Connect with us

Banyak mahasiswa saya yang berasal dari Pantura bagian timur Jawa Tengah. Ada yang dari Jepara, Rembang, Pati, dan sekitarnya.

Bukan cuma mahasiswa. Teman saya juga banyak yang dari daerah sana. Pacar saya juga ada yang di sana. Termasuk pacarnya pacar saya, juga ada yang dari sana. 😂

Ada dialek khas kawan-kawan di daerah itu. Secara akademis, saya belum menelitinya. Tapi belakangan ini saya tertarik mencermatinya.

Kekhasan dialek daerah itu adalah pendiftongan.

Dalam ilmu bahasa, diftong didefinisikan sebagai vokal rangkap yang tergolong dalam satu suku kata.

Dulu, dalam bahasa Indonesia dikenal ada tiga huruf diftong. Ketiganya adalah ai, au, dan oi. Dalam ejaan terbaru, ditambahkan satu lagi diftong, yaitu ei.

Di lingkungan penutur bahasa Jawa panturanan, jumlah diftong jauh lebih banyak. Ada ua. Ada juga ui. Bisa dikreasikan sesuai ekspresi yang ingin disampaikan penutur.

Hanya saja, fungsi diftong dalam bahasa Jawa panturanan lain. Ada fungsi semantiknya.

Kata yang didiftongkan memiliki makna yang cenderung berbeda dengan kata standar.

Misalnya, kata standar dalam bahasa Jawa adalah akih ‘banyak’. Oleh penutur Jawa pantura timur, bisa didiftongkan menjadi uakih yang berarti “banyak sekali” atau “lebih dari sekadar banyak”.

Kata pedes berarti “pedas”. Tapi setelah didiftongkan menjadi puedes berarti “pedas banget”. Hasil modifikasi itu bisa dimodifikasi lagi menjadi puedis yang kurang lebih maknanya: “nauzubillah pedasnya”.

Kata ayu berarti “cantik”. Jika didiftongkan menjadi uayu maknanya menjadi “sangat cantik”.

Sejauh data itu, bisa kita tafsirkan bahwa diftongisasi pada dialek bahasa Jawa pantura timur memiliki fungsi semantis. Lebih spesifik, fungsinya adalah menyatakan intensitas.

Karena berfungsi menyataka intensitas, diftong cenderung punya fungsi semantik pada kata sifat. Pada kata kerja dan benda gimana?

Meja (n) dan mueja tetap memiliki makna yang sama. Apakah ada intensi ukuran yang terekpresikan? Kayaknya tidak.

Watu dan wuatu juga cenderung sama maknanya. Apakah watu (berukuran kecil atau sedang) dan wuatu (berukuran lebih besar)? Kita perlu tanya kepada penutur aslinya.

Pertanyaan berikutnya: apakah diftongisasi sebagai ekspresi intensitas adalah gejala yang unik di Pantura bagian timur?

Beberapa bahasa dunia menggunakan penanda suprasegmental berupa nada sebagai penanda semantik. Bahasa Mandarin, contohnya. Bahasa Thailand kayaknya juga begitu.

Tapi fenomena diftongisasi ini belum saya temukan ada di bahasa lain. Mungkin memang unik. Mungkin juga saya yang belum tahu. Mohon maklum, belakangan jarang piknik ke sana. Kalau Bapak dan Ibu, ada yang tahu, bolehlah dibagikan di sini.

Salam,
Rahmat Petuguran
Pernah ngguanteng

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending