Connect with us

Kiai Budi

“Nganu” Cinta

Published

on

SEDULURKU TERCINTA,bila orang Jawa menunjukkan sesuatu yang “terlukiskan” maka bilang “ngono”,ngono kae.Secara bahasa bisa berasal dari kata “ono” yang berarti “ada”,jadi kalau “ngono” itu berarti menjadi “ngono” atau “mengada”,mewujud.

Wujud ini nampak secara “empirik”,tertangkap oleh indera,di luar diri.Demikianlah jantera alam semesta ini digelar,dalam pandangan orang Jawa merupakan “simbol-simbol” yang bisa dijadikan untuk menenerangkan sesutu secara luas tak terhingga.

Sehingga mBah Damarjati sampai bilang bahwa memasuki “dunia Jawa” adalah memasuki ranah “dunia rimba raya simbolik”, di mana sesuatu yang sulit diungkapkan melalui “keterangan”, bisa ditunjukkan simbolnya secara jelas melalui gelaran alam semesta yang tak terbatas ini.

Sejauh para bijak bestari bila kehabisan ungkap untuk menerangkan sesuatu,atau untuk lebih “mudah” memahamkan sesuatu maka tidak ada cara lain kecuali menggunakan “simbol”,maka seringkali mereka mengatakan “bagai,bagai,bagai,bagai”,atau “ngono kae,ngono kae,ngono kae”.

Dari proses ini,manusia Jawa diantarkan mengenal sifat-sifat,dimana dari sifat-sifat ini akan mengantarkan kepada yang “ono”,kepada Yang Ada,Gusti Allah.Inilah “ngono” yang dari kata “ono” mengjadi “Ngono”,sebagaimana dari kata Allah menjadi “ngAllah”,menuju Allah.

Kemudian ada lagi ungkapan “ngene”,yang biasanya dijadikan untuk mengungkapkan “lanjutan” dari sesuatu hal yang masih “terjangkau” untuk dibahasakan.

Ungkapan ini–boleh jadi,bersal dari kata “kene”,artinya “sini” yang menunjukkan “ruang dan waktu”,sini dalam arti dalam diri.Jadi,ungapan “ngene”–sebagaimana ungkapan “ngono” atau “ngAllah tadi,adalah proses menuju sebuah “pemahaman” yang bersifat “mendalam” dari pemahaman seseorang terhadap sesuatu hal,yang bisanya ducapkan: ngene iki, seperti ini.

Ungkapan itu kembali kepada “bagai” atau seperti, namun lebih kepada hal-hal yang tidak jauh tetapi lebih dekat dan mendalam.Cara ungkap ini membawa manusia Jawa untuk lebih menggunakan “indra dalam”,karena hal-hal yang sudah tampak itu disebut “ngono”,sementara hal-hal yang lebih mendalam perlu “mata dalam” sehingga menggiring kepada pelacakan secara “radikal” atau “hakiki” bagi sesuatu hal.

Ujungnya bahwa sesuatu yang “ono” secara “lahir” ditunjukkan “ngono”,sementara sesuatu yang mendalam atau dunia “batin” diungkapkan “ngene”,sesuatu itu masih bisa diurai,dijelaskan menurut subyektifitas yang menerangkan atau yang mencontohkan.

Upaya “ngene” itu ternyata hanya untuk dialektika akal,yang bernama “paham”.Akal itu ada namun wujudnya lebih lembut,maka musti cara memahami dengan “indra dalam ” itu.Namun ujungnya sama bahwa antara “ngono” dan “ngene” itu bermuara kepada kesadaran Yang Ada sebagai puncaknya.

Lalu ada lagi ungkapan Jawa yang disebut “nganu”,ungkapan ini biasanya diucapkan saat yang “ngono” dan yang “ngene” itu tidak terlukiskan dengan bahasa apapun.Sehingga pada saat semacam “bingung” itu lalu muncul ungkapan “nganu”.

Setelah mengucapkan “nganu” ini biasanya terus “berhenti” dalam penjelasan.Namun saat berhenti itu ternyata kembali kepada ungkapan “ngene” dulu terus “ngono”,atau sebaliknya.Sementara “nganu” ini boleh jadi berasal dari “anu”,dimana ungkapan ini biasanya dibunyikann untuk sesuatu yang “ada”-nya itu jelas namun tidak disebut secara “jelas”.

Dan ini bisa kita pahami dalam pergaulan, di mana yang namanya “anu” itu lebih diarahkan untuk menunjukkan hal yang paling “rahasia” dalam diri manusia, baik laki-laki atau perempuan,walau ada namanya sebenarnya.

Ini baru pada tataran “material”,dimana ketika “anu”-nya laki-laki dan perempuan ini “bertemu” maka tambah tidak dapat lagi “diterangkan” rasanya,kecuali dengan unkapan “nganu” itu.Sehingga “nganu” berarti proses menuju Yang Misteri,yang tak terungkap dan tak terlukiskan,perjalanan menuju “anu” itu.

Kemudian dua hal “anu” tadi,bisa kita bawa kepada hal-hal yang “ngono”,dalam arti eksotika ciptaan dalam jantera alam yang ada.Dimana semua itu bisa diusung dalam kesadaran yang “ngene” pada setip kita,tergantung kekuatan abstraksi diri.Boleh jadi “anu” ini dari kata “ana”,Aku,Ingsun Sejati.Bukan sejatinie ingsun yang fana ini.

Kawaan-kawan,dari paparan yang–wallahua’lam bishshowab ini, maka ungkapan “nganu” itu bisa kita bawa kepada pemahaman “kamaliyah” atau Kesempurnaan sehingga tak membutuhkan keterangan lagi,dimana antara sifat Jalaliyah dan Jamaliyah yang tergelar di jantera alam semesta tanpa tepi ini bertemu itu bagai “anu” ketemu “anu”,jadi “Nganu”.

Indahnya setiap keberadaan sebenarnya berujung tak terurai.Tan kinoyo ngopo.Laisa Kamitslihi Syai’un.Dan ungkapan “nganu” ini sebenarnya merupakan ungkapan–bukan karena tidak sekedar “ngono” dan “ngene”,tapi ungkapan kemabuk-kepayangan terhadap Yang Misteri itu sendiri,walau sesat kita rasakan,Dia hadir di hati….Tabik!

– Kiai Budi Harjono, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ishlah Semarang

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending