Connect with us

Komentator olahraga Valentino Simanjuntak dapat perhatian luas karena komentar-komentarnya yang unik di beberapa tayangan olahraga. Setelah sukses membuat tayanganya sepak bola riuh, komentarnya kini turut meramaikan pertandingan bulu tangkis di Asian Games 2018.

Saat mengomentari pertandingan sepak bola, ia terkenal berkat ocehannya yang idiomik: jebret, umpan membelah lautan, lini jembatan ampera, dan lainnya. Saat jadi menjadi  komentator bulu tangkis, ia segera mendapat ocehan idiomatic lain: rata kau!

Awalnya saya merasa tidak nyaman karena komentator Valentino terasa berlebihan. Tapi lama-kelamaan, komentarnya terasa unik dan menghibur. Teman-teman saya juga suka membincangkan dan menirukan komentarnya, sebuah tanda bahwa komentarnya cenderung disukai.

Klaim bahwa komentatrnya disukai banyak orang mungkin rapuh karena tidak disertai data kuantitatif. Tapi kenyataan bahwa gaya koemntarnya dibincangkan, dia digunakan stasiun televise lain, adalah gejala yang mendukung klaim itu.

Di artikel ini saya berusaha memaparkan anaisis dari perspektif kebahasaan yang membuat komentarnya – meskipun kadang ngawur – terasa menghibur.

Saat menyaksikan pertandingan olahraga, penonton tak perlu komentar yang menduplikasi realitas di lapangan. Yang audience perlukan adalah realitas lain yang secara visual tak tampak di lapangan.

Pada era Bung Kus dan teman-teman seangkatannya, kebutuhan ini diberikan dengan informasi ensiklopedik. Dengan keluasan wawasannya, komentator melengkapi peristiwa-peristiwa di lapangan dengan informasi lain yang relevan.

Valentino Simanjuntak tidak memilih gaya itu. Bak seorang pelukis ekspresionis, ia memilih untuk menggambarkan kembali realitas di lapangan dengan realitas kreatif yang diekspresikan dengan kata-kata.

Sebagai komentator, Valentino tidak memotret peristiwa di lapangan. Ia memilih menangkap emosi dan mengekspresikan kembali emosi itu dengan emosi personalnya.

Dalam perspektif Wittgenstein, filsuf lingkaran Wina yang dikenal berkat picture theory-nya, fakta bukanlah benda-benda. Fakta adalah suatu sachverhalt atau hubungan yang dimiliki benda-benda.

Benda-benda bersifat material merupakan gejala fisik belaka, bukan realitas. Hubungan imajiner antara benda-benda inilah yang merupakan realitas. Karena bersifat imajiner, ia hanya eksis ketika dilukiskan dengan proposisi (pernyataan) tertentu.

Dipengaruhi gurunya, Bertrand Russel, Wittgenstein masih percaya jika proposisi bermakna jika selaras dengan fakta. Jika tidak, proposisi itu dianggap tidak bermakna.

Kreativitas menciptakan proposisi baru akan menciptakan makna baru. Jika berhasil membuat proposisi baru, berarti seorang penutur bahasa berhasil menemukan relasi baru antara objek satu dengan objek lainnya.

Valentino membuat istilah “tendangan LDR” untuk mengomentari tendangan yang secara tradisional disebut sebagai “tendangan jarak jauh”.

Frasa tendangan jarak jauh hanya menghadirkan hubungan fisik yang menghubungan aktivitas menendang dengan jarak. Ketika mengekspresikan “tendangan LDR”, Valentino berusaha menghubungan tendangan dan jarak dengan objek lain, yaitu hubungan asmara.

Objek itu digali dari pengalaman komunal publik yang lazim menyebut hubungan jarak jauh sebagai LDR. Valentino menghadirkan objek baru yang membuat ungkapannya tidak gombal dan harfiah, tapi metaforik.

Saat membuat proposisi untuk mengatakan peluang berharga, Valentino membuat frasa “peluang 24 karat”. Melalui proposisi ini ia hendak menghubungan peluang menciptakan goal dalam sepak bola dengan objek lain yang sebelumnya tak punya hubungan dengan sepak bola: emas.

Berdasarkan contoh-contoh itu, ekspresi Valention terasa segar karena ia berhasil menghadirkan proposisi baru yang membuat fakta ternyata berkembang. Ia berusaha menautkan satu objek dengan objek lain secara tidak terduga.

Kreativitas inilah yang membuatnya seperti seorang pelukis ekspresionis. Sebagai pelukis ekspresionis, ia menggunakan kata-kata untuk merekonstruksi fakta sesuai emosinya. Dia tidak perlu kata-kata yang akurat secara semantik untuk menggambarkan peristiwa di lapangan. Bagi “pelukis ekspresionis” sepertinya, yang penting digambarkan adalah emosi.

Karena itulah, kadang-kadang ocehannya terasa amat ngawur dan tidak nyambung babar blas.

Rahmat Petuguran

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending