Connect with us

Pada era ketika setiap orang leluasa mendaku dirinya intelektual, definisi intelektual menjadi kabur. Beruntung kita memiliki Antonio Gramci, Julian Benda, Edward Said yang jauh sebelum kita sudah berusaha mendefinisikan intelektual, intelektualitas, juga tanggung jawabnya.

Buku Edward Said berjudul Representation of the Intelectuall telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengn judul Peran Intelektual. Terjemahan telah terbit pada 2014 oleh Yayasan Obor Indonesia sehingga bisa dinikmati oleh pembaca luas di Indonesia.

Pertama-tama, Edward Said sendiri tampak tidak memiliki hasrat untuk mendefinisikan intelektual secara ketat dalam buku yang disarikan dari Reith Lecture-nya di BBC London. Sikap itu tampaknya relevan dengan pandangan personalnya yang cenderung menolak universalisme.

Agak sulit mengategorikan apa yang intelektual dan yang tidak intelektual. Benda misalnya, membedakan masyarakat ke dalam dua kelompok. Pertama, masyarakat yang bekerja untuk menemukan kebenaran. kedua, masyarakat yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan materialnya. Yang pertama disebut intelektual, yang kedua bukan.

Tetapi sebagaimana pikiran dikotomik lain, dikotomi ini bermasalah karena mengasumsikan dua kategori orang ini memiliki batas yang tegas. Namun pada praktiknya, seseorang bisa melakukan dua hal itu sekaligus tanpa harus memedulikan dikotomi di atas.

Daripada membedakan siapa intelektual dan siapa yang bukan, akan lebih menarik kalau diskusi diarahkan untuk memahami sikap dan tindakan intelektual. Dengan begitu, kita tidak perlu membuat pengelompokkan masyarakat, melainkan melakukan analisis etis apakah sebuah tindakan dilakukan dengan pertimbangan intelektual atau tidak.

Said misalnya, dalam beberapa bagian buku, menunjukkan sejumlah petunjuk tindakan yang menurutnya adalah bagian dari tindakan intelektual.

Pertama, intelektual menembus kategori-kategori stereotip dan reduktif yang membatasi pikiran dan komunikasi manusia. Ini pekerjaan serius karena banyak sekali sterotipe- yang kurang tepat dan telanjur diterima sebagai kebenaran.

Kedua, intelektual mempertanyakan nasionalisme patriotik, pikiran korporasi, dan sebuah rasa kelas, privelese berdasarkan ras atau jenis kelamin.

Ketiga, intelektual memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk menyampaikan kebenaran kepada kekuasaan. Kemampuan dan kesanggupan seperti ini biasanya mengandung risiko yang hebat. Intelektual memiliki keberanian menanggung risiko-risiko ini, misalnya, ketika harus menjalani pengasingan dan pembuangan.

Agar bersikap adil terhadap lawan, kawan, dan bahkan dirinya, intelektual mestinya memiliki kemampuan untuk mengesampikan bangsa dan tradisi. Sikap inilah yang misalnya ditunjukkan oleh Noam Chomsky ketika dengan tegas mengutuki perang Vietnam yang dilakukan Amerika pada tahun 1960-an.

Dua sikap itu tidak hanya ditujukan seorang intelektual terhadap pihak “musuh”, melainkan juga kepada diri sendiri. Dengan begitu, seorang intelektual akan bersuara ketika komunitasnya ditindas oleh komunitas lain, tetapi juga bersuara ketika komunitasnya juga melakukan kekejian yang sama terhadap komunitas lain yang lebih lemah.

Rahmat Petuguran
Pemimpin Redaksi PORTALSEMARANG.COM

Continue Reading
1 Comment

1 Comment

  1. Pranoto Utomo

    July 21, 2016 at 1:09 am

    Padat dan bermutu. Tulisan ini membuat selera baca saya menjadi kuat. Kereeeeennnn.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending