Connect with us

ANAK anak muda yang meninggalkan kampung halamannya di desa untuk kuliah atau kerja di kota selalu hidup dalam tegangan. Mereka (kami?) berada dalam tarikan nilai pedesaan dan nilai perkotaan.

Di titik paling ideal, asimiliasi kedua nilai itu akan membentuk pribadi yang pekerja keras namun bergaya hidup sederhana. Di titik paling mengerikan, perpaduan dua nilai itu menghasilkan pribadi yang malas namun hedonis.

Di desa, kesederhanaan adalah bahasa keseharian. Orang-orang desa bisa dan terbiasa hidup sesuai kemampuannya. Hasrat hidup mewah tidak muncul berlebih-lebihan. Ambisi untuk pamer, meskipun tetap ada, tidak diwujudkan dalam gaya hidup yang atraktif.

Anak-anak yang tumbuh dalam tradisi rural dididik untuk hidup sederhana dan gemar berbagi. Dua sikap ini dipelihara sebagai strategi memelihara nilai dasar manusia desa, yakni harmoni. Sikap sederhana relatif dapat menghindarkan seseorang dari konflik.

Dulu, sebelum televisi ada, desa dan kota adalah dua entitas sosiologis dan geografis yang sama sekali berbeda. Sejak televise (dan kemudian) internet popular, keduanya mulai menemukan kemiripan. Tetapi dalam banyak hal, kesederhanaan sebagai nilai dasar warga desa tetap dipegang.

Anak muda yang tumbuh dalam tata nilai desa akan menemui kegamangan ketika pindha ke kota. Di komunitas urban uang jadi Bahasa yang paling dihargai. Pertama-tama, itu terjadi karena orang kota cenderung permisif sehingga setiap orang harus hidup mandiri. Selain itu, orang kota cenderung kompetitif dalam banyak hal. Untuk menjadi pemenang, orang perlu mengungguli atau bahkan mengalahkan orang lainnya.

Untuk berterima di komunitas kota, komunitas yang baru dikunjunginya, anak-anak muda desa kerap tidak memiliki pilihan kecuali bersikap konformis. Sebagai orang baru, pendatang, mereka mengikuti aturan main komunitas barunya. Anak-anak muda yang awalnya nyaman bergaya apa adanya mulai gelisah ketika mendapati dirinya hidup dalam kasta terbawah, kerap terabaikan.

Dalam situasi seperti itulah, akan muncul dorongan memanipulasi diri supaya tampak kaya. Perlu waktu panjang untuk benar-benar menjadi kaya, tetapi anak-anak muda ini perlu segera tampak kaya. Manipulasi idenitas dilakukan, antara lain, dengan memilih pakaian, makanan, dan kenderaan yang memungkinkannya lebih bisa diterima lingkungan urban.

Dalam tegangan seperti inilah, kondisi-kondisi ironic seperti dikatakan Gayatri Jayaraman (silakan baca di: Mengenal Kaum Miskin Urban: Anak-Anak Muda yang Kere, Kelaparan, tapi Eksis) terjadi. Anak-anak muda menjalani gaya hidup yang paradoksal: bokek namun eksis. Tidak punya uang tapi aktif nongkrong dari kafe satu ke kafe lain.

Tawaran untuk bergaya hidup hedonis tidak saja dating dari lingkungan terdekat: teman atau tetangga, tetapi juga diterima dari media (utamanya film dan televise). Dari televisi, anak-anak muda belajar bahwa tampil kaya adalah modal utama untuk diterima lingkungannya.

Gaya hidup konsumtif ini relative tidak jadi masalah jika ditopang sumber daya finansial yang cukup, baik yang diterima dari orang tua atau keberhasilannya mengapitalisasi potensi diri. Masalah muncul karena anak-anak muda yang terampil bergaya hidup mewah tak selalu punya uang melimpah.

Bersambung…

Rahmat Petuguran
Pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending