Connect with us

News

Inu Syafii, Dari IPDN ke Pandanaran

Published

on

Masih ingatkah Inu Kencana Syafei dan perannya dalam geger IPDN sekitar empat tahun silam? Dialah yang berani membongkar kebobrokan di tempatnya mengajar. Apa kesibukannya setelah ”terpental” dari IPDN?

KEBERANIANNYA membongkar aib di IPDN dimulai sekitar tahun 2003 lalu. Dia juga ikut menguak misteri kematian praja IPDN, Cliff Muntu pada April 2007 silam. Aksinya yang menyuarakan kebenaran di kampus yang terletak di Jatinangor ini rupanya berdampak buruk pada karirnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS).

Setelah kasus Cliff Muntu mencuat, Inu pun disingkirkan dari IPDN. Dia kemudian dimutasikan ke Depdagri dan tidak mengajar di IPDN. Kemudian, Inu mundur dari pekerjaannya tanpa mendapat uang pensiun.

“Semula saya dimutasikan ke Depdagri dengan diberi jabatan struktural yang rendah. Akhirnya harus pensiun karena jabatan itu tidak pas untuk orang berusia di atas 55 tahun. Sementara jabatan fungsional saya saat itu bisa sampai umur 65 tahun. Ini sama saja namanya pemecatan dengan kelicikan,” katanya.

Inu menuturkan pemecatan dirinya dari IPDN memang terkait kasus kematian praja Cliff Muntu yang tidak wajar. Begitu kasus itu muncul, pihak IPDN sudah siap memecatnya dengan cara memberikan jabatan struktural yang rendah. Setelah menjabat, dirinya mengaku diharuskan pensiun.

“Selama tiga tahun saya tidak menerima pensiun, karena memang tidak dikasihkan. Mereka bilang saya harus datang ke Depdagri dan IPDN ya itu tidak mungkin, sampai sana saja saya diusir dan didemo. Seperti itu kan tidak etis, begitu saya menuntut hak saya akhirnya uang pensiun keluar juga dan langsung saya belikan mobil,” ungkapnya.

Membongkar aib yang terjadi di kampus IPDN memang membutuhkan nyali besar, namun dia merasa dongkol dan gelisah melihat kenyataan yang terjadi dan tidak segera ditindak. Akhirnya dengan penuh keberanian pun dia melaporkan ke pihak kepolisian dan Presiden.

“Ini anak orang mati lho, itu anak manusia. Saya gelisah melihat apa yang terjadi di IPDN kala itu. Ada yang mati saya langsung lapor polisi untuk ditindak. Kalau pun saya dipecat masa bodoh,” bebernya.

Inu menceritakan menuntut ilmu di IPDN kita bisa kehilangan rasa jijik. “Mereka disuruh makan muntah bersama-sama dalam rangka kebersamaan, itu kan tidak benar.

Padahal rasul mengajarkan kita tidak boleh makan yang menjijikan. Ada yang bilang Pak Inu ikut menempeleng, ya jelas saya tempeleng ada siswa bawa WTS ke kamar, masa saya harus diamkan saja. Bukan pengkhianat tapi menguak kebenaran,” lanjutnya.

Keberanian Inu mengungkap kasus kematian di IPDN, juga berdampak pada keluarganya. Ancaman dan teror baik melalui telepon maupun sms mungkin sudah menjadi makanan sehari-hari. Inu pun meminta bantuan keamanan dari Kapolri demi keamanan dirinya dan keluarga. Inu diberikan ponsel yang dapat disadap oleh pihak kepolisian.

“Jadi polisi bisa langsung melacak siapa yang meneror. Selama tiga tahun, saya dan keluarga dikawal polisi jika bepergian. Mulai dari polisi yang berseragam dan polisi yang mengenakan pakaian preman. Keluarga punmenerima keadaan ini,” jelasnya.

Inu pun mengaku salut atas ketegaran istri tercintanya yang mengetahui dirinya dipensiunkan. Seketika saya dinyatakan dipecat, saya langsung memberi tahu istri melalui ponsel. Saya berkata hari ini dipecat dan diusir dari kampus IPDN.

Hanya dalam hitungan tiga detik istri saya menjawab, Kita tidak dipecat oleh Allah, kalau Allah yang memecat kita di bumi mana kita akan tinggal. Seluruh alam raya ini milik Allah. “Saya salut dengan ketegarannya dalam menerima apa yang terjadi,” jawabnya.

Setelah pensiun, Inu mengaku mengirim surat lamaran ke beberapa perguruan tinggi. Ada sekitar puluhan surat lamaran yang dia kirim, dan ternyata semuanya diterima.

“Saya heran kok diterima semua lamarannya, maka dari itu saya juga harus menyeleksi tawaran itu semua. Mengajar S2 dan S3, kalau yang S1 kalau honornya bagus aja,” katanya sembari tertawa.

Akhirnya, menjadi rektor Universitas Pandanaran merupakan salah satu tawaran yang dia terima. Inu mengatakan dirinya saat ini mengajar di 15 perguruan tinggi, di antaranya Universitas Diponegoro, Universitas Udayana, dan Unilamb Banjarmasin.

“Termasuk salah satunya Universitas Pandanaran, karena di universitas  ini tidak ada jurusan ilmu pemerintahan. Mereka meminta saya untuk menjadi rektor. Saya pun meminta untuk dicarikan lawan, rupanya karena tidak ada calon lain maka saya diangkat menjadi rektor, juga mengajar mata kuliah Pancasila,” jelasnya.

Continue Reading
1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Unpand – Universitas Pandanaran

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending