitu, para pengkaji analisis wacana kritis berhasil menunjukkan bahwa aktivitas diskursif terealisasi dalam aktivitas berbahasa yang paling kecil, misalnya dalam pemilihan kata, penyusunan kalimat, juga penyusunan struktur wacana.
Demikian penjelasan saya, semoga bermanfaat.
-
Muda & Gembira10 years ago
Kalau Kamu Masih Mendewakan IPK Tinggi, Renungkanlah 15 Pertanyaan Ini
-
Muda & Gembira10 years ago
Inilah 10 Sifat Orang Ngapak yang Patut Dibanggakan
-
Muda & Gembira9 years ago
Sembilan Kebahagiaan yang Bisa Kamu Rasakan Jika Berteman dengan Orang Jepara
-
Muda & Gembira9 years ago
SMS Lucu Mahasiswa ke Dosen: Kapan Bapak Bisa Temui Saya?
-
Muda & Gembira10 years ago
Inilah 25 Rahasia Dosen yang Wajib Diketahui Mahasiswa
-
Lowongan9 years ago
Lowongan Dosen Akademi Teknik Elektro Medik (ATEM), Deadline 24 Juni
-
Kampus11 years ago
Akpelni – Akademi Pelayaran Niaga Indonesia
-
Kampus13 years ago
Unwahas – Universitas Wahid Hasyim