Connect with us

Pendidikan

Sobokartti, Saksi Hidup Intelektual Muda Zaman Belanda

Published

on

GEDUNG SOBOKARTTI dikenal sebagai tempat pelatihan beragam kesenian tradisional. Namun siapa sangka bangunan yang dibuat tahun 1931 oleh arsitektur Belanda, Herman Thomas Karsten ini merupakan saksi bisu pergumulan para intelektual muda Kota ATLAS dalam masa perjuangan.

Diskusi tentang nasionalisme dan kebudayaan tercetus di tempat ini. Ketua Perkumpulan Sobokartti, Tjahyono Rahardjo mengungkapkan,pada awalnya pembangunan gedung itu sebagai produk politik etis pemerintah Belanda terhadap warga jajahannya untuk pendidikan kesenian. Melalui Gedung Sobokartti, kesenian yang tadinya hanya bisa dinikmati oleh kalangan keraton, kemudian didekatkan dengan rakyat.

“Saya melihat pembuatan gedung ini adalah upaya Karsten untuk menjungkirbalikkan konsep pertunjukan kesenian,”katanya. Sebelum Indonesia merdeka, selain sebagai pusat pelatihan dan pertunjukan kesenian tari,karawitan,dan pedalangan, gedung ini juga sebagai arena diskusi para kaum intelektual muda Semarang dari berbagai etnis.Baik itu Jawa,China,maupun Belanda. Mereka sama-sama membicarakan tentang nasionalisme dan kebudayaan.

Hasil diskusi para intelektual muda Semarang itu ditulis dalam majalah Dee Teak.Diskusi itu banyak diisi oleh orang-orang muda Semarang yang saat itu punya kesempatan untuk mengakses pendidikan tinggi.“Arsipnya ada di Belanda,kami belum memiliki,” ujar lulusan Master Urban Management Erasmus University Rotterdam Belanda ini.

Melalui anak muda, kesenian tradisional atau kesenian keraton dan kebudayaan Jawa diakrabkan di tengah-tengah masyarakat, baik melalui pertunjukanpertunjukan maupun pemahaman pemikiran.Saat itu meskipun Indonesia belum merdeka,kesenian tari tradisional sangat maju, bahkan pernah ditampilkan di luar negeri.

Dari tahun ke tahun,fungsi Gedung Sobokartti terus tereduksi. Saat ini hanya ada pelatihan dan kesenian tari,karawitan, pedalangan,dan pranatacara. Diskusi kebudayaannya belum maksimal. “Hanya sedikit anak-anak yang mau belajar kesenian tradisional lagi karena memang saat ini pilihannya banyak.Memang juga karena orang tua tidak mengenalkan kepada anak-anaknya,”kata pengajar di Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang ini.

Karena itu,pada HUT ke-81 Gedung Sobokartti,Minggu (14/10),aneka macam kegiatan kesenian diselenggarakan. Dalam perhelatan itu kelompok Sobokartti sengaja merangkul semua kalangan, mulai dari anak-anak sampai orang tua.Kegiatan itu untuk membongkar pemahaman publik yang menilai Sobokartti hanya sebagai tempat kesenian tradisional dan seniman tua.

Yang memprihatinkan saat ini ketika hujan lantai gedung yang sudah pernah dipugar oleh Badan Cagar Budaya Jawa Tengah ini tergenang banjir.Untuk menanganinya maka harus dipompa. Tjahyono Rahardjo berharap Gedung Sobokartti bebas banjir sehingga aktivitas kebudayaan bisa berjalan dengan lancar dan kembali menjadi tempat perkumpulan orangorang berkebudayaan.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending