Connect with us

Di kota-kota modern sekarang, kampung-kampung tak menjanjikan romantisme. Di permukiman yang pemandangannya dihalangi oleh hotel dan perkantoran, kampung berubah jadi kos-kosan. Di sana para pekerja berangkat pagi dengan tergesa pulang menjelang petang dengan letih tak terkira.

Dalam kesesakan itulah modernitas berubah jadi kepalsuan.

Modernitas, yang hadir dalam rupa pembangunan dan janji berbungkus “industri wisata”, adalah kepalsuan. Alih-alih membawa kebahagiaan, modernitas justru menghadirkan masa depan yang gersang dan penuh ketidakpastian.

Karena itulah, kampung-kampung yang langitnya terbuka, dengan angin yang hilir mudik melalui jendela, demikian dirindukan kehadirannya.

Kerinduan itulah yang ditulis Irwan Segara, penyair kelahira Lebak dalam puisi berjudul “Kota yang Kehialngan Salak Anjing dan Suara Jangkrik di Jantung Malam” di Kompasa edisi Sabtu 3 Februari 2018.

Dibubuhi keterangan bahwa puisi ini ditulis di Yogyakarta, keluhan Irwan Segara barangkali coba dituliskan untuk mewakili warga kota yang ditinggalinya.

Bait pertama puisi itu ditulis penyair untuk mengantarkan pembaca pada masa depan kota yang mengerikan. Amat sesak dan amat panas.

Masa depan kota ini
Didirikan dari mal-mal dan hotel-hotel
Serta kendaraan-kendaraan yang padat
Seperti kata-kata memenuhi buku-buku

Pada bait yang sama penyair membuat analogi yang tak tanggung-tanggung hiperbolanya, untuk mengatakan bahwa kota itu telah berubah demikian panasnya.

Langit mendekatkan matahari pada kita.

Sesak dan panas adalah rasa yang muncul secara ragawi. Sesak dan panas ragawi itu kemudian merembet pada sesak dan panas batin. Kota bukan hanya tidak nyaman, tetapi juga menjengkelkan. Tak lagi memberi kebebasan pada raga, juga imaji manusia. Kota membuat manusia sakit dan raganya.

Kota ini seperti sebuah akurium
Yang diisi ikan-ikan raksasa
Kota ini terlampau kecil
Bagi sebuah mal atau hotel
Atau bagi gerutu kita pada jam-jam kerja

Kota yang terluka membuat para penghuninya ingin pulang pada masa lalu. Pada satu masa ketika jangkrik terdengar dari luar jendela, ketika halaman masih cukup luas bagi anak-anak menghabiskan sore dengan permainannya, dan udara segar masih tersedia untuk dihirup bersama-sama.

Penyair menggunakan “candi-candi” sebagai simbol masa lalu yang ia kehendaki, sebuah masa yang ingin ia berkembali.

Masa lalu itu ia rindui bukan karena sehat bagi hidup, tapi di situlah ada kehidupan. Masa yang diidamkan penyair adalah masa ketika semua orang bisa hidup dengan jerih payahnya, tanpa menjadi peminta-minta.

Tapi kerinduan penyair adalah kerinduan semata. Masa lalu tak bisa direngkuh, sebagaimana masa kini tak bisa dibunuh. Penyair hanya bisa mengeluh, dalam setengah halaman koran Sabtu yang barangkali jarang dibaca karena warga sibuk mencari hiburan untuk menghindari kehidupan sehari-harinya yang nestapa.

Rahmat Petuguran
Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending