Connect with us

Kalau kita punya kesempatan tanya ke Jon*u dan De**y Siregar mengapa mereka suka sekali meracau di Facebook, kira-kira jawaban apa yg bisa kita peroleh?

Saya menduga, kita akan mendapat jawaban yang pola dasarnya serupa: menggunakan FB untuk memperjuangkan kebaikan.

Jawaban serupa mungkin bisa kita dapati kalau pertanyaan serupa kita ajukan ke orang yang “kita anggap” paling evil di lingkar pertemanan kita. Mengapa di FB kamu mengkafir-kafirkan orang? Mengapa mengibliskan orang lain? Mengapa memprovokasi orang lain agar berperang?

Masing-masing dari mereka, dengan rasionalitas masing-masing, mungkin menyatakan sedang memperjuangkan nilai-nilai yang ideal berupa kebenaran.

Kok bisa begitu, ya? Padahal – menurut penilaian subjektif Anda – bukankah status “mereka” itu “nyata-nyata” merusak? Mengandung fitnah, provokasi, kebohongan?

Ada tiga dugaan yang patut diajukan (dan kemudian dipertanyakan kembali) untuk memahami mengapa tiap Facebooker (sengawur apa pun penilian kita terhadapnya) selalu merasa benar. Tulisan ini adalah sambungan dari dua tulisan tentang perilaku di sosial media yang saya tulis lebih dulu – sebuah nasihat bagi diri sendiri.

Pengalaman Personal Spesifik

Status Faecook adalah ekspresi batin. Sebagaimana ekspresi seni dan intelektual, dia lahir berkat adanya gejolak batin dalam diri seseorang.

Gejolak itu bisa bermacam-macam. Bisa berupa kebahagiaan, kegeraman, kemarahan, dan sebagainya.

Perasaan-perasaan itu lahir dari pengalaman personal spesifik yang hanya dialami orang bersangkutan. Pengalaman indrawi mengkristal jadi pengalaman batin yang terkonsepkan. Pengalaman melahirkan ide.

Dengan proses demikian, tiap status yang lahir dari seseorang sudah menemukan rasionalitasnya sejak sebelum diungkapkan. Karena itulah, bagi penilisnya status itu s benar sesih dalam

Masalahnya: karena bersifat personal, rasionalitas ini sulit ditemukan orang lain (terutama yang berideologi berbeda). Makanya, yang tampak benar (logis, patut, layak) bagi penulis status bisa dianggap ngawur, buruk, dan hina bagi orang lain.

Saringan Ideologis

Ideologi menentukan jenis informasi yang bermakna dan tak bermakna. Sebuah informasi dianggap penting karena berkaitan dengan nilai-nilai fundamentsl yang diyakininya. Tapi informasi lain bisa diabaikan begitu saja karena tidak berkaitan dengan ideologinya.

Orang mengekspresikan pemikirannya di Facebook karena meyakini isinya cukup berharga.

Misanya ada orang pajang foto anak 17 kali sehari. Bagi orang lain, itu ekspresi tak penting. Tapi bagi pelakunya, foto itu berkaitan dengan nilai yang amat esensial: kasih sayang, keturunan, harapan, dan lain sebagainya.

Behitupun kalau ada yang nyetatus soal ikan cupangnya yang jerawatan. Berdasarkan pengalaman personalnya, ada tautan antara jerawat cupang dgn ideologi hidupnya. Maka itu, jerawat cupang itu penting dan bermakna.

Gelembung Kebenaran

Karena dorongan survivalnya, orang cenderung berkelompok dengan orang lain yang memberinya rasa aman. Kecenderungan itu juga ada dalam hal mengekspresikan pemikiran.

Kecenderungan ini menghasilkan pola hubungan berkelompok sesuai dengan kesamaan pandangan. Orang yang berpandangan A cenderung berkawan dengan yang memiliki pandangan serupa, begitu seterusnya.

Di kelompok A seseorang akan memperoleh penguatan dari kelompok bahwa pandangannya benar. Kelompok ini membentuk gelembung-gelembung kecil. Seseorang akan terus merasa dirinya benar bukan karena “benar”, tapi karena memang memilih hidup di komunitas yang membenarkannya.

Di Facebook, gelembung ini terbentuk bukan hanya karena kehendak penggunanya, tapi juga karena algoritma komputer yang memolakan berdasarkan aktivitas pengguna.

Demikian renungan pengundang rasa kantuk ini ditulis dengan cara (kurang) seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Rahmat Petuguran
Facebooker (juga)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending