Connect with us

SAAT  saya masih bocah, di kampung saya datang seorang tukang sulap. Dia seorang pria berusia 40 hingga 50-an. Begitu tiba, ia menggelar berbagai boneka di depan halaman rumah saya. Kebetulan, rumah saya terletak di dekat pertigaan, salah satu simpul jalan kampung tempat orang biasa nongkrong.

Tukang sulap itu mengeluarkan boneka seukuran lengan tangan orang dewasa. Boneka itu menyerupai seorang badut yang membawa drum. Pada satu waktu, boneka itu menggerakkan tangannya untuk menabuh drum sehingga melahirkan bunyi yang berulang.

Saya dan anak-anak desa itu kagum sekaligus bingung. Saya mengira, tukang sulap itu pasti sakti sekali. Soalnya, boneka itu bergerak berdasarkan perintahnya. Ketika tukang sulap itu memerintahkan boneka bergerak, boneka itu bergerak. Ketika ia meminta berhenti, boneka itu juga berhenti. Setelah dewasa saya tahu bahwa boneka itu digerakan oleh enegeri baterai yang diset dengan timer. (Hahaha, culun!)

Ketika pertunjukan pembuka selesai, orang yang bekerumun semakin banyak. Kami berdesak-desakan menyaksikan tontonan itu.

Si tukang sulap kemudian bangkit dari tempat duduk dan membuat garis pembatas di atas tanah. Garis itu digunakan untuk membuat batas supaya penonton tidak masuk area pertunjukan. Garis itu membentuk bidang persegi panjang. Ketika ia membuat garis di atas tanah itu, ia mengucapkan kata-kata yang sangat ajaib dan menakutkan dalam persepsi saya saat itu. “Bismillahirohmanirohim. Aja nglewati garis iki. Sapa sing nglewati, nek lanang peluh, nek wadon mandul.”

“Bismillahirohmanirohim” yang diucapkan tukang sulap itu membuat ancamannya terasa begitu menakutkan. Atribut keagamaan membuat saya, dan barangkali anak-anak lain, percaya bahwa ancaman itu tidak main-main. Karena diucapkan dengan merapal ayat suci, ucapan itu saya yakini mengandung kebenaran. Kami tak berani melewati garis yang dibuat tukang sulap di atas tanah tadi.

Lain waktu, saat saya menjelang usia 26 tahun, saya bertemu dengan seorang makelar tanah. Kami ingin membeli tanah darinya untuk kami dirikan rumah. Agar urusan jadi jelas, saya dan istri sengaja mengunjungi rumahnya.

Dia laki-laki berusia 50-an tahun yang ketika bicara suka  sekali menyelipkan pujian kepada Tuhan. Kadang ia mengucap: subhanallah, kadang alhamdulillah, kadang masya Allah. Saat akhirnya kami sepakati harga dan dia menandatangani kuitansi, ia tak lupa membaca bismillah.

Kami yakin betul bahwa ucapan-ucapan itu diucapkan karena kebiasaan. Orang yang hidup pada lingkungan religius akan cenderung mengucapkan pujian-pujian itu. Maka, saya membaca ucapan itu sebagai tanda bahwa makelar tanah adalah orang saleh. Karena dia orang saleh, kemudian saya yakin bahwa bertransaksi jual beli dengannya akan aman.

Dua hal di atas adalah pengalaman pribadi tentang atribut keagamaan. Atribut ternyata memiliki fungsi ganda. Pertama, atribut itu melekat sebagai ekspresi atas kondisi batin manusia yang ingin senantiasa terhubung kepada Tuhan. Kedua, atribut berdimensi sosiologis sebagai tanda yang berfungsi menghubungkan ide manusia dengan manusia lainnya.

Atribut keagamaan yang melekat pada seseorang adalah simbol yang berinteraksi dengan simbol lain dalam semesta simbol. Sebagai simbol, atribut merepresentasikan sesuatu yang lebih dalam dan bermakna dari dirinya. Di balik simbol ada makna, ada maksud, yang bisa dibaca dan diterjemahkan.

Inilah mengapa, sosiolog menyebut agama sebagai salah satu modal kultural. Maksudnya, barangkali, simbol keagamaan yang melekat pada seseorang merupakan sumber daya sosial yang mempengaruhi transasksi sosial, negosiasi, posisi dan dispoisi seseorang dalam lingkungan tertentu.

Simbol keagamaan tidak berfungsi independen semata-mata sebgai simbol agama karena bidang agama merupakan bidang (field) yang terhubungan, menjadi subirodinasi, atau menjadi superordinat bagi bidang-bidang lain dalam kehidupan. Maka, simbol keagamaan pada saat yang sama adalah simbol yang dapat berfungsi pada bidang kehidupan sosial lain, misalnya sosial, politik, ekonomi, seni, dan lainnya.

Anggaplah bidang sosial sebagai supreme field, yaitu bidang yang amat luas dan menjadi wadah bagi bidang-bidang lainnya, termasuk agama. Maka aturan-aturan main dalam bidang agama mau tidak mau adalah bagian dari aturan main dalam bidang sosial, yaitu bidang yang lebih besar dan bersifat universal. simbol-simbol agama pun kemudian berfungsi sebagai simbol pada bidang sosial.

Keterhubungan antarbidang ini tidak selalu dalam bentuk subrodinasi dan superordinasi. Hubungan antarbidang bisa bersifat setara dalam bentuk irisan bidang. Misalnya, bidang agama dan bidang ekonomi, adalah dua bidang yang memiliki hukum dasar yang berbeda. Namun ada titik temu di antara keduanya. Pada titik temu itulah bidang keagamaan dan bidang ekonomi memiliki kesamaan hukum.

Dalam bidang ekonomi, siapa pun yang memiliki modal lebih besar berpeluang lebih besar untuk menguasai pihak lain. Dalam bidang agama, siapa pun yang memiliki pengetahuan keagamaan lebih banyak dan mendalam berpeluang lebih besar untuk dihormati dan dipercaya oleh umat/jemaat. Pada situasi itu, hukum dasar antara ekonomi dan keagamaan tampak sebangun. Bedanya, modal dalam bidang ekonomi berbentu uang dan aset, sementara dalam bidang agama, modalnya berupa pengetahuan keagamaan.

Dari sudut pandang sosiologi, ilmu keagamaan adalah modal kultural yang berpotensi menjadi variabel penting dalam proses perebutan posisi paling menguntungkan. Kyai atau pendeta yang paling menguasai ilmu agama akan membuatnya lebih dipercaya umat atau jemaah dibandingkan kyai atau pendeta lain yang ilmu keagamaannya dangkal. Maka, kyai atau pendeta dengan ilmu mendalam itu akan lebih menarik lebih banyak jemaat.

Fungsi sosiologis atribut keagamaan merupakan skema sosiologis yang tidak dapat dihindari karena cara berpikir logosentris manusia. Dalam memaknai sesuatu, manusia senantiasa berusaha menghubungkan penanda dengan petanda.

Kondisi demikian sekaligus bisa menimbulkan kerawanan karena sistem tanda merupakan objek yang sangat mungkin dikonstruksi, bahkan dimanipulasi. Ada berbagai mekanisme yang memungkinkan sebuah tanda dimaknai secara berbeda dengan makna kovensional yang selama ini melekat kepadanya. Bahkan dengan sumber daya tertentu, sebuah tanda bisa didekonstruksikan supaya maknanya sama sekali berbeda dengan makna konvensionalnya.

Saya teringat Aburizal Bakrie ketika menyatakan dukungan kepada Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2014 lalu. Ketika menyatakan dukungan, Ketua Umum Partai Golkar itu memberi prolog “Setelah melakukan salat istikharah”. Pada saat itu dia juga menggunakan pecis hitam seperti yang lazim digunakan oleh para kyai tradisional.

Saat melakukan pengamanan dalam demonstrasi penodaan agama, sejumlah polisi didandani dengan pecis putih dan surban. Tampilan ini sama sekali berbeda dengan pasukan pengamanan lain yang menggunakan tameng, pentungan, dan senjata api. Mereka juga tidak berdiri menghadapi pendemo, melainkan duduk membaca asmaul khusna. Mereka juga dinamai dengan sebutan khusus: pasukan asmaul khusna.

Tiap Kamis malam, ketika menghadiri pengajian rutin di kampung, saya juga menggunakan sarung, koko, dan pecis. Padahal dalam aktivitas sehari-hari saya merasa lebih nyaman enggunakan kaos tanpa kerah, jeans, dan membiarkan rambut tidak tertutup.

Baik pada kasus Aburizal, polisi asmaul khusna, maupun baju pengajian saya, simbol-simbol agama diproduksi agar menjadi instrumen sosiologis. Atribut-atribut keagamaan itu sengaja diproduksi untuk kebutuhan spesifik, yaitu mengomunikasikan pesan tertentu. Pesan itu disampaikan kepada orang lain (masyarakat) agar si pengirim pesan meraih keuntungan sosial tertentu.

Meski sosiologi kritis sangat cerewet mempersoalkan fungsi sosiologi atribut agama, terutama dalam kaitannya dengan kekuasaan, para sosiolog lazimnya punya sikap rendah diri untuk menjaga atribut-atribut itu bisa jadi memiliki fungsi lain, yaitu fungsi transendental. Tetapi sosiologi tidak bisa menjelaskan fungsi ini karena berkaitan dengan sesuatu yang tidak bisa diamati, diukur, dan ditafsirkan secara metodologis. (Foto: harianterbit.com)

Rahmat Petuguran
Pemimpin Redaksi PORTALSEMARANG.COM

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending