Connect with us

Komunisme sudah mati, bahkan di negerinya sendiri. Demikian kata Kyai Zastrow al Ngatawi, mantan Ketua Lesbumi yang pernah jadi asisten pribadi Gus Dur itu. “Di negerinya, ideologi sudah jadi sampah. Mengapa aktivis justru memuji ideologi yang di kampungnya sudah tidak dihargai lagi?” lanjutnya.

Pernyataan Zastrow itu mungkin ekspresi keheranan karena ia melihat banyak anak muda generasi saay saat ini tertarik mempelajari komunisme. Ada begitu banyak diskusi, baik di kampus maupun warung kopi, mengenai ideologi ini.

Tetapi Zastrow mestinya tahu, tidak setiap anak muda yang membincangkan komunisme berusaha menjadi ideologi itu sebagai bagian dari pandangan politiknya. Jelas tidak mungkin pula, kami berencana menjadikan komunisme  sebagai pengganti Pancasila. Meskipun kami setiap tahun telat bayar pajak motor, kami tetap memiliki darah yang merah dan tulang yang putih kok. Bahkan hati kami tetap bergetar saat menyanyikan Indonesia Raya (asal tidak dipandu Roy Suryo).

Nah, dari fakta itulah, polisi dan tentara mestinya tahu,  kajian tentang ideologi tidak selalu bersifat ideologis. Di luar sana, ada banyak orang yang hidupnya woles dan punya banyak waktu luang. Dan waktu luang itu merepotkan. Daripada nonton TV, akhir-akhirnya ketemu manusia harimau, lebih sehat mereka bicara tentang ideologi politik dan ekonomi.

Pengetahuan semacam ini mestinya juga dimiliki aparat, baik polisi maupun TNI. Tidak setiap orang yang berpalu arit bisa ditangkapi. Sebab, atribut itu tidak selalu menggambarkan sikap politik pemakaianya.

Bagi anak muda angkatan saya, yang telah bertahun-tahun dididik di Facebook University menjadi generai ceriwis, pembahasan tentang komunisme kadang sama (tidak) pentingnya dengan pembahasan tentang Leicester City. Pada satu waktu, topik itu menjadi sangat penting seperti menentukan hidup dan mati. Tapi sesaat kemudian, topik itu terasa sekali tidak berarti, bahkan lebih tidak berarti dari pembahasan tentang pernikahan Nikita Willy.

Kalaupun ada bagian dari komunisme yang sungguh-sungguh menarik perhatian kami, itu hanyalah konsep kekuasaan sepenuhnya oleh negara. Jika negara adalah struktur terkuat dan memiliki otoritas tertinggi, apakah negara juga akan secara serius mengurusi perjodohan rakyatnya? Atau, apakah negara juga akan menggunakan kekuasaannya untuk menyatukan kekasih yang harus menjalin hubungan jarak jauh?

Dari Fromm generasi kami belajar bahwa kemenyatuan adalah salah satu ambisi terbesar hidup manusia. Itu terjadi karena setiap manusia pada dasarnya, menyatu dengan ibunya. Ketika kami lahir dan tumbuh besar, kami berpisah dengan ibu, insting menuntun untukmencari pasangan.

Karena itu, salah satu misi terbesar hidup generasi kami, adalah menemukan pasangan yang bisa memfasilitasi terslenggaranya kemenyatuan itu. kemneyatuan psikis mungkin cukup, tapi kalau psikis dan biologis akan lebih baik.

Nah, keyakinan semacam inilah yang membuat generasi kami menganggap mencari pasangan hidup adalah misi besar. Kami bisa hidup di negera sosialis, negara kapitalis, atau di negara sosialis yang ternyata kapitalis sekalipun. Yang tidak bisa dilakukan oleh generasi saya adalah hidup tanpa pasangan.

Memang, kami mengkritik kapitalisme karena  sistem ini menciptakan begitu banyak ketidakadilan. Seperti dilantunkan dengan begitu indah oleh Rhoma Irama, kapitalisme membuat “yang kaya makin kaya, yang miskin tambah miskin.” Tetapi bagi kami, bukan itu keburukan paling patut diumpati dari kapitalisme.

Yang paling kami benci dari kapitalisme, justru, adalah persaingan bebas. Atas nama mempersiapkan persaingan, setiap dari kami harus bersekolah setinggi-tingginya. Akibatnya, kami harus mencari kampus terbaik di luar kota, dan terpaksa berpisah dengan pacar kami, pacar di kampung halaman.

Persaingan bebas juga memaksa kami yang sudah lulus untuk segera bekerja keras. Kapitalisme tidak memberi ruang kepada anak muda yang menganggur. Karena itu, kami harus rela untuk keluar kota, menekuni pekerjaan yang ternyata hasilnya juga tidak seberapa. Pekerjaan yang jauh dari kampung halaman, membuat kami – sekali lagi – harus meninggalkan kekasih yang telanjur telah kami pilih.

Bahwa kapitalisme telah membuat korporasi multinasional bisa dengan leluasa mengeruk kekayaan negeri, kami tahu dan sepenuhnya sadari. Bahwa kapitalisme telah memungkinkan negara dijalankan layaknya perusahaan swasta, kami tahu dan sadari. Tetapi kami bisa abaikan dua persoalan itu jika saat kami bersama orang-orang yang kami cintai.

Tapi saat kapitalisme membuat dua insan yang saling mencintai harus berjarak, itu adalah persoalan yang tidak bisa diabaikan. Saat seperti itulah kapitalisme tampak demikian evil, dan kami mulai mencari ideologi pengganti.

Komunisme mungkin tampak menjajikan. Di negara komunis, bukan persaingan yang diutamakan. Di negara komunis, bukan kehendak individu yang dikedepankan. Kelektivitas berbangsa menjadi yang utama dengan negara sebagai reprsentasinya. Negara menjelma kekuasaan raksasa yang berambisi gigantik mengatur berbagai bidang kehidupan rakyatnya.

Tapi, apakah negara komunis juga akan mengurusi masalah asmara rakyatnya? Kami tidak yakin. Komunisme bahkan tidak menolong Lenin menjalin hubungan asmara dengan Inessa Armand, kekasih jarak jauhnya di Paris.

Peneliti sejarah Rusia daro University of London Robert Service menemukan bahwa selama bertahun-tahun Lenin menjalin hubungan asmara dengan Armand. Dari surat-suratnya, Lenin diketahui ingin putus dengan Armand. Tapi dia mendapati bahwa dirinya tidak bisa hidup tanpa perempuan itu. Itulah yang membuat Lenin pada 1981 nekat membotong Armand bersama istrinya, Nadezhda Krupskaya, ke Kremlin.

Tapi Lenin juga bukan contoh orang yang nasib asmaranya bahagia. Meskipun hidup dengan istri sekaligus pacarnya, ia tidak pernah memiliki anak. Rumah tangganya menjadi rumit, lebih rumit dari rumah tangga Ahmad Dhani (Foto: entertheroom.pl).

Rahmat Petuguran

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending