Connect with us

Saat berkunjung pertama kali ke sebuah kota, orang cenderung suka berfoto dengan landmark di kota itu. Landmark adalah monumen, bangunan, atau benda yang bisa jadi ciri khas kota. Foto dengan latar landmark adalah dokumentasi otentik bahwa seseorang pernah berkunjung ke kota itu. Sahih.

Ada beberapa landmark yang sangat ikonik. Begitu landmark itu muncul, orang yang lihat akan segera tahu di mana letaknya. Ada Monas di Jakarta, ada patung Liberty di New York, ada Eiffel di Paris. Kalau di Semarang, ya, Tugu Muda atau Lawang Sewu. Landmark juga bisa berupa benda alam seperti sungai atau gunung.

Kalau sekadar untuk koleksi pribadi, motret landmark sih gampang-gampang saja. Arahkan lensa, ambil frame secukupnya, lalu cekrek. Tapi foto yang dihasilkan juga akan biasa-biasa saja. Lantaran sama dengan foto yang sudah ada, hasil foto kita akan dianggap klise.

Kesulitan lainnya, biasanya ada banyak orang yang ingin foto di landmark itu. Akibatnya, orang harus berebut di lokasi yang sama. Alih-alih menghasilkan foto yang indah, kita justru akan mendapat foto kerumunan. Bagi kamu yang ingin membagikan foto itu ke teman atau saudara, foto itu tidak akan keren.

Nah, untuk menghindari keklisean itu, ada beberapa cara yang bisa kita gunakan. Kita bisa gunakan cara-cara ini sesuai kondisi saat itu.

Bermain Frame

Patung Selamat Datang di bundaran Hotel Indonesia akan biasa saja kalau diambil dari muka. Tapi, aka nada unsur artistic kalau gambar itu kita bingkai. Misalnya, karena kita lewat pakai taksi, kita bisa gunakan jendela taksi sebagai frame.

Atau, kalau kita kebetulan sedang makan di restoan, kita bisa gunakan jendela resto sebagai frame. Akan ada nilai artistik tertentu, sesuai frame yang kita pakai.

Kalau memungkinkan, kita juga bisa pakai efek refleksi. Dengan teknik ini, kita bisa memanfaatkan spion, kaca mobil, kolam, atau genang. Kita tidak mengarahkan lensa ke landmark, tapi ke kaca atau air sehingga memperoleh bayangan landmark itu.

Latar Belakang

Untuk mendokumentasikan landmark, kita tidah harus jadikan landmark itu sebagai fokus lho. Kita bisa jadikan landmark itu sebagai latar belakang. Kita fokuskan bidikan ke objek tertentu, tapi dengan mempertahankan landmark tetap bisa dikenali.

Misalnya, kita akan abadikan Tugu Muda. Bisa saja fokusnya kita arahkan pada senjata berat yang terpasang di depan Museum Mandala Bakti. Dengan pengaturan fokus yang tepat, Tugu Muda akan tetap dikenali. Orang tetap akan tahu kalau kita sedang di Semarang.

Swacroping

Tidak ada aturan yang menyatakan bahwa foto landmar harus menunjukkan keseluruhan utuh.  Kadang-kadang potongan-potongan yang terpisah dari suatu subjek lebih menarik secara visual.  Pilih bagian-bagian tertentu dari landmark itu yang paling iconik.

Dari sekian banyak foto Eiffel yang berjibun di internet, mayoritas foto diambil dari jarka tertentu yang menunjukkan Eiffel menapak kokoh di bumi dan meruncing ke langit. Itu memang foto yang indah, tapi tidak unik. Kenapa tidak coba ambil dari jarak dekat dengan detail baja yang kokoh?

Aktivitas Manusia

Menggabungkan landmark dengan manusia bisa menjadi pilihan berikutnya. Agar lebih otentik, carilah aktivitas khas warga setempat. Foto akan tampak alami, bukan foto pose sebagaimana dibuat oleh kebanyakan wisatawan.

Foto di samping, menurut saya, adalah foto yang berhasil. Si fotografer memotret Eiffel di samping laki-laki yang sedang bersepeda. Bukan memotret Eiffel-nya, tapi memotret gambar pantulan menara itu pada permukaan air. Cakep!

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending