Connect with us

Media mendapat sanjungan muluk-muluk sebagai “pilar keempat demokrasi”. Sanjungan itu diberikan karena media jadi aktor penting tumbuhnya komunitas berbangsa yang demokratis.

Sebab, bangsa yang demokratis mensyaratkan publik yang rasional. Dan media, dalam kondisi demikian, diharapkan jadi institusi yang mencerdaskan publik.

Melalui media, publik diharapkan mengetahui hak dan kewajibannya. Melalui media, publik dapat meartikulasikan kehendaknya. Melalui media pula, publik diharapkan bisa menentukan pilihan politik-ekonomi-kulturalnya secara rasional.

Tapi harapan itu terasa semakin jauh lantaran media justru jadi lembaga ekonomi dan politik. Media tidak mengabdi kepada publik, sebagaimana diwejangkan Bill Kovach, tetapi justru melayani kepentingan bisnis dan politik pemiliknya.

Kondisi ini jadi makin parah karena di Indonesia terbentuk perusahaan media yang monopolistic. Keseragaman kepemilikan diikuti dengan keseragaman dalam isi.

Media kemudian mengartikulasikan agenda publik berdasarkan agenda bisnis dan politiknya. Agenda publik bahkan seringkali hanya menjadi tameng, agar agenda bisnis dan politiknya tampak agung dan berwibawa.

Di situlah, Iswandi Syahputra, menunjukkan bahwa media justru merampas demokrasi kita. “Publik” bagi media kerap kali disederhanakan sebagai “pemirsa” bagi tayangannya.

Jadi?

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending