Connect with us

Kolom

Tantangan Guru Pascasertifikasi

Published

on

SETIDAKNYA ada dua kebijakan pemerintah yang membawa angin segar bagi dunia pendidikan, khususnya bagi guru. Pertama, peningkatan anggaran pendidikan menjadi 20 persen pada APBN 2009, dan kedua, Permendiknas Nomor 8 tahun 2007 yang mengatur sertifikasi guru. Kedua kebijakan itu, baik langsung maupun tidak, berkaitan dengan kesejahteraan guru.

Kesejahteraan guru memang menjadi cerita lara yang tak ada habisnya di negeri ini. Bahkan setelah kebijakan sertifikasi mulai bergulir medio 2008 cerita tentang guru yang hidup kekurangan masih sering terdengar. Pasalnya anggaran 50 trilyun yang dianggarkan pemerintah pada APBN 2009 belum dapat dinikmati guru di seluruh Indonesia.

Sebagai sebuah profesi guru menuntut totalitas kerja. Farid Sarimaya (2008) mengatakan kompetensi guru mencakup seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai dan diwujudkan dalam melaksanakan tugas tugas profesionalnya yang ditampilkan dalam unjuk kerja. Untuk menjadi guru yang profesional jelas bukan perkara mudah karena harus memenuhi standar profesi. Karena itulah sudah semestinya guru ‘diganjar’ gaji yang memadai.

Sebelum sertifikasi, gaji guru dinilai kurang memadai. Hal tersebut dapat diukur dengan membandingkan penghasilan bersih guru dengan biaya hidup yang mesti mereka tanggung. Gaji bagi guru golongan VI E bersertifikat hanya 2,4 juta. Di tengah dinamika ekonomi yang terus bergerak gaji guru hanya merangsek. Kenaikan golongan berkala hanya didapat tiap dua tahun sekali, sedangkan biaya hidup amat fluktuatif. Pasca sertifikasi, guru dengan golongan yang sama bisa mendapat tunjangan profesi hingga 5,4 juta.

Meski demikian nasib guru tak serta merta membaik. Terbatasnya kuota sertifikasi hanya mampu mengakomodasi sebagian guru. Sedangkan guru yang tidak lolos dan guru honorer harus bersabar lebih lama menunggu giliran. Suara Merdeka (6/2) mencatat sertifikasi tahap I di wilayah Pati hanya meloloskan 7.697 guru, sedangkan 4.631 lainnya gagal dan diwajibkan mengikuti pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG).

 

Dehumanisasi profesi

Pascasertifikasi tantangan guru semakin besar. Profesi guru dulu digambarkan sebagai profesi yang amat mulia, hingga gelar pahlawan tanpa tanda jasa disematkan. Namun kondisi saat ini berbeda. Seiring meningkatnya kesejahteraan profesi guru mengalami dehumanisasi sistemik. Bahkan berdasarkan klasifikasinya, terdapat guru yang bekerja layaknya pekerja di bidang lain.

Agus Salim dalam Indonesia Belajarlah (2003) mengatakan ada tiga jenis tenaga pendidik dalam dunia pendidikan Indonesia, yakni pengajar, pendidik, dan guru. Ketiganya memiliki tugas yang sama namun tanggungjawabnya berbeda. Pertanggungjawaban itulah yang kemudian menentukan totalitas mereka dalam menjalankan tugas.

Pengajar adalah pekerja di bidang pendidikan yang bertugas mengajar peserta didik. Secara sumir tugasnya diartikan sebagai tugas memenuhi kaidah pengajaran sesuai dengan silabus dan Rencana Program Pengajaran (RPP). Sedangkan pendidik adalah profesi yang menuntut keterampilan, keahlian, sekaligus totalitas dalam mendidik. Dalam melaksanakan tugasnya, pendidik akan menggunakan keterampilannya agar bahan ajar diserap dengan baik oleh peserta didik. Ia mengevaluasi dengan membandingkan kondisi peserta didik sebelum dan sesudah dididik.

Sedangkan guru bukan profesi pendidik, tetapi sebuah bentuk pengabdian untuk mencerdaskan dan membekali peserta didik dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental. Motivasi mengajarnya pun berganti, bukan sekedar memenuhi tugas profesi atau memperoleh materi, melainkan bekerja sepenuh hati meningkatkan kualitas hidup anak didiknya. Sebagai bentuk pengabdian, maka tanggung jawabnya tidak hanya pada masyarakat tetapi juga kepada Tuhan.

Dari tiga kategori di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tenaga kependidikan di Indonesia masih didominasi oleh para pengajar. Meski memiliki status sosial sebagai guru, sejatinya mereka hanya mentranfer ilmu kepada anak didiknya. Maka tidak nampaklah perbedaan mereka dengan mentor lembaga pelatihan keterampilan atau bimbingan belajar.

Di sisi lain banyak ‘guru’ yang tidak berprofesi sebagai pendidik di berbagai pelosok tanah air. Mereka mengajar setulus hati di sekolah terpencil meski dengan gaji dan fasilitas amat terbatas. Bahkan ada seorang guru yang digaji dengan delapan puluh liter beras per tahun.

Kondisi tersebut menggambarkan telah terjadi dehumanisasi profesi guru, dari sebuah profesi penuh kehormatan, pengabdian, dan kesukarelaan menjadi sebuah pekerjaan berorientasi materi.

 

Peningkatan kinerja

Kebijakan sertifikasi guru sebagaimana diatur Permendiknas nomor 18 tahun 2007 sejatinya memang untuk meningkatkan profesionalitas mereka. Dengan begitu kualitas pembelajaran di kelas meningkat sehingga dapat menghasilkan lulusan berkualitas. Karena itulah selain mengajar guru diharap aktif meningkatkan keterampilan dan pengetahuannya melalui berbagai kegiatan workshop, seminar, lokakarya, atau pelatihan lain.

Koentjaraningrat (1976) menulis ada beberapa mentalitas khas bangsa Indonesia yang menjadi kendala pembangunan, antara lain, suka menerabas, percaya takhayaul, dan tidak disiplin. Guru sebagai komunitas yang hidup di tengah komunitas yang lebih besar  (masyarakat) tampaknya belum mampu lepas dari stereotip di atas. Perangai guru dalam melakoni peran pribadi maupun menjalankan tugasnya juga kerap tidak disiplin bahkan suka menerabas.

Faktanya, untuk memperoleh bobot pada portofolio sebagai salah satu syarat lolos sertifikasi, guru tidak belajar terlalu banyak. Kegiatan seminar, lokakarya, workshop atau pelatihan lain yang belakangan giat diikuti guru justru hanya diekbut untuk mengakali Permen No. 18 tahun 2007 yang mengatur sertifikasi melalui portofolio. Konskuensinya, meski guru rajin mengikuti pelatihan di berbagai bidang, kualitas pembelajaran yang dikembangkan tidak banyak berubah.

Reorientasi profesi guru menjadi sebuah pekerjaan ditandai dengan sedikitnya inovasi pendidikan dari para pekerja pendidikan. Bahkan hanya segelintir guru yang rutin menulis atau melakukan penelitian. Akibatnya pembelajaran mengalami kemampatan. Dari tahun ke tahun pembelajaran yang dilakukan guru nyaris tidak mengalami perubahan, baik media pembelajaran, metode, maupun strateginya.

Ironi ini dimulai saat proses seleksi menjadi guru. Mekanisme perekrutan guru amat longgar sehingga terkesan siapapun bisa menjadi guru tanpa standarisasi tertentu. Di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta, masih banyak guru yang diterima karena kebijakan sekolah. Kemampuan mendidik guru yang diterima melalui seleksi mandiri seperti ini perlu dipertanyakan mengingat proses seleksi kerap tidak memenuhi standar nasional profesi guru.

Profesi guru yang memiliki wadah organisasi setidaknya memiliki kualifikasi standar. Karena mendidik tidak hanya memerlukan seperangkat keterampilan tetapi juga pengabdian, persyaratan guru menjadi amat kompleks. Ini penting dilakukan karena guru menjadi soko guru keperhasilan pendidikan. Lahirnya guru profesional diharap mampu mendorong berbagai inovasi pembelajaran untuk menciptakan generasi yang cerdas, bukan guru yang hanya vokal menuntut tunjangan dan peningkatan kesejahteraan.

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending