Kehilangan orang tua saat masih kanak-kanak, tentu pengalaman yang berat. Kehilangan anak perempuan karena diculik pengidap kelainan seksual, juga pengalaman yang berat. Apalagi, hidup sebagai penganut Katolik di wilayah yang dipenuhi ekstremis Protestan. Sungguh, itu semua pengalaman yang buruk.
Tapi, sesuatu yang tampak buruk tidak selalu tidak berguna. Ketidaknyamanan dalam hidup kadang sangat bermanfaat. Karena pernah hidup kere, orang bisa punya energy melimpah untuk kerja keras. Karena terbiasa diremehkan, orang justru jadi berani berspekulasi. Dan, karena pernah kehilangan anak, orang justru bisa menjadi sangat lapang dada.
Narasi besar itulah yang saya tangkap usai mengkhatamkan buku David anda Goliath yang ditulis wartawan Tha New Yorker, Malcolm Gladwell. Si penulis, pria kurus berambut keriting, sedang menawarkan perspektif lain kepada pembaca soal “kelebihan” dan “kekurangan” dalam hidup. Sesuatu yang tampak baik dan bernilai, dalam beberapa kasus yang dicontohkannya, ternyata awal kegagalan. Adapun sesuatu yang pahit, ternyata bisa menjadi pembuka bagi kehidupan yang lebih bermakna.
Gladwell mengisahkan kembali sebuah pertarungan legendaris antara bocah ingusan bernama David dengan tentara kawakan dari bangsa Felistin bernama Goliath. Versi Islam, dua tooh itu disebut dengan nama Daud dan Jalut.
Daud anak muda yang berprofesi sebagai pengembala domba, profesi kelas rendah. Dia tidak memiliki pengalaman berperang. Senjata yang dimilikinya hanya tongkat kayu dan ketapel.
Adapun lawannya, Jalut, adalah tentara senior. Tinggi badannya sekitar 2 meter. Saat turun ke medan laga ia mengenakan zirah dan topi baja. Senjata yang dibawanya ada tiga macam, yaitu pedang, tombak, dan perisai.
Dengan kondisi seperti itu, semua orang meramalkan Daud akan keok di awal pertarungan. Kesempatan menangnya adalah nol persen. Tapi, nyatanya, Daud lah yang berhasil menggorok leher Jalut. Kok bisa begitu?
Jalut bertubuh besar seperti raksasa. Jelas, dia bukan petarung yang lincah. Dia memakai zirah, membawa perisai, tombak, dan pedang. Jelas, itu membuatnya makin tak bisa begerak lincah. Apalagi, saat Daud mendekat, Jalut berteriak “Apakah aku anjing sehingga kau mendatangiku dengan TONGKAT-TONGKAT?” Tongkat-tongkat? Dia menyebut “tongkat-tongkat”, padahal Daud hanya membawa SATU. Itu berarti Jalut punya gangguan penglihatan.
Dengan kondisi seperti itu, Daud menghindari pertarungan jarak dekat. Dia mengubah skenarioa dengan pertarungan jarak jauh. Dia menggunakan batu dan ketapel untuk menyerang. Dengan kecepatan 240 km/jam, batu itu cukup membuat Jalut kelenger. Saat itulah Duad mengambil pedang dan menghabisi musuhnya yang raksasa.
Kelebihan dan Kekurangan
Oleh Gladwell, pertarungan legendaris itu ditarik untuk mendefinisikan kelebihan dan kekurangan manuisa modern. Dengan uraian yang rinci, hasil wawancara mendalam, dan data yang cukup banyak, ia berhasil “membimbing” pembaca untuk ikut alur berpikirnya.
Pada bagian awal dia mengisahkan Caroline Sacks, mahasiswi Brown University. Universitas tempat Sacks kuliah adalah salah satu perguruan tinggi dengan reputasi terbaik di Amerika dan dunia. Dia meninggalkan kesempatan kuliah di Maryland University, kampus kelas menengah, karena kepincut dengan Brown yang elit dan bereputasi itu .
Pertimbangan Sacks sederhana dan akrab; kuliah di universitas terbaik maka akan memperoleh prestasi terbaik.Pada akhirnya, kita akan memperoleh karier terbaik pula. Pertimbangan semacam ini pasti taka sing buat Anda kan?
Nyatanya, Sacks gagal mewujudkan cita-citanya sebagai ahli tanaman. Sebabnya adalah dia merasa minder karena mendapat nilai jelek di mata kuliah Kimia Organik. Pada saat yang sama, lusinan teman sekelasnya berhasil memperoleh nilai A. Di tengah-tengah komunitas siswa yang amat pintar di Brown University, mendapat nilai B adalah bencana.
Bagaimana – jika – Sack smasuk ke Maryland saja? Reputasi kampus itu memang tak sebaik Brown. Tapi, justru karna itu, Sacks akan punya teman yang kecerdasannya setingkat atau bahkan di bawahnya. Dengan begitu, ia bisa tampil cemerlang. Bahkan, kalau dia mendapat nilai B di kuliah Kimia Organik dia tidak akan merasa begitu frustasi. Toh yang lain juga mendapat B – atau bahkan ada yang dapat C.
Sacks, demikian narasi Gladwell, berpikir konvensional. Ia melihat universitas amat baik akan membuat prestasi akademiknya juga amat baik. Ia tidak mempertimbangkan suasana kompetisi yang ketat. Di universitas amat baik, mahasiswa yang pintar bisa merasa seperti mahasiswa bodoh. Dan peluang mahasiswa yang merasa bodoh untuk drop out ternyata 30 persen.
Hingga sejauh itu Gladwell berhasil menggiring pembacanya merenungkan sesuatu yang tampaknya sebuah “kelebihan” tapi justru sebuah “kekurangan”. Dia melanjutkan membimbing pembaca untuk merenungkan bahwa sesuatu yang ampaknya adalah “kekurangan” ternyata adalah sebuah “kelebihan”.
Diseleksia, misalnya. Siapa yang mau diseleksia? Anda mau? Atau, Anda mau anak Anda diseleksia? Tidak. Saya juga tidak.
Meski itu kondisi kurang menguntungkan, pada beberapa orang yang berhasil menjadikan diseleksia untuk memenangi pertarungan. David Boies adalah salah satunya.
Dia punya kesulitan membaca. Jangankan bisa merampungkan beberapa buku, beberapa halaman pun dia tidak bisa. Kondisi ini “memaksanya” menajamkan alat indera lain sebagai kompensasi. Sejak kecil dia terbiasa mendengar dongeng yang dibacakan ibunya. Yang mengagumkan, dia mengingat tokoh dan kronologi dongeng itu dengan baik.
Dengan mengandalkan pendengaran itulah Boies berhasil lulus sekolah menengah, meski dengan sangat berat. Ia kemudian melanjutkan kuliah hukum di Northwester Law School sebelum akhirnya pindah kampus ke Yale University – juga di bidang ilmu hukum.
Ketika berpraktik sebagai pengaca, Boies kerap memenangi kasus besar. itu membuatnya terkenal dan menjadi salah satu pengacara paling top di negaranya. Salah satu kasus besar yang ditanganinya adalah kasus Hollingsworth v Schwarzenegger. Itu kasus yang terjadi di negara bagian California. Undang-undang di negara itu membatasi pernikahan hanya untuklaki-laki dan perempuan.
Boies menilai itu tak konstitusional. Makanya, dia menggugat. Dan dia menang. Apa rahasianya? Ketajaman auditoris Boieslah yang membuatnya sukses. Sejak kecil dia terbiasa mendengar dan mengingat hal dengan baik – sebagai kompensasi karena tidak bisa memabca. Keterampilan auditoris adalah sesuatu yang amat berharga dalam persidangan Amerika.
Dengan pendengaran dan daya ingat yang baik Boies bisa mengkroscek apakah pernyataan seorang saksi berlawanan dengan kesaksian saksi selanjutnya. Jika berlawanan, Boies bisa segera menjadikannya “senjata”.
Keahlian itu pula yang dia gunakan saat memaksa seorang saksi ahli yang menjadi lawannya, David Blankornhorn. Dia berhasil membuat David “terpaksa” mengaku bahwa fakta-fakta yang disajikan Boeis memiliki banyak kebenaran.
Kaya Data
Buku Gladwell yang ini – sebelumnya dia menulis 3 buku lain – adalah bacaan berguna bagi pelajar, mahasiswa, orang tua, juga para jomblo. Yang membuat buku ini amat berbobot adalah cara Gladwell mengolah data. Dia mengutip lebih dari seratus hasil penelitian dan hasil wawancara sebagai bahan baku analisisnya. Ini yang membuat narasinya menjadi kuat dan jauh dari omong kosong.
Lagi pula, Gladwell juga bukan tipe orang yang membedakan sesuatu secara hitam putih. Di balik simpulan-simpulannya yang jernih, dia membiarkan pembaca untuk membuat simpulan yang berbeda jika memang memiliki pengalaman berbeda.
Satu lagi keunggulan buku ini; renyah. Ini sebuah keunggulan yang wajar, sebab si penulis adalah wartawan yang berkarier sejak 1996. Saya membayangkan tulisan Gladwell seperti lapangan golf. Di lapangan golf ada bukit, ada kolam, ada pula hole. Tapi, variasi permukaan lapangan golf itu smooth. Naik dan turun tapi tidak berundak-undak. Bacalah buku seharga Rp70 ribu ini. Kalau sedang tidak punya uang, kontak saya di 085647662257. Buku itu boleh dipinjam barang beberapa hari.
Rahmat Petuguran
pengajar Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang
-
Muda & Gembira10 years ago
Kalau Kamu Masih Mendewakan IPK Tinggi, Renungkanlah 15 Pertanyaan Ini
-
Lowongan10 years ago
Lowongan Dosen Akademi Teknik Elektro Medik (ATEM), Deadline 24 Juni
-
Muda & Gembira10 years ago
Inilah 10 Sifat Orang Ngapak yang Patut Dibanggakan
-
Muda & Gembira10 years ago
Sembilan Kebahagiaan yang Bisa Kamu Rasakan Jika Berteman dengan Orang Jepara
-
Muda & Gembira10 years ago
SMS Lucu Mahasiswa ke Dosen: Kapan Bapak Bisa Temui Saya?
-
Muda & Gembira11 years ago
Inilah 25 Rahasia Dosen yang Wajib Diketahui Mahasiswa
-
Kampus11 years ago
Akpelni – Akademi Pelayaran Niaga Indonesia
-
Kampus13 years ago
Unwahas – Universitas Wahid Hasyim