Connect with us

Sudah dua belas tahun saya tinggal di Semarang, meninggalkan kampung halaman saya: Banjarnegara.

Sekarang, kata sejumlah orang, sama sekali tidak ada jejak dialek Banyumasan pada cara saya bicara.

Tapi kalau sesekali pulang kampung, dialek Banyumasan saya kembali dengan sendirinya. Begitu masuk rumah, saya kembali ngapak dengan makhraj Banyumasan yang fasih.

Gejala kebahasaan ini relatif sederhana kalau ditafsir dalam kerangka sikap bahasa. Saya mengalami perubahan sikap bahasa. Kebanggaan saya berbahasa Jawa Banyumasan terkikis, bergeser memilih menggunakan dialek Semarang.

Tapi dalam perspektif bourdiuean, peralihan bahasa saya tidak sesederhana itu. Karena bahasa adalah arena pertarungan kekuasaan, perubahan bahasa saya adalah hasil dari kontestasi panjang yang melibatkan banyak agen, beragam kepentingan, dan dinamika yang rumit.

Tapi biar tidak rumit, kata kunci “asimilasi dan disimilasi” bias digunakan untuk menyederhanakannya.

Menurut Bourdieu – dalam pembacaan saya, tentu – komunitas linguistik memiliki keserupaan dengan pasar. Di pasar linguistik ini ada komoditas yang dipertukarkan yaitu kompetensi linguistik.

Sebagaimana komoditas di pasar betulan, ada komoditas yang memiliki nilai (harga) mahal, murah, bahkan ada yang tidak berharga.

Penentuan harga komoditas linguistik terjadi melalui skema kontestasi. Subjek-subjek yang lebih dulu “menghuni pasar” cenderung memiliki legitimasi lebih sehigga lebih dominan dalam penentuan harga di pasar linguistik.

Sebaliknya, pendatang baru cenderung kurang memiliki legitimasi sehingga terdominasi dalam penentuan harga di pasar linguistik.

Ada dua hal yang membuat orang-orang “lama” memiliki legitimasi dalam penentuan harga.

Pertama, mereka telah berhasil menyesuaikan kepemilikan kompetensi lingustik dengan struktur pasar tempat transaksi. Kedua, mereka juga turut membentuk struktur pasar agar sesuai dengan kepentingan dan kompetensi linguistik yang dimilikinya.

Dua skema itu menunjukkan bahwa bukan waktu – sebentar atau lamanya seseorang menjadi anggota komunitas lingustik – yang menentukan harga. Yang menentukan adalah kesesuaian antara kompetensi linguistik yang dimilikinya dengan struktur pasar.

Saya punya teman yang bagus sekali ketika mengajar di kelas. Penjelasannya jelas, luwes, diselingi berbagai guyon segar yang membuat suasana asyik. Tapi dia payah sekali saat berkencan. Dia tidak berhasil mangkonversi keluwesannya mengajar dengan keluwesan merayu. Kasihan sekali dia.

Kegagalan teman saya ini bisa terjadi karena kompetensi linguistik ngajar dan pacarana ternyata betul-betul berbeda.

Sebaliknya, saya punya teman yang payah sekali saat kuliah. Dia lulus 14 semester karena kebaikan semesta. Tapi dia cekatan sekali dalam urusan membuat lawan jenisnya terpikat. Karena itulah dia punya jaringan asrama seluas Bank BRI; cabangnya tersebar ke seluruh kecamatan di Indonesia.

Kompetensi dua teman saya ini tentu saja tak semata hanya dipengaruhi kompetensi linguistik. Saat menjelasan penentuan harga dalam pasar linguistik Bourdieu menjelaskan bahwa kompetensi linguistik juga memiliki homogensi dengan modal social dan kultural bidang lain.

Inilah yang membuat penjelasannya menarik: kompetensi linguistik juga terikat dengan modal-modal social dan simbolik lain.

Kompetensi linguistik tak ditentukan sebagai “komoditas” terpisah, melainkan satu paket dengan modal sosial dan simbolik lain.

Proses transaksi dalam pasar linguistik menjayikan dua kemungkinan: asimilasi dan disimilasi.

Asimilasi terjadi ketika ada penyesuaian antara subjek-subjek yang memiliki kompetensi linguistik berbeda. Biasanya subjek terdominasi yang menyesuaikan dengan subjek dominan.

Saya “terpaksa” menyesuaikan diri mempelajari dan menggunakan dialek Semarang karena selau dihukum saat menggunakan dialek Banyumasan. Hukumannya: dianggap lucu, ndesit, tidak keren.

Disimilasi terjadi ketika dua subjek atau kelompok dengan kompetensi linguistik berbeda mempertahankan harganya masing-masing. Ketidaksetujuan ini menciptakan tawar-menawat terus-menerus, menciptakan kontestasi dan mungkin pertentangan, sampai salah satu menyetujuinya.

Dituasi asimilasi bisa terjadi setelah didahului disimilasi. Sebaliknya, disimilasi bisa juga terjadi setelah asimilasi.

Konsep asimilasi dan disimilasi ini menurut saya menarik untuk memahami lahirnya variasi gaya (style) dan modus ekspresi berbahasa hingga ke tingkat makro.

Dengan penjelasan ini kita bisa memahami munculnya variasi bahasa hingga ke struktur paling mikro: level individu pada peristiwa tutur yang sangat spesifik.

Dengan penjelasan ini variasi gaya bahasa tidak lagi diasumsikan sebagai sesuatu yang statis, melainkan konsep yang sangat dinamis.

Rahmat Petuguran
Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang

 

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending