Connect with us

Setelah bertemu Prabowo Subianto untuk membicarakan koalisi, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberi pernyataan di depan pers bahwa “Prabowo adalah calon presiden kita”.

Sebagai pembaca, saya merasa pronomina “kita” yang digunakan olehnya terasa tidak tepat. Ia berusaha mendesakkan sesuatu yang sebenarnya milikinya agar seolah-olah tampak seperti milik bersama.

Bukankah faktanya, Prabowo Subianto adalah cawapres dari koalisi mereka (Gerindra + Demokrat)? SBY menggunakan “kita” agar kesan inklusif muncul.

Pernyataan SBY itu menambah panjang catatan yang menunjukkan bahwa pronomia persona “kita” merupakan pronomina yang paling sering digunakan secara politis. Sebelum SBY, cara serupa digunakan oleh politisi-politisi lain, baik di dalam maupun di luar negeri.

Saat pemilihan presiden tahun 2004, SBY sendiri menggunakan jargon ini: bersama kita bisa. Saat pemilihan presiden 2014, Jokowi Widodo menggunakan: Jokowi adalah kita. Rivalnya, Prabowo Subianto kerap mengucapkan: kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi? Kalau Anda masih ingat, Barack Obama juga menggunakannya. Yes We Can!

Catatan akademis tentang penggunaan “kita” dalam berbagai wacana politik juga cukup banyak. Misalnya, Thomas dan Wareing (2007), ada Katarzyna Proctor (2011), juga ada senior saya di Universitas Tidar Rangga Asmara (2016). Iseng-iseng, saya juga pernah meneliti perilaku kebahasaan yang sama pada Wanda Hamidah. Kajian tentang pengunaan “kita” sama sekali bukan barang baru.

Secara teoretis, pronomia persona dikenal sebagai kata ganti. Fungsi pronomina adalah menggantikan subjek atau objek lain agar objek tersebut secara eksplisit tidak muncul, tapi secara implisit muncul.

Dalam bahasa Indonesia kita mengenal ada enam jenis pronomina, salah satunya adalah pronomina persona atau kata ganti orang. Pronomina persona terdiri dari tiga jenis, yaitu pronomina pihak pertama, yang meiputi aku dan  saya (tunggal) serta kami dan kita (jamak). Pronomina persona pihak kedua adalah kamu (tunggal) dan kalian (jamak). Adapun pronomina pihak ketiga adalah dia, ia, beliau (tunggal) dan mereka (jamak).

Di antara sekian banyak pronomina persona itu, “kita” adalah yang paling kerap digunakan secara politis. Artinya, “kita” digunakan menyatakan maksud politis tertentu. Di dunia politik praktis, “kita” paling sering digunakan dalam jargon.

Pada contoh pernyataan SBY di atas, kata “kita” sengaja digunakan untuk membentuk hubungan imajiner antara penutur dan mitra tutur. Dengan menggunakan “kita” penutur mengkonstruksi kesadaran mitra tutur bahwa  keduanya berada di pihak yang sama.

Implikasi pragmatik kata “kita” pada pernyataan itu akan jauh berbeda jika pronomina yang digunakan adalah “kami”. Jika yang digunakan “kami”, mitra tutur dikondisikan berada di lingkaran yang berbeda. Besar kemungkinan, itu akan membuat mitra tutur merasa kurang dirangkul.

Lalu, apakah kecenderungan anak-anak muda untuk menggunakan “kita” juga ekspresi bahasa yang politis?

Di sekitar kita (Kita? Elu aja kaleee…) mudah ditemukan anak-anak muda yang menggunakan “kita” untuk menyebut dirinya jamak.

Seorang mahasiswa pernah berkata begini kepada saya, “Maaf ya Pak, kita terlambat.” Saya maklum, bahwa yang hendak ia katakan sebenarnya adalah “kami” yaitu dirinya dan temannya. Apakah substitusi “kami” dengan “kita” merupakan strategi politik dalam berbahasa?

Menurut saya tidak.

Besar kemungkinan, itu terjadi karena kerancuan diksi. Kekacauan ini sering dialami anak muda karena ragam tutur prokem memang sering tak membedakan keduanya. “kita” dan “kami” kerap digunakan secara kurang disiplin. Kebiasaan itu terbawa di lingkungan akademis, yang mestinya lebih tertib.

Begitu.

Rahmat Petuguran

Gambar: merdeka.com

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending