Connect with us

Keberadaan tambang di sebuah wilayah atau negara selalu ditopang oleh rezim pengetahuan. Rezim pengetahuan tersebut memberikan afirmasi bahwa tambang akan menyejahterakan masyarakat, meskipun praktiknya justru sebaliknya.

Rezim pengetahuan demikian diproduksi dan direproduksi aktor sosial seperti akademisi, pemerintah, bahkan tokoh agama yang berperspektif developmantalisme. Aktor-aktor itu berkolaborasi dengan lembaga keuangan multiasional seperti Bank Dunia dan IMF.

Demikian salah satu pokok gagasan Hendra Try Ardianto dalam diskusi buku Mitos Tambang untuk Kesejahteraan yang diselenggarakan di Kedai Kopi ABG, Semarang, Senin (9/1). Buku itu ditulis Hendra dari tesis di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Menurut Hendra, salah satu intervensi rezim pengetahuan dalam memuluskan tambang adalah perannya dalam mendefinisikan kesejahteraan.

Bagi akademisi developmentalis dan pemerintah, kesejahteraan didiefinisikan secara material, seperti besaran penghasilan, kecukupan gizi, kondisi rumah, dan lainnya. Dengan definisi itu, negara dan korporasi tambang mengklaim bahwa keberadaan tambang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Padahal, masyarakat memiliki indikator kesejahteraan sendiri yang tidak hanya berdimensi material, namun lebih ke dimensi sosial, psikologis, bahkan spiritual.

Bagi warga pedesaan, misalnya, sejahtera tidak semata-mata didasarkan pada penghasilan, tetapi ketenangan batin berkat terjalinnya relasi sosial yang sehat, terbentuknya ikatan batin antarwarga, terbukanya mekanisme saling pinjam, gotong royong, dan keluluasaan mengelola sumber produksi milik sendiri.

Hendra menconthkan pada kepemilikan sapi atau kambing. Bagi warga desa, sapi atau kambing bukan benda mterial yang hanya bisa diukur dengan nominal. Ternak itu memberi dampak turunan yang kompleks, seperti ketersediaan pupuk bagi tanaman, dapat diandalkan dalam acara hajatan saat menikahkan atau mengkhitankan anak.

Kekuatan rezim pengathuan, kata Hendra, membentuk social imaginary yang membentuk konsep-konsep ideal masyarakat tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Social imaginary itulah yang dijadikan sistem logis pemerintah dan korporasi untuk membangun dan mngoperasikan tambang.

Oleh karena itu, untuk melawan tambang yang tidak berkeadilan, Hendra menyarankan agar razim pengetahuan inilah yang dilawan terlebih dulu. “Kalau rezim pengetahuannya tetap, siapa pun presidennya, siapa pun gubernurnya, ya akan tetap akan sama,” kata pria kelahiran Tuban, Jawa Timur ini.

Pada awal diskusi, Hendra memberi disclaimer bahwa pendekatan riset yang dilakukannya subjektif karena memiliki agenda setting yang jelas untuk meruntuhkan asumsi umum bahwa tambang membawa kesejahteraan. Karena itulah, metode penelitiannya berbeda dari kebanyakan metode rsiet yang mengandalkan objektivitas.

Selain sebagai peneliti, ia sendiri terlibat aktif dalam gerakan antisemen di Pegunungan Kendeng. Bersama warga Kendeng ia mendesak Gubernur Ganjar Pranowo membatalkan pabrik semen di Rembang karena sudah diputuskan oleh Mahkamah Agung.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending