Connect with us

Tidak setiap orang yang bisa menulis dengan baik akan mendapatkan pembaca. Sama: tidak setiap penceramah yang retorikanya bagus akan mendapatkan pendengar.

Jika dianalogikan sebagai pasar, kondisi itu persis dengan tidak setiap nelayan atau petani yang memiliki ikan dan sayur paling segar bisa mendapatkan harga paling bagus. Sama; memiliki kambing paling gemuk tidak menjamin harga bagus di pasar ternak.

Pierre Bourdieu melihat bahwa arena linguistik memiliki keberaturan serupa pasar sehingga ia menggunakan metafora linguistic market (pasar linguistik).

Istilah itu ia gunakan untuk menjelaskan bagaimana bahasa dipergunakan sebagai komoditas sekaligus cara bertransaksi dalam pasar simbolik yang lebih besar.

Ia memandang kompetensi linguistik seseorang tidak terbatas pada kompetensi teknis yaitu kemampuan memproduksi modus-modus ekspresi sebagaimana dikemukakan Noam Chomksy melalui teori kompetensi dan performansi.

Dalam pasar linguistik, kompetensi teknis hanyalah ikan, sayur, atau kambing: produk. Barang yang bagus sama sekali tidak memberi garansi bagi harga yang baik di pasar.

Nah, menurut Bourdieu, kompetensi linguistik baru akan bermakna jika memiliki distingsi dan pemiliknya dapat mempertahankan struktur pasar yang relevan dengan kompetensinya.

Distingsi linguistik, secara sederhana, saya pahami sebagai pembeda yang membuat kompetensi linguistik seseorang menjadi atau dianggap langka.

Struktur pasar linguistik menyerupai pasar ekonomi yang membuat kelangkaan dapat menaikkan nilai jual. Kompetensi linguistik yang dimiliki oleh setiap atau mayoritas anggota komunitas linguistic tidak akan dianggap bernilai.

Untuk menjelaskan itu, Bourdieu membuat dua tipe nilai kompetensi linguistik, yaitu kompetensi nondistingtif dan komunikasi distingtif.

Kompetensi nondistingtif adalah kompetensi umum yang dimiliki mayoritas anggota komunitas linguistik, misalnya bicara. Kompetensi itu tidak memberi nilai tambah apa pun yang membuat seseorang diterima di pasar linguistik dengan “mahal”.

Meski terkesan sembrono, saya ibarat sekadar bicara mungkin nilai distingtifnya setara dengan kentut. Karena setiap orang melakukannya, tidak ada yang memandang kentut sebagai sesuatu yang berharga.

Tipe kedua adalah kompetensi distingtif yaitu kompetensi yang dimiliki hanya segelintir orang. Biasanya ini diperoleh melalui proses produksi kultural seperti latihan panjang atau sekolah di akademi. Misalnya, kompetensi menulis karya ilmiah, mencipta lagu atau puisi, atau melawak.

Cak Lontong adalah contoh yang baik untuk menjelaskan kompetensi linguistik itu. Ia digamari dan dibayar mahal untuk melawak tunggal (stand up comedy) karena komedinya berbeda dengan komedian lain. Kini Kiky Saputri mengambil alih karena ia mampu menyodorkan distingsi baru.

Tapi sekali lagi, memiliki kompetensi distingtif bukan jaminan seseorang akan mendapatkan harga yang bagus dalam pasar linguistik.

Pasar linguistik adalah arena yang memiliki keberaturan dan hukum-hukum tertentu. Para agen harus berjuang agar keberaturan dalam pasar linguistik tetap relevan dengan kompetensi yang dimilikinya. Jika struktur pasar itu berubah, kompetensi linguistik itu akan memiliki nilai yang berbeda.

Guru-guru bahasa Indonesia, misalnya, harus menjaga kondisi psikologis dan sosial yang memungkinkan ilmu tentang perbedaan antara “di” yang dipisah dengan “di” yang disambung tetap bermakna.

Meskipun Perang Dunia III sudah di depan mata, pengetahuan tentang kata depan dan awalan itu harus dipertahankan tetap relevan sebagaimana nelayan juga perlu mempertahankan pengetahuan bahwa ikan adalah makanan sehat yang bergizi tinggi.

Para penyair juga harus berjuang mempertahankan struktur pasar yang membuat puisi tetap diterima, meskipun – misalnya – karya sastra itu semakin tidak menemukan signifikasi sosial dan ekonominya.

Situasi itulah yang mendorong perebutan kekuasaan dalam pasar linguistik mencapai level baru: memproduksi instrumen produksi.

Saya mamaknai, yang dimaksud “memproduksi intsrumen produksi” berkaitan dengan produksi struktur pasar linguistik yang mengatur cara produksi, penentuan harga, dan mekanisme transaksi kompetensi linguistik.

Di tingkat inilah Pierre Bourdieu mengajak pembacanya melihat pertarungan simbolik hingga ke belakang panggung yang ternyata lebih sengit dan semarak.

Bagi pembaca anyaran seperti saya, ini tawaran sudut pandang yang aduhai.

Salam,
Rahmat Petuguran
Dosen Sosiolinguistik Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending