Connect with us

Jurnalisme memiliki mantra baru: viral. Mantra ini mengubah secara mendasar cara kerja jurnalis. Bukan hanya mempengaruhi penilaian jurnalis  mengenai news value, tapi juga mengubah relasi jurnalis dengan narasumber dan pembacanya.

Kata “viral” digunakan untuk menyebut sesuatu yang menyebar dengan cepat di internet. Sebuah gambar, artikel, atau blog yang dibagikan secara massif oleh orang banyak disebut viral. Viral diaktronimkan diri dari kata virus virtual. (Baca:  Apa Makna Kata Viral, Meme, dan Hoax?)

Dalam catatan Etymologi Online Dictionary, kata virus sendiri sudah muncul sejak 1944. Artinya, “segala sesuatu yang berkaitan dengan virus”. Virus sendiri adalah istilah dari bidang kedokteran untuk menyebut mikroorganisme yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, penyebar penyakit tertentu.

Kata virus belakang juga digunakan untuk menyebut software jahat (illegal) yang dimasukkan ke dalam sistem komputer melalui jaringan atau disket sehingga menyebar dan dapat merusak program yang ada.

Dalam bahasa Indonesia, virus juga digunakan untuk menyebut tersebarnya pengaruh buruk, berupa ideologi, pandangan, dan sikap.

Hadirnya media sosial memungkinkan berita digital terdistribusi dengan begitu cepat. Awalnya, berita yang viral adalah yang menarik, berguna, menginspirasi, atau lucu. Belakangan berita menjadi viral karena “diviralkan” atau diupayakan dengan segala rupa supaya viral.

Media-media online Indonesia banyak sekali yang menjadikan viral sebagai nilai berita. Kecenderungan ini tak bisa dilepaskan dari sikap pragmatis media untuk menarik pembaca sebanyak mungkin. Sebab, dalam industri digital, kunjungan atau lalu lintas melahirkan kerumunan yang bisa dikonversi menjadi uang.

Orientasi inilah yang membuat viral menjadi standar baru dalam jurnalisme. Bukan hanya media kecil yang mempraktikannya. Media online besar seperti Kompas.com, Detik.com, dan – tentu saja Tribunnews.com – mengadaptasi konsep viral dalam kinerja mereka.

Pada tahap paling awal, konsep viral mempangrahui cara jurnalis memilah berita dan bukan berita. Potensi kerumunan pada berita viral membuatnya otomatis menjadikannya sebagai berita. Ini tidak keliru-keliru amat, sebab dalam konsep viral adanya perhatian publik.

Asumsi demikian membawa dampak ikutan. Viral adalah kecenderungan yang sesaat. Di internet, beroita viral satu akan segera dihabisi berita viral lain. Siklus ini tidak terjadi dalam hitungan hari, tapi menit.

Kondisi itu mamaksa jurnalis bekerja supercepat. Desakan membuat berita super cepat berpotensi membuat jurnalis menempuh cara-cara paling mudah untuk menghasilkan berita. Wawancara dengan narasumber tak harus tatap muka, tapi via WhatsApp atau Chating. Bahkan tak sedikit media yang menggunakan status dan komentar orang di media sosial sebagai bahan berita. Comot begitu saja.

Di sinilah konsep viral yang menjadi konsensus di ruang redaksi akan mempengaruhi kualitas berita. Berita dikerjakan dalam hitungan menit sehingga harus mengorbankan keakuratan, etika bertutur, dan nilai guna.

Pengamatan saya menunjukkan bahwa berita yang berpotensi viral adalah berita yang mengandung tiga unsur: kelucuan, belas kasih, dan motivasi.

Tiga jenis unsur itu menggerakan pengguna media sosial melalui afeksi. Keputusan untuk membagikan berita sehingga menjadi viral lebih banyak dilakukan karena pertimbangan rasa, bukan pertimbangan logis, apalagi terencana.

Kreator berita dan buzzer tentu saja memiliki pertimbangan yang berbeda. Keduanya  memverialkan berita karena tujuan ekonomi dan politik yang jelas.

Jurnalisme viral pada akhirnya membentuk pola baru bagaimana subjek-subjeknya menjalin relasi. Jurnalis menjadi lebih muda terintervensi oleh publik. Pilihan beritanya tidak lagi disandarkan konsep nilai berita lama, tetapi oleh seberapa besar perhatian pengguna media sosial terhadap isu tertentu.

Kondisi ini berisiko menjebak jurnalisme pada lubang baru: populisme. Urgensi dan kemanfaatan bagi publik bisa jadi nomor dua. Setidak penting apa pun, asal (sedang atau berpotensi) viral.

Rahmat Petuguran
Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang
Mengajar Jurnalistik di Rumah Buku Simpul Semarang (RBSS)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending