“Memiliki kedigdayaan dalam menentukan sikap, lepas dari pengaruh pihak luar, serta mandiri dalam pemenuhan kebutuhan dasar, itulah kemartabatan yang sesungguhnya”.
Konsep kemartabatan pada dasarnya merupakan pandangan subyektivitas individu. Dengan mempertimbangkan kondisi sosio-kultur masyarakat setempat. Sebagai contoh, seorang guru besar saat menggunakan bus umum antar kota, merasa was-was selama perjalanan, karena khawatir tas bawaannya dicopet. Hal ini karena, sang guru besar tidak dikenal atau diketahui bahwasannya ia adalah guru besar. Berbeda halnya ketika berada di kampus, tentu ia dihormati dan menempati posisi paling elites.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa ketika seorang guru besar berada dalam lingkungan kampus, ia memiliki kedigdayaan (pengaruh, kekuasaan dan peranan) bagi lingkungannya. Itulah yang menjadi dirinya bermartabat, begitu pula sebaliknya ketika berada di bus umum.
Analogi tersebut berlaku untuk menegaskan bahwa kemartabatan suatu bangsa juga dipengaruhi oleh kedigdayaan dalam memperkuat jati diri, menentukan kebijakan, pemenuhan kebutuhan dalam negeri secara mandiri, dan sikap politik luar negeri tanpa terpengaruh pihak eksternal (baca: asing).
Dalam tataran makro dalam mewujudkan bangsa yang bermartabat, haruslah diwujudkan secara komunal. Bila merujuk pada cita-cita kemerdekaan yaitu bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan kesejahteraan umum, dan menjaga perdamaian dunia. Kemartabatan bangsa berkorelasi positif terhadap janji kemerdekaan tersebut.
Artinya dalam mewujudkan kemartabatan bangsa harus didorong secara komunal, komprehensif dan berkesinambungan. Bukan secara individual apalagi tersusun secara parsial. Jika yang digunakan pendekatan individual yang terjadi adalah kemartabatan tersebut hanya dicapai oleh segelintir pihak atau golongan tertentu serta mengabaikan kemartabatan bangsa secara kolektif.
Namun, persoalan posisi Indonesia untuk menjadi bangsa yang bermartabat sekaligus menyejahterakan warganya menghadapi tantangan yang kompleks yang harus disikapi secara komunal, lagi-lagi bukan secara individual. Pertama, tantangan internal bangsa. Mulai dari disorientasi pembangunan moral yang melahirkan generasi dengan mental apologetic, kegagalan pembangunan karakter yang melahirkan generasi korup, keragaman atau perbedaan disikapi dengan eksklusif, hingga keberagamaan yang mengalami politisasi.
Kedua, tantangan politik global. Mulai dari politik ekonomi liberal (pasar bebas), hegemoni negara barat (“rekayasa” konflik global, klaim konspirasi, “double standar demokratisasi), hingga industrialisasi “kemiskinan” (sponsor, foundation, investasi, dan hiburan).
Ketiga, tantangan pembangunan. Mulai dari perubahan sosial (transisi tradisonal ke modern, masyarakat tertutup ke terbuka, adanya sekat-sekat budaya ke uniformitas), privatiasasi berupa liberalisme pembangunan dan kepemilikan, hingga ideologi pembangunan (liberalisme, sosialisme, komunisme, militerisme, dan agama).
Maka dalam menyikapi tantangan tersebut, inilah yang perlu menjadi perhatian bersama bagaimana mencapai kesejahteraan dan kemartabatan bangsa. Membangun masyarakat yang sejahtera dan bangsa yang bermartabat artinya membangun manusia nyata, bukan dari pikiran sekelompok yang berkepentingan, ideologi kelompok tertentu tetapi berdasar pada harapan, aspirasi, dan keinginan manusia konkret itu sendiri.
Pembangunan bangsa yang bermartabat adalah pembangunan yang mengusahakan prasyarat kesejahteraan. Kesejahteraan tidak dogmatis, tidak ditentukan dari atas, tapi dirasakan oleh yang bersangkutan. Setidaknya cakupan dasar kesejahteraan itu meliputi rasa aman, kebebasan dan jati diri.
Inilah peran negara yang mendasar yang perlu dipahami bersama dalam upaya mencapai kemartabatan bangsa; (1) mencegah double standar terhadap pemahaman Hak Asasi Manusia; (2) demokratisasi yang konstekstual, arahnya ditentukan oleh masyarakat yang berlandasakan pada prinsip demokratis bukan hanya membeo; (3) berkeadilan sosial yang mengarah pada terciptanya sarana dan prasarana bagi kesejahteraan sosial bagi kaum lemah, bukan hanya pada keadilan individual, serta penghapusan ketidakadilan struktural (baca: kemiskinan).
Selayaknya perlu kita pahami bahwa dalam upaya mencapai cita-cita tersebut, tentu negara tidak mampu mewujudkannya tanpa kehadiran dan keterlibatan seluruh masyarakat. Dibutuhkan semangat komunal dalam bingkai persatuan untuk memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara. Serta turut mendorong terciptanya kesejahteraan masyarakat dan kemartabatan negeri.
Rahmat kemerdekaan layak untuk dirayakan,
Dirgahayu republik Indonesia ke 72,
Sejahtera masyarakatnya bermartabat negerinya.
Achmad Farchan, Awardee BPI LPDP Kemenkeu RI, Mahasiswa Magister Teknologi Pembelajaran UNY
gambar: vemale.com
-
Muda & Gembira10 years ago
Kalau Kamu Masih Mendewakan IPK Tinggi, Renungkanlah 15 Pertanyaan Ini
-
Lowongan10 years ago
Lowongan Dosen Akademi Teknik Elektro Medik (ATEM), Deadline 24 Juni
-
Muda & Gembira10 years ago
Inilah 10 Sifat Orang Ngapak yang Patut Dibanggakan
-
Muda & Gembira10 years ago
Sembilan Kebahagiaan yang Bisa Kamu Rasakan Jika Berteman dengan Orang Jepara
-
Muda & Gembira10 years ago
SMS Lucu Mahasiswa ke Dosen: Kapan Bapak Bisa Temui Saya?
-
Muda & Gembira11 years ago
Inilah 25 Rahasia Dosen yang Wajib Diketahui Mahasiswa
-
Kampus11 years ago
Akpelni – Akademi Pelayaran Niaga Indonesia
-
Kampus13 years ago
Unwahas – Universitas Wahid Hasyim
Erman Istanto
August 17, 2017 at 1:36 pm
Mantap, good artikel mas Farhan…