Connect with us

Awal mula penyebutan BULE adalah PERLAWANAN terhadap RASISME. Bule adalah sebutan yang lazim untuk merujuk orang berkulit putih. Harus dipahami benar sebutan “putih” itu sendiri bukanlah penamaan yang bersifat netral, melainkan merujuk pada ras Kaukasoid. Secara sosiologis, ras di dunia ini dibagi menjadi tiga, yakni Kaukasoid (putih), Negroid (hitam), dan Mongoloid (kuning).

Ras yang dianggap paling unggul dari sisi keadaban dan peradaban adalah Kaukasoid (putih) yang berasal dari Eropa. Sehingga, putih menempatkan diri sebagai pihak yang paling superior dibandingkan ras lainnya. Sementara itu, ras Mongoloid atau Negroid, dianggap sebagai kelas kedua atau ketiga saja.

Jadi, kalau pada era sekarang ini banyak produk kosmetik yang diklaim bisa memutihkan kulit, itu bukan sekadar pengubah warna belaka. Putih menunjuk pada sosok manusia dengan ras yang dianggap bersih, lebih baik, dan lebih unggul. Pada era sebelum itu, biasanya produk-produk kosmetika berpromosi mengubah kulit berwarna “sawo matang” menjadi “kuning langsat”. Jadi, memang, ada bias rasisme yang sengaja dimainkan di sana.

Hanya saja, kita selalu menyebut orang-orang dengan ras Kaukasoid itu sebagai bule, dan tidak pernah mengatakannya sebagai putih. Sementara itu, produk-produk kosmetika tidak akan pernah mempromosikan tentang kulit bule, melainkan selalu berkoar-koar mengenai kulit putih yang berkilau dan menawan.

Dari siapakah awalnya sebutan bule itu? Jawabannya: Benedict Anderson! Dalam bukunya yang berjudul “Hidup di Luar Tempurung” (2016: 76), Ben menulis: “Ada satu hal yang bikin saya kurang sreg sejak awal, yakni masalah ras. Saya tidak pernah menganggap diri saya ‘putih’,… Melihat warna kulit saya, yang tidak putih tetapi merah muda kelabu, saya merasa warna ini mendekati warna kulit hewan albino (kerbau, sapi, gajah, dll) yang oleh orang Indonesia biasa diistilahkan ‘bulai’ atau ‘bule’. Jadi, saya beritahu kawan-kawan muda saya bahwa saya dan orang-orang serupa saya harus disebut ‘bule’, jangan ‘putih’…..”

Sebutan bule, yang muncul pertama kali pada 1962 atau 1963, itu selanjutnya menyebar ke berbagai koran dan majalah serta menjadi kosa kata bahasa Indonesia sehari-hari. Jadi, bisa disimpulkan, awal mula penyebutan bule adalah perlawanan terhadap rasisme.

Ben Anderson sengaja merendahkan diri secara lugas maupun kias seperti kerbau, sapi, gajah, dst. untuk menunjukkan semangat egaliterianismenya. Kalau kita sampai saat ini masih menganggap bule itu jauh lebih hebat dari kita, sebenarnya, perangkap kolonialisme masih membelenggu kesadaran kita. Rasisme itu telah lama dilawan di negeri ini, tapi ironisnya kita masih bangga berperan sebagai anak-anak bangsa jajahan. (Foto: iyaa.com)

Triyono Lukmantoro

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending