Connect with us

Di Semarang, saya menemukan banyak kata “surga” pada spanduk ajakan berkurban. Kata itu bersanding dengan viasualisasi beberapa ekor kambing memanggul sofa empuk. Si pembuat spanduk sedang menyugesti publik agar berkurban – dengan harapan dapat masuk surga.

Fenoemena ini menyisakan keganjilan. Bahasa ternyata jadi bagian amat penting dalam laku ibadah umat. Bahasa beperan mengonstruksi pemahaman ketauhidan, merekonstruksi pemahaman umat terhadap diri dan dunianya. Pada saatnya, bahasa kemudian memengaruhi perilaku keber-agama-an orang seorang.

Pada kasus spandung, kata “surga” agaknya sengaja dilempar penyelenggara kurban agar umat tersugesti. Persoalannya, apakah cara kita mempersepsi bahwa “hewan kurban adalah kendaraan menuju surga” memiliki dasar naqli yang mapan? Atau, itu cuma strategi advertising belaka yang dibuat – mohon maaf – dengan sedikit bias visual dan semiotis untuk kepentingan penyelenggara kurban sendiri?

Umat Islam tradisional/abangan (?) seperti saya , mengartikan “surga”, “akhirat”, dan “neraka” sebagai tempat. Ya, semacam planet, semacam pulau, semacam ruang yang memiliki dimensi. Tapi, barangkali persepsi ini tidak tepat karena pengetahuan saya amat terbatas. Bisa jadi, “surga” ternyata kondisi, keadaan, keberkahan, atau semacamnya.

Sebagai kata, “surga” adalah lambang yang dimaknai secara beragam oleh umat sesuai preferensi dan modal intelektualnya. Tentu saja pemaknaanya sangat cair, random, bahkan bisa meluber ke mana-mana.

Bagaimana kalau “surga” yang dijanjikan penyelanggara kurban ternyata bukanlah “surga” yang ada di benak umat? Dan, bukankah baik “surga” yang ada dalam benak penyelenggara maupun benak umat, bisa sama sekali berbeda dengan SURGA yang dimiliki TUHAN?

Penggunaan istilah-istlah keagaman juga dapat kita temukan pada ajakan berinfaq/sedekah/wakaf. Ada spanduk bertuliskan “Pesan Rumah Akhiratmu Sekarang Juga”. Kalimat itu kemudian diikuti dengan kalimat berikutnya, “dengan waqaf tunai pembebasan tanah untuk pondok pesantren …”

Pada kalimat pertama, metafora “rumah” digunakan untuk menyugesti umat agar menodnasikan sebagian hartanya. Keganjilannya terletak pada pilihan kata “rumah” itu sendiri.

Si pembuat spanduk mengajak publik unttuk mengandaikan akhirat sebagai sebuah desa. Di sana, barangkali, warga memerlukan sebuah tempat berlindung dari terik matahari dan derasnya hujan. Apakah ini pemahaman yang terbaik? Mari kita diskusikan.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending