Sejak Revolusi Sains, manusia tergila-gila pada pengetahuan empiris yang logis. Kemampuan kognitif naik ke singgasana, menjadi hakim untuk menentukan benar dan salahnya sebuah perkara. Kondisi itu membuat “logis” nyaris punya bobot yang sama dengan “benar”.
Namun belakangan diketahui, mekanisme kerja otak dipenuhi berbagai kecacatan. Evolusi mengembangkan otak untuk mencapai keuntungan survival, bukan menemukan kebenaran.
Dalam buku The Art of Thinking Clearly, Dobelli menunjukkan 99 kesalahan berpikir yang lazim dilakukan. Untuk ukuran daftar kesalahan, jumlah 99 adalah angka yang terlampaui banyak. Meski begitu, itu jauh lebih sedikit dari jumlah kesalahan berpikir yang benar-benar dialami pikiran manusia.
Salah satu kesalahan paling lazim dialami manusia adalah bias konfirmasi. Dobelli menyebut kesalahan ini sebagai “bapaknya bias kognitif” karena sering memicu munculnya bias kognitif lain.
Biar konfirmasi terjadi ketika seorang berusaha menyelidiki kebenaran sesuatu. Ketika otak sudah menyodorkan simpulan awal, bukti-bukti yang mengarah ke simpulan itu diberi bobot lebih besar. Sebaliknya, otak cenderung mengabaikan fakta-fakta lain yang bertentangan dengan simpulan awal tadi. Ini membuat otak bekerja dalam kondisi sangat rentan. Alih-alih menguji kebenaran, otak justru sibuk mengumpulkan pembenaran untuk memperkuat simpulannya.
Bias konfirmasi bisa sangat berbahaya, terutama jika dilakukan pengambil kebijakan. Seorang polisi yang menyelidiki kasus tertentu, misalnya, sangat rentan terjebak bias kognitif. Ketika mulai menangani sebuah kasus, otak cenderung menawarkan simpulan awal. Ketika otak terjebak bias konfirmasi, seluruh kerja penyelidikan dan penyidikan bukan dilakukan untuk menguji dugaan awal tadi, tapi untuk membenarkannya.
Dalam epilognya, Dobelli mengungkapkan bahwa jenis-jenis kesalahan ini terjadi karena warisan “evolusioner”. Saya sendiri agak jenuh ketika “evolusi” dijadikan “tong sampah” bagi kecenderungan perilaku manusia yang sulit dijelaskan dalam konteks kontemporer. Tapi penjelasan evolusioner mamang harus diterima, terutama karena belum ada penjelasan lain yang lebih logis.
Secara evolusioner, leluhur pemburu dan peramu kita telah mengembangkan kemampuan dasar bertahan hidup yang canggih. “Kompetensi survival” itu menjadi sifat biologis yang tertanam melalui kode-kode khusus dalam DNA. Itulah yang membuat kebiasaan leluhur pemburu dan peramu tetap kita warisi meski kita telah 14.000 tahun meninggalkan era itu.
Kecenderungan manusia untuk melakukan konfirmasi sosial adalah salah satu contohnya. Secara sederhana, konfirmasi sosial terjadi ketika manusia meniru hal yang dilakukan anggota kelompok lain. Bahkan tanpa alasan yang jelas.
Tren busana, video yang viral, dan ramai-ramai nonton kecelakaan di jalan adalah contoh bias konfirmasi sosial. Bias itu konon diwarisi manusia oleh kebiasaan ribuan tahun ketika manusia dalam periode meramu dan berburu. Pada periode itu, hidup berkelompok adalah strategi survival yang amat penting. Agar bisa diterima dalam kelompok, orang cenderung bersikap konformis.
Jika saat berburu seseorang melihat kelompoknya lari, orang itu terdorong untuk lari juga. Tidak ada waktu untuk berpikir apa yang membuat orang-orang lari. Entah karena harimau atau kijang yang berkelabatan di balik semak, tidak ada waktu untuk memeriksanya. Jika berpikir terlalu lama, orang itu sudah tidak selemat.
Sifat genetis seperti itulah yang membuat berbagai bias kognitif tak muda dihilangkan. Ia tertanam dalam kode-kode biologis dan terepresentasi dalam bentuk intuisi. Karena itu, kecenderungan bias kognitif tidak memandang tingkat pendidikan. Jenis bias kognitif dapat ditemukan pada orang yang tak pernah sekolah, profesor si Harvard, pialang saham, CEO perusahaan global, wartawan, juga profesi lain di lokasi mana pun.
Kondisi itulah yang membuat Dobelli berkali-kali menekankan, perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk menghindari bias kognitif. Keterbatasan evolusioner otak membuatnya lebih tertarik pada keuntungan daripada kebenaran. Aneka klaim kebenaran, – bahkan – bisa jadi cuma cara otak mendapatkan keuntungan. Jika aneka bias bisa dikurangi, otak menjadi lebih jernih untuk memutuskan sesuatu secara rasional.
Meski begitu, penulis The Art of Thinking Clearly tak bermaksud mendudukkan otak secara superior. Dengan berbagai keterbatasan itu, justru, penulis menganjurkan kita menggunakan otak dengan proporsional. Maksudnya, tidak setiap hal harus dipikirkan secara rasional. Ada hal-hal yang justru indah jika dihadapi secara instingtif dan emosional.
Dobelli mencontohkan, urusan jodoh adalah salah satunya. Kalau saat memilih jodoh orang harus membuat matriks penilaian di Excell, niscaya orang itu akan tetap jomblo saat usianya 50 tahun. Urusan jodoh, baiknya dihadapi dengan pikiran instingtif. Suka, jatuh cinta, nikahi. Gitu, Mblo!
Saat beli buku ini saya mengira buku ini berisi uraian akademis yang panjang dan mendalam. Tapi isinya adalah 99 contoh kasus.
Pada setiap kasus Dobelli merujuk teori dan hasil penelitian sebagai bukti bahwa bias berpikir seperti itu benar-benar ada. Tapi kadang uraian itu terlalu singkat. Ini membuat paparan akademisnya kurang mendalam. Saat baca buku, ada baiknya pembaca mengeceknya di sumber akademik yang dirujuk.
Rahmat Petuguran
Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang
-
Muda & Gembira10 years ago
Kalau Kamu Masih Mendewakan IPK Tinggi, Renungkanlah 15 Pertanyaan Ini
-
Muda & Gembira10 years ago
Inilah 10 Sifat Orang Ngapak yang Patut Dibanggakan
-
Muda & Gembira9 years ago
Sembilan Kebahagiaan yang Bisa Kamu Rasakan Jika Berteman dengan Orang Jepara
-
Muda & Gembira9 years ago
SMS Lucu Mahasiswa ke Dosen: Kapan Bapak Bisa Temui Saya?
-
Muda & Gembira10 years ago
Inilah 25 Rahasia Dosen yang Wajib Diketahui Mahasiswa
-
Lowongan9 years ago
Lowongan Dosen Akademi Teknik Elektro Medik (ATEM), Deadline 24 Juni
-
Kampus11 years ago
Akpelni – Akademi Pelayaran Niaga Indonesia
-
Kampus13 years ago
Unwahas – Universitas Wahid Hasyim