Connect with us

Apakah kekayaan, pengetahuan, dan jaringan adalah variabel penting yang membentuk perilaku kelas menengah Indonesia? Kalau pertanyaan itu diajukan kepada Yuswohady dan Kemal E. Gani, besar kemungkinan mereka akan menjawab “Ya, tentu!”

Berdasarkan penelitian yang mereka lakukan, kepemilikan sumber daya (resource), pengetahuan (knowledgeable), dan ketrhubungan sosial (social connected) adalah tiga hal utama yang membentuk wajah kelas menengah Indonesia. Simpulan itu mereka peroleh berdasarkan penelitian terhadap ribuan orang di 9 kota besar di Tanah Air.

Dari tiga peubah itulah keduanya menggolongkan kelas menengah Indonesia menjadi delapan kelompok, yaitu expert, climber, performer, aspirator, trendsetter, follower, settler, dan flow-er.

Segmen Kelas Menengah

Selama ini kelas menengah kerap dibaca sebagai satuan demografis yang memiliki karakter homogen. Tapi menurut buku ini, kelas menengah dapat memiliki berbagai segmen yang perilaku dan kondisinya berbeda-beda.

The Expert adalah kelompok dengan kepemilikan kekayaan tinggi, pengetahuan luas, tapi minim hubungan sosial. Mereka adalah kelompok profesional yang biasanya terlalu sibuk dengan profesinya sehingga sosialisasinya cenderung kurang. Misalnya, dokter, pengacara, enginer, dll. Meskipun cukup kaya dan wawasannya luas di bidang mereka, lingkungan pergaulan mereka biasanya terbatas di tempat kerja, organisasi profesi, dan keluarga.

The Climber adalah kelompok kelas menengah dengan pendidikan tinggi, tapi belum memiliki kekayaan cukup banyak, juga belum terhubung secara sosial secara luas. Ciri kelompok ini bisa ditemui pada sosok pekerja pemula, baru merintis karier, kerap berpindah pekerjaan supaya bisa memperoleh gaji lebih besar.

The aspirator ditandai dengan kepemilikan resources yang besar dan hubungan sosial yang luas. Ciri utama kelompok ini adalah keterlibatan mereka pada isu-isu publik. Mereka rajin berpendapat di ruang publik, mengorganisasi kelompok, atau bahkan bergerak menyelesaikan persoalan-persoalan umum.

The performer adalah kelompok yang sangat ambisius meraih kesuksesan finansial. Dua hal yang paling penting bagi kelompok ini adalah karier dan kesuksesan ekonomi. Untuk meraih dua hal itu, biasanya kelompok ini beraktivitas di dunia dunia, yaitu dunia professional dan wirausaha.

The trendsetter adalah kelompok kelas menengah dengan resources tinggi, hubungan sosial luas, tapi cenderung kurang memiliki pengetahuan. Bagi mereka, keberterimaan sosial dan popularitas adalah hal yang sangat penting. Agar mereka diakui sebagai trendsetter, mereka bekerja rela membelanjakan banyak uang. Ciri-ciri ini biasanya dimiliki siswa dan mahasiswa anak orang kaya.

The follower biasanya memiliki resources rendah, pengetahuan rendah, tapi jaringan sosial yang kuat. Mereka adalah tipe trendsetter yang tidak punya cukup uang. Mereka memiliki kepedulian terhadap tren tetapi tidak punya kekayaan, sehingga cenderung meniru gaya hidup idola.

The settler adalah kelompok sosoal yang cukup kaya, kurang bergaul, juga kurang terdidik. Tanda demikian biasanya dimiliki oleh orang desa yang kaya dari warisan, usahnya kecil-kecilannya mapan, tapi tidak memiliki latar pendidikan yang cukup tinggi. Ambisi mereka biasanya adalah kehidupan masa tua yang tenang dengan orientasi ke kehidupan akhirat.

Tha flow-er adalah kelompok kelas menengah yang hidupnya mengikuti arus. Meskipun mereka merasakan persoalan hidup, mereka tidak memiliki cukup resources, pengetahuan, dan jaringan yang diberdayakan untuk mengubah kehidupan menjadi lebih baik. Karena itu, ambisi terbesar kelompok ini adalah membesarkan anak agar sukses dan hidup lebih baik dari mereka.

Sejumlah Kriteria

Kelas menengah telah menjadi isu demografis penting karena kelompok ini menjadi penggerak kemajuan ekonomi Indonesia dalam dua dekade terakhir. Menurut penelitian dalam buku ini, jumlah mereka kini telah mencapai 143 juta, mayoritas di Indonesia.

Namun secara akademis, pendefinisian kelas menengah ternyata cukup problematik, karena lembaga yang otoritatif memiliki definisi berbeda-beda. Asian Development Bank (ADB) misalnya mengidentifikasi kelas menengah sebagai kelompok penduduk dengan pengeluaran antara 2 hinga 20 dolar per hari. Lembaga lain mengungkapkan, kelas menengah adalah total keseluruhan penduduk sebuah negara dikurangi 20 persen kelompok termiskin dan 20 persen kelompok terkaya.

Meski berbeda, lembaga-lembaga tersebut cenderung sepakat bahwa kelas menengah adalah kelompok penduduk yang sudah cukup memenuhi kebutuhan dasar (basic need) dan beralih untuk memperoleh kebutuhan sekunder. Kebutuhan sekunder meliputi kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, diakui secara sosial, dan aktualisasi diri.

Secara ekonomi, kelompok ini  juga ditengarai memiliki setidaknya 30 persen penghasilan menganggur.

Karena telah selesai dengan kebutuhan dasar dan memiliki 30 persen penghasilan menganggur, kelas menengah memiliki perilaku sosial ekonomi yang tentu saja berbeda dengan kelompok miskin.

Kondisi ekonomi demikian menstimulasi mereka memiliki kebutuhan baru. Selain kebutuhan sekunder seperti televisi layar datar, sofa yang empuk, langganan internet, mereka juga mulai membutuhkan liburan. Lebih jauh, mereka juga mulai memikirkan produk-produk investasi untuk menjamin masa depan yang lebih baik seperti deposito, investasi properti, emas, asuransi, dan instrumen investasi lain.

Jumlah kelas menengah yang sangat besar dipandang sebagai penggerak kehidupan ekonomi Indonesia yang terus berkembang. Di satu sisi mereka cukup produktif menghasilkan uang, di sisi lain mereka juga cukup konsumtif sehingga membuat perputaran ekonomi menjadi lebih dinamis. Kelompok inilah yang membumbungkan optimisme bahwa Indonesia akan segera masuk menjadi salah satu negara dengan GDP terbesar di dunia.

Kepemilikan, Ambisi, Perilaku

Buku 8 Wajah Kelas Menengah ini menarik karena ditulis berdasarkan penelitian oleh Middle Class Institute (MCI) yang digawangi oleh Yuswohady dan Kemal E Gani. Lembaga ini berkolaborasi dengan majalah ekonomi Swa, salah satu majalah ekonomi terkemuka.

Paduan antara pendekatan riset dan laporan jurnalistik ini membuat buku khas. Meskipun bicara tentang konsep ekonomi yang cenderung teknis, para penulis berhasil menyajikannya dengan renyah.

Buku ini bahkan dilengkapi laporan etnografis tentang masing-masing segmen kelas menengah. Laporan ini membuat saya sebagai pembaca dapat memahami kelas menengah bukan hanya sebagai statistik, tapi sebagai sikap.

Karena itulah, setelah membaca buku ini saya menyimpulkan bahwa kepemilikan sumber daya pada kelas menengah telah menciptakan norma dan mentalitas baru. Sebut saja itu mentalitas kelas menengah.

Mentalitas itulah yang membuat mereka dipertemukan pada ambisi yang sama. Secara umum, ambisi kelas menengah adalah terus bertumbuh sehingga memiliki kebebasan finansial, memiliki waktu senggang, sehingga bisa hidup mencurahkan kasih sayang kepada orang-orang yang dicintai.

Ambisi besar itulah yang akhirnya membentuk perilaku kelas menengah di Indonesia. Meskipun kerap dikritik sebagai kelompok oportunis, kelas menengah menyimpan ambisi yang cukup altruistik.

Saya mengkritik buku ini karena sering sekali mengulas sesuatu yang sama di dua atau lebih bagian yang berbeda. Ini membuat buku ini terasa berbelit-belit dan menghabiskan banyak waktu pembaca.

Rahmat Petuguran
Pemimpin Redaksi PORTALSEMARANG.COM

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending