Connect with us

PEKAN lalu, pengacara bernama Habiburokhman jadi bulan-bulanan. Ia memanen begitu banyak cemoohan berkat twitnya mengenai Simpang Susun. Di Twit itu, ia seperti menyalahkan penggagas jalan simpang susun itu.

Belum lama, anggota DPR Fahri Hamzah juga memanen cemoohan yang kurang lebih sama. Cemoohan itu ia tuai berkat pendapatnya di Twitter, bahwa KPK belum sukses menjalankan fungsinya karena makin banyak koruptor di Indonesia.

Kalau kita tarik lebih jauh, cemoohan juga pernah diterima Abrahan Lunggana alias Lulung, Fadli Zon, ahli tata negara Yusril Ihza Mahendra, Mantan ketua MPR Amien Rais, bahkan Mantan Presiden.

Apakah sebuah kebetulan kalau tokoh-tokoh yang ramai kita cemooh hari ini adalah tokoh yang kerap berseberangan dengan pemerintah?

Olok-olok dan cemoohan adalah ekspresi negatif dari seseorang. Ekspresi negatif itu lahir dari persepsi negatif terhadap sesuatu. Adapun persepsi negatif adalah akumulasi tentang informasi negatif yang diingat dalam memori seseorang.

Bukan cuma tokoh, persepsi negatif juga bisa terjadi terhadap objek lain. Benda, peristiwa, gejala: semua bisa jadi objek persepsi negatif (dan di lain waktu positif).

Persepsi negatif atau positif terhadap sesuatu dintentukan oleh jenis informasi yang mendominasi ingatan. Objek bisa dipersepsi positif atau negtaif bergantung pada ingatan yang tersimpan dalam memori subjek. Jika yang tersimpan adalah ingatan baik, maka persepsi subjek terhadap objek cenderung positif. Jika yang tersimpan adalah ingatan buruk, maka persepsi subjek terhadap objek cenderung negatif.

Di sinilah “teknologi ingatan” berperan.

Teknologi ingatan adalah seperangkat instrumen yang digunakan untuk mengintervensi atau bahkan memanipulasi ingatan. Teknologi ini digunakan subjek berkuasa (dominan) untuk mengendalikan ingatan yang layak dan tidak layak disimpan (dalam memori) publik.

Dalam bentuk konvensional, teknologi ingatan dapat berbentuk media massa. Media massa bisa digunakan untuk merekayasa, mana hal yang harus diingat dan dilupakan publik. Media bisa digunakan memanipulasi hal yang dijadikan perhatian dan mana yang harus diabaikan, mana yang dianggap penting dan mana yang tidak.

Itulah teknologi ingatan.

Dalam bentu yang lebih canggih, teknologi ingatan melibatkan berbagai instrumen. Selain media, bisa berupa statistik, mitos, dan bisa jadi: agama.

Novelis Inggris George Orwell mencontohkan dengan amat detail bagaimana teknologi ingatan dioperasikan dalam 1984. Dalam novel legenderasi itu, subjek dominan (penguasa) yang menguasai informasi, bisa menentukan hal-hal yang musti diingat atau dilupakan publik. Dengan mekanisme yang amat rapi, teknologi ingatan digunakan untuk mengarahkan objek yang harus dipuji (Big Brother) dan objek yang harus dibenci. Winston Smith adalah (salah satu) korbannya.

Kondisi ini menunjukkan, ingatan publik sebenarnya sesuatu yang mekanistis dan rapuh. Ingatan publik bisa direkayasa dengan relatif mudah, asal tersedia teknologi yang mendukungnya.

Dengan terdistribsinya kepemilikan media (sosial), cara kerjanya tentu agak berbeda dengan cara kerja masyarakat dystopian dalam novel Orwell di atas.

Tetapi pola dasarnya serupa: sesuatu yang kita benci hari ini suatu saat bisa menjadi sesuatu yang kita puja-puji. Sebaliknya, sesuatu yang kita puja-puji hari ini, bisa jadi sangat kita benci pada kemudian hari. Benci dan cinta bergantung pada “pengaturan” ingatan yang dilakukan oleh subjek yang mendominasi informasi.

Kita bisa ambil contoh. Dulu, perempuan muda yang kini menjabat sebagai menteri koordinator juga pernah jadi objek olok-olok. Ia sering menerima ledekan karena dianggap tak cerdas.

Begitu pula ibunya. Pada periode tertentu ia pernah memanen olok-olok karena berbagai pernyataan dan keputusan politiknya.

Mantan jenderal yang kini mendapat apresiasi karena berani membubarkan ormas, juga pernah memanen olok-olok karena diduga memiliki riwayat terlibat kekerasan pada rezim terdahulu.

Olok-olok itu terutama mereka terima ketika mereka berdiri di luar lingkar kekuasaan, memilih jadi oposisi.

Tetapi kini, mereka menduduki pos-pos strategis. Dengan akses yang dimiliki, mereka memiliki kesempatan menjadi (bagian dari) subjek dominan. Karena itulah, olok-olok terhadap mereka jarang terdengar lagi. Mereka berubah jadi subjek netral atau bahkan – dalam satu dua kesempatan – tampil positif dan menuai pujian.

Teknologi ingatan memungkinkan ingatan publik direkayasa demikian rupa. Asal bisa menjadi subek dominan, menguasai sektor produksi dan distribusi informasi, benci dan cinta bisa dibolak-balik dengan cara relatif sederhana.

Maka, tak perlu heran kalau tokoh yang kini amat kita yakini ke-evil-annya, kelak bisa jadi tampak mulia.

Habiburokhman, misalnya, jika karier politiknya melejit mungkin akan terpilih jadi penguasa. Dengan jabatan itu ia akan memiliki kewenangan anggaran dan politik yang luas. Kewenangan itu bisa membuat “pers”, “intlektual”, dan juru sorak lain siap mendekatinya. Pers, intelektual, dan juru sorak lain siap menyodorkan diri menjadi bagian teknologi ingatan yang siap bekerja mengubah ingatan publik sehingga personanya berubah mulia.

Saya kira, ini realitas yang patut direfleksi agar kita sadar bahwa ingatan kita – bisa jadi – hanyalah  objek mainan bagi orang lainnya. Sesuatu yang kita benci hari ini, sangat mungkin, hanyalah sesuatu yang orang lain kehendaki agar kita membencinya.  Sesuatu yang amat kita cintai hari ini, bisa jadi juga, adalah sesuatu yang orang lain kehendaki agar kita mencintainya.

Jadi, masih mau berlebihan membenci dan memuja-muji?

Rahmat Petuguran
Sedang merekayasa ingatan istri

Gambar: detik.com

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending