Connect with us

Sebagai dosen bahasa Indonesia, salah satu tugas saya adalah mendidik anak-anak muda agar memiliki kompetensi linguistik tertentu yang diidealkan. Dengan lagak yang kadang imperatif, saya menunjukkan bagaimana mestinya berbahasa dengan baik,  benar, dan bagus sesuai kaidah tertentu.

Kaidah yang saya ajarkan adalah norma-norma berbahasa. Norma itu melekat dalam bahasa dalam wujudnya sebagai langue.

Langue muncul karena bahasa diandaikan sebagai sesuatu yang terlepas dari pengguna dan penggunaannya. Seolah-olah, langue ada terlebih dahulu dan kemudian termanfiestasi dalam tuturan konkret (parole).

Pandangan yang dipromosikan Ferdinand de Saussure itu dikritik Pierre Bourdieu.

Menurut Bourdieu, bahasa pada mulanya ada dalam bentuk praktik, bukan dalam bentuk kaidah. Oleh karena itu, secara tersirat Bourdieu mengasumsikan bahwa bahasa dalam praktik memiliki kedudukan lebih tinggi daripada kaidah-kaidahnya.

Dua orang ini berseberangan. Saussure tampaknya mengasumsikan bahwa langue adalah akibat alamiah adanya bahasa. Di dalam bahasa otomatis ada langue, begitu kurang lebih.

Tapi Bourdieu melihat bahwa langue adalah skema politis yang dibangun untuk melanggengkan dominasi kelompok tertentu. Proses dominasi ini didahului dua proses lain yaitu unifikasi dan imposisi.

Sebelum lahir kaidah, bahasa adalah praktik sehari-hari pada level individu atau komunitas kecil. Misalnya keluarga atau desa.

Karena itulah, bahasa yang dituturkan di desa satu dengan sebelahnya bisa saja berbeda meskipun memiliki akar sejarah yang sama. Dua bahasa yang berbeda itu dalam posisi yang sama, tidak ada yang lebih benar atau baik dibanding lainnya.

Kemudian ada interaksi yang membuat penutur dari dua bahasa itu melakukan penyesuaian-penyesuaian demi kepentingan komunikasi. Dalam proses penyesuaian itulah dua komunitas bahasa yang berbeda itu mengalami penyatuan atau unifikasi.

Karena mereka telah mengalami unifikasi maka dipandang perlu adanya satu bahasa. Proses pemilihan bahasa mana yang harus menjadi bahasa utama dana mana yang menjadi bahasa nonutama inilah yang disebut imposisi.

Proses imposisi melibatkan kekuatan-kekuatan di luar kompetensi linguistik, misalnya intelektual, ekonomi, sosial, politik, dan mungkin militer yang membuat kelompok dominan memiliki peluang lebih besar menjadikan bahasanya sebagai bahasa utama.

Sebagai contoh, di Perancis bahasanya orang ibu kota (Paris) disakralkan sebagai bahasa utama dibandingkan bahasa para petani di pedesaan. Bahasa petani dipeyorasi sebagai bahasa yang kasar dan miskin. Yang baik adalah yang “semestinya” dan yang kurang baik adalah yang perlu dihindari.

Jadi, langue itu lahir dari proses dominasi kelompok tertentu terhadap kelompok lain, buakn sertaan alamiah bahasa. Umumnya berasal dari kelompok yang kuat: orang kota, terpelajar, dan aristokrat.

Dominasi dalam proses itulah yang membuat langue selalu politis, menurut Bourdieu. Dengan demikian, mengasumsikan bahwa langue merupakan sertaan alamiah bahasa adalah kekeliruan yang menyesatkan.

Karena lahirnya saja sudah politis, maka langue juga cenderung digunakan secara politis untuk melanggengkan dominasi kelompok dominan.

Dominasi ini kemudian diinstitusikan dengan lahirnya bahasa legitim. Dalam istilah sehari-hari bahasa legitim itu ada dalam bentuk bahasa resmi dan formal, bahasa yang ditahbiskan sebagai bahasa yang benar.

Nah Bourdieu mengkritik Saussure (dan juga Chomsky) karena mengabaikan asal-usul munculnya langue saat membangun teorinya.

Bourdieu juga mengkritik Leonard Bloomfield karena rumusannya tentang komunitas linguistik (masyarakat bahasa?) mengimplikasikan

Kalau benar hipotesis Bourdieu in maka pengakuan tentang adanya langue mengimplikasikan pikiran yang terdominasi.

Dengan begitu, orang-orang yang mempromosikan kompetensi berbahasa sesuai kaidah pada dasarnya sedang melakukan kerja politis untuk menyokong kekuasaan linguistik kelompok tertentu, kelompok yang telah berhasil menjadikan bahasanya sebagai kaidah bagi bahasa-bahasa lain.

Rahmat Petuguran
Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending