Connect with us

PENYERANGAN gereja Santa Lidwina di Slamen, Yogyakarta, Minggu (11/2) mengoyak kerukunan umat beragama yang telah terjalin di kota tersebut. Penyerangan itu juga menunjukkan bahwa ancaman radikalisme benar-benar ada dan nyata. Oleh karena itu, perlu ditemukan akar persoalan untuk kemudian dapat diselesaikan dengan cara tepat.

Salah satu analisis paling populer yang menjelaskan munculnya paham radikal adalah tumbuhnya sikap ekstrim. Sikap ini muncul karena seseorang merasa agama atau mazabnya paling benar tanpa diiringi literasi keagamaan yang memadai. Rasa paling benar melahirkan ilusi legitimasi  untuk berbuat agresi pada kelompok lain.

Namun demikian, ada persoalan lain yang juga patut mendapat perhatian, salah satunya penggunaan bahasa dalam komunikasi agama (dakwah). Karakter bahasa dakwah yang khas membuatnya memiliki peran sentral dalam menumbuhkan sikap keagamaan umat. Sikap ekstrim sekelompok umat beragama dapat dilacak, digejalai, bahkan disebabkan oleh kekeliruan penggunaan bahasanya.

Dalam terminologi Islam, dakwah adalah aktivitas yang berdimensi luas, mencakup keseluruhan aktivitas syiar yang bertujuan mengajak seseorang memeluk, mempelajari, dan menjalankan ajaran agama. Dalam internal Islam, dakwah termasuk kategori ibadah utama dan melekat pada setiap umat. Aktivitas dakwah dapat direpresentasikan dalam bentuk yang sangat sederhana, misalnya mengajari anak-anak membiasakan sedekah, berceramah di masjid, hingga aktivitas yang berat seperti melawan penguasa zalim.

Dakwah sebagai aktivitas komunikasi mempersyaratkan kecakapan bertutur yang memadai. Kecakapan itu diperlukan untuk memastikan kesesuaian antara nilai yang diajarkan dengan kesepahaman yang diterima konstituen dakwah. Selain itu, kecakapan berkomunikasi juga diperlukan agar  respon yang ditunjukkan publik sesuai dengan nilai dasar yang melandasinya.

Menafsir Kitab Suci

Armstrong (1993) menyebutkan, keyakinan beragama merupakan gejala yang sangat personal. Tradisi keagamaan seseorang dibentuk oleh pengalaman spesifik dan otentik. Ketika dua subjek mengkomunikasikan keyakinannya, besar kemungkinan keduanya melakukan tafsir dengan cara yang berbeda. Simbol-simbol keagamaan yang sama bisa saja merepresentasikan realitas subjektif yang betul-betul berbeda.

Kata “tuhan” merupakan simbol keagamaan yang sangat akrab. Sebagai simbol bahasa, “tuhan” memiliki makna leksikal yang relatif sama yaitu Dzat adikodrati yang merupakan sebab dari segala sebab. Tetapi konsepsi Tuhan dalam diri masing-masing orang bisa saja berbeda. Oleh karena itu, ketika mengkomunikasikan konsep itu kepada orang lain, pendakwah perlu cermat sekaligus arif.

Di luar persoalan praktis komunikasi itu, penggunaan bahasa dakwah memang memiliki problematika internal yang pelik. Hidayat (2006) berpendapat, bahasa kitab suci adalah bahasa Tuhan kepada manusia. Pesan terdalam yang terkandung dalam kitab suci bisa saja tidak dapat digapai logika bahasa manusia. Di dalam kitab suci tersimpan simbol-simbol keilahian yang berlapis. Untuk mendekodifikasi simbol-simbol itu, seorang penganut agama bukan saja memerlukan kecerdasan berbahasa, hermeneutika, tetapi kebersihan jiwa.

Untuk mengungkap pesan kitab suci, selama ini umat beragama  mengandalkan tafsir. Sebagai metode, tafsir menyediakan prosedur agar penanut agama dapat menemeukan pesan di balik teks yang dihadapinya. Namun tafsir sendiri menyimpan problematika internal. Selain tidak pernah menyediakan jaminan kebenaran, tersedia aneka tafsir yang memungkinkan manusia memperoleh pemahaman berbeda.

Dalam internal tiap agama telah dikembangkan skema yang memungkinkan tafsir kitab suci dapat dilakukan mendekati akurat. Pertama, tidak setiap orang berhak menjadi mufasir. Hanya orang dengan kecapakan intelektual dan kebersihan hati yang berhak melakukannya. Kedua, ada berbagai perangkat keilmuan yang harus dikuasai sebelum menafsir. Selain ilmu bahasa, hermeneutika, dan logika, mufasir juga harus menguasai strategi komunikasi. Dengan begitu, tafsir yang dihasilkannya terpercaya, terlindung dari sikap buruk manusia.

Namun, ketika tafsiran disampaikan kepada umat, tafsiran itu harus disampaikan dengan bahasa yang sesuai karakteristik umat. Saat berbicara kepada masyarakat terpelajar di perkotaan, tokoh agama cenderung menggunakan tuturan yang simbolik. Adapun saat berbicara kepada masyarakat kurang terpelajar, mubalig cenderung menggunakan bahasa harfiah. Untuk membuatnya menjadi menarik, tokoh agama bahkan kerap memberdayakan humor, eksemplum, bahkan parodi.

Batas-batas itu akan terjaga dalam dakwah tatap muka. Mubalig dapat membaca selera, jangkauan intelektual, dan kemampuan berbahasa jamaahnya sehingga dapat menyesuaikan diri. Mublig juga dapat merespon kembali respon yang diterimanya dari jamaah sehingga prinsip kerja sama terpenuhi.

Namun ketika ceramah diedarkan melalui media sosial, keuntungan komunikasi itu menjadi tidak berfungsi.  Konteks  spesifik justru hilang, digantikan oleh praanggapan pribadi. Penonton atau pendengar tidak memiliki akses melakukan konfirmasi. Akibatnya, jika ada perbedaan antara pemahaman antara pendengar dengan maksud pendakwah, tidak ada saluran komunikasi yang membuatnya bisa bekerja sama melakukan konfirmasi dan klarifikasi.

Seni Berkomunikasi

Di pesantren dan sekolah, para mubalig idealnya telah belajar berbagai keterampilan berkomunikasi. Dengan keterampilan itulah para pendakwah mengantarkan hikmah kitab suci kepada umatnya. Jarak antara diri sebagai orang berilmu dengan masyarakat yang kurang berilmu diatasi dengan retorika.

Namun, setiap pendakwah juga merupakan penutur yang karakter kebahasaannya unik. Sama seperti manusia lain, para pendakwah memiliki selera dan gaya bahasa yang khas. Kekhasan itu dibentuk melalui proses kognitif, sosial, dan budaya yang panjang. Satu pendakwah mungkin sangat santun, namun pendakwah lain kurang santun. Satu kata yang dipahami satu pendakwah biasa saja dapat dipandang pendakwah lain vulgar.

Di lingkungan masyarakat yang rukun dan arif, perbedaan antara pesan dengan pemahaman adalah kesenjangan (gap) yang wajar dalam peristiwa komunikasi. Perbedaan selera berbahasa antara pendakwah satu dengan lainnya juga gejala yang wajar. Namun dalam masyarakat yang cenderung saling mencurigai seperti saat ini, perbedaan itu dieksploitasi menjadi pemantik konflik.

Penelitian penulis menunjukkan, kekerasan beragama hampir selalu melibatkan kesalahpahaman dalam memahami konsep kunci agama tersebut. Dalam internal agama Islam, misalnya, beberapa konsep itu antara lain jihad, kafir, sesat, dan bidah.

Konsep-konsep itu mengandung kerumitan karena memiliki sejarah, latar filosofis, dan konteks sosial masing-masing. Selain itu, makna tiap konsep terus bergerak sesuai perkembangan tafsir, sains, dan dinamika antarmazab. Agar bisa memahaminya, para ulama menempuh serangkaian prosedur yang tidak sederhana, mempertimbangkan berbagai variabel yang terus bertambah jumlahnya.

Penganut paham radikal cenderung mengasumsikan konsep-konsep itu bersifat tetap dan final. Mereka cenderung memahami kata-kata sebagai simbol mati yang mewakili konsep tertentu secara pasti. Padahal dalam praktik beragama, makna kata berkembang sesuai konteks sosialnya. Masyarakat yang heterogen dapat memberi tafsiran berdasarkan bekal intelektualnya. Masing-masing penafsir berhak mengklaim kebenaran sesuai argumentasi naqli  dan aqli-nya. (Sumber gambar: hallo.tl)

Rahmat Petuguran
Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang,
penulis buku Politik Bahasa Penguasa

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending