Connect with us

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah merupakan novel karya Tere Liye yang bertema tentang cinta, dan digambarkan oleh seorang pria bernama Borno yang disebut-sebut sebagai “pria berhati paling lurus sepanjang tepian Kapuas”. Latar dominan dari novel ini diambil di tepian sungai Kapuas, Pontianak.

Cerita ini dibuka dengan sepenggal kisah kehidupan Borno yang ditinggal ayahnya di usia 12 tahun. Dalam cerita ini ayahnya terlempar dari sepit dan tersengat ubur-ubur, lalu ayah Borno memilih untuk mendonorkan jantungnya kepada seorang pasien gagal jantung.

Lalu cerita diganti dengan kehidupan Borno setelah lulus SMA yang sering bergonta-ganti pekerjaan;  mulai dari bekerja di pabrik karet yang membuat tetangganya membencinya karena bau yang ia bawa dari pabrik karet; lalu bekerja di dermaga feri yang juga dibenci oleh warga tepian kapuas dan juga pengendara sepit lainnya (alasan dibenci karena kapal feri merampas mata pencaharian mereka, dan untuk sampai ke dermaga feri, seseorang harus menggunakan sepit jika tidak ingin memutar lewat jalur darat);di rekomendasikan untuk bekerja di sarang burung walet,namun Borno tidak menerima tawaran tersebut karena ia takut dengan burung; bekerja di SPBU apung; bekerja serabutan; dan hingga akhirnya ia menjadi pengemudi sepit.

Menjadi pengendara sepit tidak semudah yang dibayangkan Borno, ia harus membaca buku bagi pemula yang diberikan oleh Pak Tua, dan juga mendapatkan ospek dari Bang Togar selaku Ketua PPSKT, seperti membersihkan kakus, mengecat kakus, hingga mengecat sepit milik Bang Togar. Setelah ia melewati masa ospeknya, disanalah ia bertemu dengan gadis keturunan cina yang ia sebut dengan gadis sendu menawan. Sejak pertemuan pertama itu, ia selalu menanti kedatangan gadis tersebut untuk menaiki sepit menyebrangi Kapuas. Bahkan ia dengan sengaja menunggu antrean sepit ke-13 demi gadis tersebut agar menaiki sepitnya.

Setelah ia mengetahui namanya, Borno juga akan mengajari Mei mengendarai sepit, namun sebelum ia mengajari Mei, Mei terpaksa harus pulang ke kampung halamannya di Surabaya. Setelah beberapa tahun tidak bertemu, akhirnya mereka dipertemukan kembali di Surabaya, ketika Borno mengantar Pak Tua menjalani pengobatan alternatif. Mereka bertemu tanpa sengaja di klinik yang Pak Tua datangi. Di Surabaya pula lah Borno bertemu dengan ayah Mei, yang kemudian melarangnya untuk menemui Mei lagi.

Ketika ia kembali ke Pontianak, ia menceritakan semua tentang Mei, semua yang dialaminya kepada Andi; sahabatnya. Cerita di mulai lagi ketika Mei kembali ke tepian Kapuas, Mei yang tiba-tiba tidak datang saat akan diajari mengendarai sepit, hingga pertemuan dengan dokter Sarah yang ternyata ayah dari dokter Sarah lah yang menerima donor jantung dari ayah Borno. Lalu Mei mulai menghindari Borno, Borno juga menjual sepitnya demi membeli bengkel, perlombaan sepit, hingga Mei meminta untuk tidak bertemu lagi dan memutuskan kembali ke Surabaya.

Sebelum Mei pergi, Mei juga menitipkan sebuah surat untuk Borno. Dimana disana terdapat jawaban atas semua pertanyaan Borno selama ini. Angpau merah yang dulu dijatuhkan Mei di sepit Borno adalah sebuah surat permohonan maaf karena ibu Mei sendiri yang melakukan operasi donor jantung ayah Borno kepada ayah Sarah.

Novel ini disajikan dengan akhir yang menggantung, yang membuat para pembacanya akan merasa gemas dan bertanya-tanya tentang kelanjutan cerita dari Borno dan Mei. Novel ini termasuk tebal karena memiliki 512 halaman, namun ratusan halaman tersebut tidak akan terasa jika kita sudah membacanya, karena Tere Liye sangat cerdas mengemas novel ini dengan bahasa yang mudah dipahami. Bahkan ketika membacanya pun, kita dapat memvisualisasikan latar yang ada di dalam novel tersebut.

Latar yang disajikan dengan detail, natural dan disertaibeberapa unsur lainnya membuat pembaca akan merasa seolah-olah benar-benar berada di lokasi cerita, dan mendapatkan pengetahuan tentang kultur masyarakat setempat yang tinggal di tepian Kapuas. Ini membuat saya  ingin ke Pontianak dan tinggal di tepian kapuas, hehe.

Novel ini juga memiliki nilai-nilai inspiratif yang dapat kita ambil dari kisah-kisah kehidupan Borno yang banyak merasakan pahit getirnya hidup. Dalam proses ini lah penulis menitipkan pesan moral kepada pembaca tentang kejujuran, ketekunan, dan kerja keras agar mendapat kesuksesan di masa mendatang.

Namun menurut saya, kisah cinta Borno dan Mei di novel ini terlalu berbelit-belit dan berputar-putar. Tapi hal itu tertutup oleh kisah lain yang disajikan penulis. Novel ini sungguh direkomendasikan. Selamat Membaca.

Karin Kartika Sujarwo

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending