Connect with us

Kolom

Membangun Kultur Sekolah Humanis

Published

on

SEKOLAH tak pernah sepi dari kritik. Namun, sekolah tetap menjadi pilihan pertama orang tua untuk menjamin pendidikan bagi anak-anaknya. Tidak hanya berharap anak-anaknya cerdas, mayoritas orang tua berharap sekolah bisa membekali anak-anak dengan nilai moral.

Sayangnya, ekspektasi tersebut kerap tidak mendapat jawaban sepadan. Alih-alih dapat menyediakan lingkungan belajar dengan proporsi intelektual dan moral seimbang, sekolah kerap melahirkan masalah personal dan sosial baru pada siswa. Tawuran hanya salah satu contoh paling nyata.

Untuk menjawab persoalan ini, kultur sekolah memagang peran yang besar. Setidaknya karena dua alasan. Pertama, dalam sehari siswa menghabiskan 5 hingga 8 jam di sekolah. Di sanalah anak memperoleh model perilaku yang akan diduplikasi atau dimodifikasi dalam kehidupannya.

Kedua, sekolah hadir dengan pretensi moralitas yang besar. Tidak sekadar menawarkan pilihan-pilihan nilai, sekolah berhak membuat justifikasi mana sesuatu yang buruk, baik, dan lebih baik. Kemungkinan nilai yang ditawarkan sekolah untuk diadopsi siswa lebih besar dari nilai di lingkungan lain.

Humanisme

Membangun kultur humanis sekolah seperti membangun rumah. Agar kokoh pada tataran praktis, diperlukan landasan ideologis yang matang. Pemahaman filosofis tentang humanisme kemudian dirumuskan dalam kerja personal dan institusional. Setiap pemangku kepentingan memainkan peran yang berbeda.

Humanisme di sekolah hendak menempatkan siswa sebagai manusia yang utuh. Secara personal siswa adalah bangunan fisik dan psikis yang kompleks, sedangkan secara sosial ia adalah bagian dari sistem kosmos.

Johnson (2008: 163). Misalnya, menyebut anak didik memiliki karakteristik yang unik. Konskuensinya, sekolah wajib menghargai beragam jenis kepribadian. Tindakan massal yang dilakukan di kelas dan sekolah harus menyediakan pemakluman bagi satu atau beberapa siswa yang belum atau tidak bisa menyesuakannya.

Untuk mencapai pemahaman terhadap keunikan siswa, guru memang dituntut bekerja lebih keras. Ia perlu bergaul secara personal, misalnya, untuk mengenali jenis kecerdasan mana yang siswa miliki.

Howard Gardner, pakar multiple intelegence, menyebut setidaknya ada tujuh jenis kercedasan, yakni naturalistik, intrapersonal, logis matematis, kinetis, linguistik, visual-sepasial, dan interpersonal. Diperlukan lebih dari sekadar tes formal supaya masing-masing kecerdasan terbaca dengan baik, setidaknya mendekati akurat.

Humanisme di sekolah menemui kendala lantaran berbenturan dengan kultur birokratis. Sebab, belakangan sekolah menjelma menjadi tangan panjang pemerintah. Sebagai institusi negara, ia bekerja secara terukur mendukung haluan politis penguasa. Akibatnya, prinspi pedagogik yang paling mendasar sekalipun terabaikan, terganti ritus formal-sermonial.

Agar benturan kedua paham tersebut dapat dihindari, perlu tafsir baru terhadap sekolah dan eksistensi sosiologisnya. Bagi siswa sekolah hanyalah salah satu dari sekian banyak cara mereka belajar mengenali dunianya. Sekolah mengkonversi nilai kehidupan dalam rangkaian aktivitas belajar. Sementara belajar adalah strategi manusia mempersiapkan kehidupan di masa depan yang lebih baik. Sasaran paling substansial sekolah adalah kesiapan pembelajar menghadapi masa depan. Sementara nilai ujian, prestasi akademik, dan hanyalah penanda birokratis

Dunia belajar adalah dunia yang sangat dinamis. Anak terus menerus berkembang, mengalamai gejolak psikologis tiada henti. Karena itu, sekolah dituntut bertindak fleksibel, keluar dari pekem birokratis yang ketat. Guru perlu memandang siswa sebagai manusia muda, memiliki karakter psikologis dan perspektif yang khas. Karena itu persoalan yang muncul pada mereka mestinya dipandang dengan empati pedagogis: asah, asih, dan asuh.

Contoh kecil pernah dilakukan Ki Hajar Dewantara di Perguruan Taman Siswa yang pernah dipimpinnya . Ia menggunakan analogi keluarga untuk membangun kedekatan guru dan siswa. Sapaan “Ki” dan “Nyi” bagi para guru misalnya memunculkan kesan akrab dan bersahaja. Siswa disapa “Nak” bukan “peserta didik” seperti yang lebih populer saat ini.

Guru-Orang Tua

Meski secara konspetual sekolah humanis tidak mengandung kecacatan, sekolah kerap menemui kesulitan pada tataran praktis. Perjuangan mengenali potensi dan karakteristis siswa memerlukan waktu, energi, dan (mungkin) biaya ekstra. Terlebih, mayoritas sekolah di Indonesia masih menggunakan sistem kelas yang massal.

Untuk mengatasi itu, diperlukan model komunikasi guru-orang tua yang lebih intensif. Tidak terbatas pada pertemuan formal, komunikasi guru dan siswa dilakukan sewaktu-waktu.

Orang tua berperan menyuplai informasi tentang kehidupan anak di sekolah supaya guru dapat mengambil tindakan secara tepat. Sebaliknya, guru menyampaikan laporan perkembangan belajar secara deskriptif agar orang tua dapat mengambil tindakan yang tepat, baik di rumah maupun sekolah.

Rahmat Petuguran, penulis Melawan Kuasa Perut (2014)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending