Idul Fitri 1432 H sudah berlalu beberapa hari. Tapi suasana lebaran masih sangat terasa di Ponpes Al-Hikmah. Puluhan santri bersama orang tua mereka datang ke komplek pesantren yang terletak di Desa Bendan, Sirampog, Brebes itu.
Mereka datang untuk sowan kepada Kyai Masruri Mughni yang saat itu masih sehat. Datang dengan membungkuk, para santri menciumi tangan Mbah Masruri bergiliran. Usai cium tangan, mereka mundur dengan posisi kaki tertekuk. Tatapan mereka tertuju ke lantai.
Di lingkungan pesantrten salaf, pemandangan seperti itu tak sulit ditemui. Santri membawakan sikap “merendah” jika berhadapan dengan kyainya. Selain cium tangan, para santri terbiasa jalan membungkuk. Mereka merendahkan pandangan agar tak saling tatap dengan kyainya. Saat mereka bicara, suara dilirihkan agar terdengar halus. Santri juga terbiasa meletakan kedua tangan di muka perut jika berdiri berhadap-hadapan.
Kalangan santri menyebut sikap hormat itu dengan sebutan tawadu’. Dalam bahasa Arab tawaduk berarti rendah hati. Dalam tradisi pesantren sikap ini ditunjukan untuk memuliakan kyai, guru yang telah memberkahi mereka dengan ilmu pengetahuan.
Pengajar pada Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro Prof Dr Mudjahiri Thohir berpendapat, sikap santri itu muncul karena dua sebab. Pertama, Islam memerintahkan agar santri atau siapapun yang tengah belajar untuk selalu memuliakan orang yang lebih tua. Rasulullah bersabda sebagaimana diriwayatkan Ahmad dan Hakim, “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak seorang ulama.”
Dua hadis lain diriwayatkan Abul Hasan Al Mawardi, “Mualiakanlah guru-guru Al-Quran (agama). Barang siapa memuliakan mereka berarti memuliakan aku.” Selain itu, “Muliakanlah orang yang kamu belajar darinya.” Beberapa dalil naqli di atas memotivasi para santri untuk menunjukkan sikap hormat yang asketis dan khas.
Selain perintah agama, ada proses kultural yang membuat posisi kyai sangat dihomati. “Umumnya, kyai juga sekaligus pendiri pesantren. Dia juga pemilik yang memiliki otoritas dan wewenang mengatur semua aspek dalam kehidupan pesantren,” kata, Kamis (11/7).
Sementara itu, Bactiar Effendi dalam Nilai Kaum Santri (1998: 50) menilai wibawa kyai dikokohkan oleh kualitas dan kapabilitas personal yang dimilikinya. Di pesantren kyai bekerja tanpa bayaran, bahkan kerap harus menggunakan harta pribadi untuk memakmurkan pesantren. Sikap mulia ini memantik simpati, kekaguman, sekaligus rasa hormat masyarakat.
Saadah, peneliti dari IAIN Walisongo, kyai punya tiga peran sekaligus yang membuat sosoknya dihormati dan dikagumi. Pertama, sebagai ulama, kyai adalah pribadi yang cerdas, mengetahui ilmu agama, kemudian menafsirkannya dalam tatanan kehidupan masyarakat, menyampaikan dan memberi contoh dalam pengamalan dan memutuskan perkara yang dihadapi oleh masyarakat.
Kedua, kyai sebagai pengendali sosial, mampu mengendalikan keadaan sosial masyarakatnya yang penuh dengan perkembangan dan perubahan itu. Kyai berperan kreatif dalam dalam perubahan sosial, bukan karena kyai meredam emosi akibat perubahan yang terjadi, melainkan karena mempelopori perubahan sosial dengan cara sendiri. Pengaruh kyai, menurut Zamakhsari Dhofier (1982:56) bahkan melampaui batas-batas di mana pesantren mereka berada.
Ketiga, kyai sebagai penggerak perjuangan, ia mampu berjuang bersama masyarakat setempat untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh masyarakatnya. Sejak zaman kolonial Belanda para kyai sudah banyak yang memimpin rakyat untuk mengusir para penjajah. Khususnya di Jawa, kepemimpinan Islam kyai dianggap paling dominan dan selama berabad-abad telah memainkan peranan yang menentukan dalam proses perkembangan sosial, kultur dan politik.
Sikap zuhud kyai didasari dalil naqli yang amat kokoh, yakni Al-Quran. “Dan (dia berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui” (QS. Hud: 29).
Sikap hormat santri tak hanya dieskpresikan ketika bertatap muka dengan kyainya. Di Demak, Jepara, dan Kudus, jamak ditemui para santri memasang potret sang kyai di rumah mereka. Foto itu dipigura dengan rapi, dilapisi kaca yang bersih, dan umumnya di pasang di ruang tamu. Adapun di Jawa Timur muncul banyak sebutan yang ditujukan untuk memuliakan kyai. Selain kyai khos, terkenal pula istilah kyai kharismatik dan kyai langitan.
Kyai Khos adalah Kyai utama, kyai sepuh yang dihormati karena keilmuannya, wawasannya, lakunya, ketaqwaannya, zuhudnya dan kontribusinya pada masyarakat luas. Istilah ini, konon, dipopulerkan oleh Gus Dur untuk para kyai yang mengabdi dengan tulus dan lurus untuk umat dan masyarakat. Istilah kharismatik punya arti yang tak jauh berbeda. Kyai kharismatik dianggap memiliki jasa yang amat besar dalam ‘menanamkan’ nilai-nilai keislaman di Tanah Air ini. Mereka meninggalkan banyak perubahan dan pencerahan bagi umat.
“Kalau istilah langitan bisa berarti ganda. Pertama sebagai nama tempat (di Tuban). Kedua bisa berarti sebagai kyai yang memiliki kedekatan dengan Tuhan,” kata Mudjahirin sembari mengarahkan telunjuk kanannya ke atas.
Di Indonesia ada banyak kyai yang dipanggil sebagai kyai khos dan kharismatik. Dalam buku 12 Kyai Kharismtaik Indonesia (Pustaka Basma, 2011), misalnya, disebut sejumlah nama seperti Habib Husein Mbrani, al-Habib Umar bin Hud al-Attas, Habib Abdurrahman Assegaf Bukit Duri, Ustadz Muhammad Ba’bud Lawang, Kyai Syarwani Abdan Datuk Kalampayan Bangil, Kyai Hamid Pasuruan, Habib Ali bin Ja’far Batu Pahat, Habib Abdullah Bilfaqih, Habib Anis Solo, dan Tuan Guru Zaini Ghani Martapura. Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Al Muttaqien Pancasila Sakti Klaten, KH Muslim Rifa’i Imampuro (alm) juga kerap disebut sebagai kyai khos.
Kekaguman para santri pada kyai kerap diiringi kepercayaan-kepercayaan yang bersifat supranatural tentang adanya berkah dan karomah pada kyai. Berkah biasa digunakan untuk menyebut manfaat yang diberikan kyai kepada santri, baik ilmu maupun lainnya. Adapun karomah merujuk pada keistimewaan yang dimiliki kyai sebagai pemberian dari Tuhan karena hubungannya yang sangat dekat. Wallahualam bishawab.
Foto:
Adegan dalam film Sang Kyai, santri pondok pesantren Tebuireng Jombang berusaha melindungi Kyai Hasyim Asyari saat ia akan dijemput tentara Jepang (Foto: danieldokter.wordpress.com)
-
Muda & Gembira10 years ago
Kalau Kamu Masih Mendewakan IPK Tinggi, Renungkanlah 15 Pertanyaan Ini
-
Muda & Gembira10 years ago
Inilah 10 Sifat Orang Ngapak yang Patut Dibanggakan
-
Muda & Gembira9 years ago
Sembilan Kebahagiaan yang Bisa Kamu Rasakan Jika Berteman dengan Orang Jepara
-
Muda & Gembira9 years ago
SMS Lucu Mahasiswa ke Dosen: Kapan Bapak Bisa Temui Saya?
-
Muda & Gembira10 years ago
Inilah 25 Rahasia Dosen yang Wajib Diketahui Mahasiswa
-
Lowongan9 years ago
Lowongan Dosen Akademi Teknik Elektro Medik (ATEM), Deadline 24 Juni
-
Kampus11 years ago
Akpelni – Akademi Pelayaran Niaga Indonesia
-
Kampus13 years ago
Unwahas – Universitas Wahid Hasyim