Connect with us

Banyak teman yang kebingungan, mengapa ia tetap jomblo menjelang kepala tiga, padahal mereka ganteng. Salah satu kawan yang bingung adalah Lintang Hakim Nugraha.

Secara visual, pria yang berprofesi sebagai fotografer itu, mungkin rata-rata atas. Dia punya wajah Jawa yang dihiasi sedikit wajah Yunani. Ditambah, ia termasuk pintar berbusana. Ia bisa memadukan warna hem dengan celananya. Bahkan ia juga pintar memadukan aksesoris tribal yang etnik dengan perlengkapan fotografinya yang modern.

Tapi fakta bahwa dia masih jomblo, adalah fakta yang tidak diingkari. Agaknya ia mulai lelah dengan itu. Karena itulah, kemarin dia membagikan link berita berisi ulasan tentang mengapa pria ganteng justru banyak yang masih menjomblo.

Dalam tulisan yang kamu bagikan, Lintang, ada 7 alasan yang diungkapkan: (1) punya standar tinggi dan pemilih; (2) Tak ingin terikat dalam hubungan karena fokus dengan dunianya; (3) Punya tekad kuat mewujudkan mimpi pribadinya; (4) Mungkin belum bisa move on dari masa lalu; (5) Banyak cewek yang minder duluan saat didekati; (6) Menunggu untuk menemukan cewek yang tepat untuk dijadikan pasangan; dan (7) Cowok keren bakal membuka hati setelah dia cukup mapan, dia pingin orang yang dicintai hidup dalam kesejahteraan.

Seperti tulisan di IDNTimes lainnya, juga Hipwee, alasan yang dikemukakan di artikel itu lebih menyerupai sebuah pembelaan. Dan saya tahu persis, itu ditulis untuk seru-seruan. Karena ditulis untuk pembelaan, risikonya, tulisan itu cenderung bias dan tidak berguna.

Karena itu, Lintang, sebagai teman yang baik, saya akan memberi perspektif lain mengapa cowok-cowok keren sepertimu menjomblo. Ada 6 alasan yang ingin saya kemukakan.

1. Ganteng is first sight, nilainya mengalami inflasi

Cowok ganteng sepertimu, Lintang, mungkin menganggap bahwa modal visual adalah segalanya. Memang, orang seperti Manurung (2004) telah memprediksi bahwa kita telah memasuki age of looking. Dalam age of looking, segala yang visual dianggap lebih nyata daripada yang tidak tampak.

Tetapi, Lintang, teori itu cocok digunakan dalam transaksi perdagangan barang di mana prinsip-prinsip ekonomi menjadi variabel dominan. Orang tertarik dengan barang karen kemasannya yang bagus. Tetapi dalam perjodohan, yang pertimbangan-pertimbangan sosiologis dan psikologis justru menjadi variabel dominan, teori itu tidak berlaku, atau setidaknya lemah. Dalam asmara, orang mencari sesuatu yang lebih bermakna dari sekadar tampang.

Bahwa tampang klimis dan macho bisa membikin cewek di sekitarmu terpesona, seperti yang kamu alami, saya sepakat itu. Tetapi sebagai komoditas, kegantengan hanya akan berguna pada awal pertemuan. Ganteng itu mata uang yang berharga pada first sight, first impression. Pada pertemuan berikutnya, nilai kegantengan mengalami inflasi.

2. Ke bengkel melulu, kapan baca buku

Jika nilai kegantengan sudah mengalami inflasi, cowok sepertimu mestinya tidak terus-menerus menjadikannya sebagai alat tukar dalam transaksi sosial seperti asmara. Harus ada komoditas lain yang mestinya kami miliki, seperti pengetahuan, keseruan, atau – yang sama sekali mungkin kamu tidak miliki: kesalehan. 🙂

Sosiolog telah membuat hipotesis bahwa terjadi pergeseran konsep orang kuat. Pada era awal, mungkin era prasejarah, orang kuat adalah mereka yang memiliki otot besar, memiliki kepalan tangan yang bisa memecahkan kepala lawan. Pada era berikutnya, orang kuat berganti, yaitu orang-orang yang menguasai alat-alat produksi. Ini terutama terjadi pada masa feodalisme dan mencapai puncaknya pada revolusi industri. Tetapi kini, konsep orang kuat kembali berubah, yaitu orang-orang yang memiliki akses informasi dan pengetahuan.

Mengapa akses informasi demikian penting? Sosiolog lainnya, Michele Foucault, telah menggambarkan bahwa knowledge is power. Pengetahuan bahkan mungkin ultimate power karena selalu melandasi pengambilan keputusan seseorang di berbagai bidang.

Tentu saja lelaki ganteng yang mengendarai mobil akan lebih keren daripda lelaki yang bermotor. Setidaknya, dengan mobil, seseorang bisa menghindari dari basah kuyup ketika kehujanan. Tetapi mobil atau semacamnya adalah komoditas yang mencapai nilai puncaknya pada era feodal. Tanpa pengetahuan dan wawasan memadai, tidak setiap cowok bermobil memiliki nilai tinggi dalam transaksi sosial romantis.

3. Tersandera maskulinitas

Salah satu kutukan paling berat bagi manusia adalah terpisah dengan ibunya. Pendapat ini mungkin bertahun-tahun lalu sudah digemakan oleh Freud. Untuk mengobati penderitaan itu, yang dilakukan manusia adalah mencari pasangan. Karena itulah orang menjalin hubungan dengan orang lain, bersahabat, membentuk komunitas, dan tentu saja: menjalin hubungan romantis.

Jika kita jadikan pendapat Freud itu sebagai pijakan, maka kita akan tahu bahwa yang orang cari secara instingtif adalah pengganti ibu. Tentu saja ibu bukan dalam arti leksikal, melainkan ibu dalam arti metaforis: kehangatan, perlindungan, kasih sayang, perhatian, dan lainnya.

Sementara para cowok, terutama yang lahir dalam tradisi Jawa dan “islam” (ingat lho, ada dengan i kecil) kerap dididik untuk perkasa, penakluk, dan berkuasa. Sejak keluar dari rahim, anak laki-laki didik menjadi kuat, tegas, powerfull. Didikan itu berpotensi menghilangkan sifat “ibu” di atas. Padahal, sifat “ibu” itulah yang dicari oleh para perempuan untuk mengobati kerunduan instingtifnya karena berpisah dengan ibu.

4. Peragu dan bimbang

Sejumlah ahli psikologi sosial mengamati pola bahwa perjodohan bisa terjadi jika seseorang telah menemukan orang yang memenuhi selera estetiknya. Adapun selera estetik orang selalu unik dan personal.

Tetapi pertemuan dengan orang yang memenuhi selera estetik saja tidaklah cukup. Perjodohan adalah keputusan politik yang harus diambil dengan politik. Untuk mengambil keputusan politik, selalu ada risiko. Dan risiko hanya bisa dihadapi oleh orang-orang memiliki keberanian.

Cowok-cowok ganteng sepertimu mungkin telah bertemu dengan lusinan perempuan cantik yang memenuhi selera estetikmu. Tetapi sejauh kamu tidak mengambil keputusan politik untuk melamar dan menikahinya, kamu hanya menunggu dia pergi bersama lelaki lain.

Mari kita belajar dari analogi yang pernah dibuat Presiden Soekarno ketika berpidato dalam sidang BPUPKI. Analogi itu ia gunakan untuk mengkritik orang yang hanya ingin merdeka setelah semuanya siap. Sementara Soekarno mengingingkan kemerdekaan Indonesia diwujudkan segera.

“Ada Si A yang punya tikar berani kawin, maka kawinlah dia. Sekarang punya istri dan anak. Ada si B yang baru punya satu kursi dan satu meja berani kawin, maka kawinlah dia. Dia punya istri dan anak sekarang. Tetapi ada orang yang sudah memiliki rumah tidak memiliki keberanian untuk kawin karena dia merasa hanya siap kawin jika sudah punya mobil. Dia tetap saja membujang, sampai malaikat  mendekatinya untuk mencabut nyawa.”

5. Me, me, and me than you

Hubungan asmara mungkin sama dengan mendirikan negara. Hubungan itu harus ditegakkan dengan prinsip kemanusiaan yang berkeadilan. Setiap warga negara memiliki hak yang sama.

Dalam perjodohan, dua orang yang memutuskan berpasangan harus membagi kekuasaan dengan saham yang setara. Tidak baik kalau salah satu dominan dan lainnya terdominasi.

Nah, masalah psikologis para pria ganteng sepertimu adalah kerap berpikir tentang diri sendiri. Tipe orang seperti ini berpikir: me, me, and me, than you. Itulah yang membuat banyak cowok ganteng tidak segera berjodoh.

Dalam hubungan asmara yang baik, hubungan itu digambarkan dengan tulisan “iloveu”. Kata itu ditulis tanpa spasi untuk menandakan “Tidak ada jarak antara aku dan kamu, selain cinta”. Begitulah seharusnya.

6.  Berusaha memperjelas orientasi seksual

Saya sedih harus mengungkapkan argumen terakhir ini. Tetapi demi kebaikanmu, terpaksa (terpaksa, Lintang!) harus tetap aku sampaikan.

Alfred Kinsey, pendiri Kinsey Institute for Research in Sex, Gender and Reproduction di Indiana, Amerika merilis fakta penelitian mengejutkan bahwa jumlah orang dengan homoseksual jauh lebih banyak dari yang diduga orang selama ini. Salah satu temuannya yang mengejutkan dan memantik kontroversi adalah bahwa tidak sedikit orang yang memiliki kecenderungan seksual sesama jenis.

“Lima puluh persen dari laki-laki dan 28 persen perempuan dalam studinya telah memiliki pengalaman seksual sesama jenis,” demikian temuan Kinsey sebegaimana disebut V Clarke dalam laporan berjudul Lesbian, Gay, Bisexual, Trans And Queer Psychology: An Introduction. Simpulan ini konon dilakukan Kinsey atas survei terhadap 10 ribu responden. Tidak disebutkan, apakah sampel tersebut berasal dari masyarakat liberal atau konservatif.

Orang-orang keren ganteng sepertimu mungkin saja sedang mengalami masa bimbang untuk memilih tertarik kepada laki-laki atau perempuan. Kalau memang itu yang sedang terjadi, aku cuma bisa berdoa yang terbaik bagimu. 🙂

Rahmat Petuguran
Sahabatmu

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending