Connect with us

Naila Nur Atqiya
Opini

Membaca adalah jembatan ilmu, begitulah kata bijaknya. Jembatan dibuat agar menjadi jalan masuknya udara dan cahaya matahari ke dalam rumah. Dari jembatan, kita bisa melihat keadaan di luar rumah, bahkan tak jarang dijadikan sebagai tempat untuk menemukan inspirasi.

Begitu pula dengan membaca, ia menjadi sirkulasi masuknya arus informasi, ide akan menemui kebuntuan bila tidak mendapatkan pencerahan dalam menemukan inspirasi. Untuk membebaskan pikiran dari belenggu kebodohan, kuncinya adalah belajar. Belajar tidak harus monoton tatap muka antara guru dan murid, sebab belajar tidak se’kaku’ itu. Belajar bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti membaca.

Membaca akan mengantarkan kita kepada gerbang kecerdasan intelektual yang akan menuntun pada kebijaksanaan. Membaca akan membawa pikiran dan imajinasi kita melintasi batas ruang dan waktu.

Dikutip dari Kompas.com (26/03/18), Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Puan Maharani mengatakan bahwa rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. Jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku.

Banyak faktor yang menyebabkan lemahnya kebiasaan membaca buku, seperti lingkungan belajar yang tidak mendukung, lebih banyak menonton TV, asyik melihat telepon seluler dan media sosial. Yang lebih parah lagi lebih sering menggunakan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat bagi masa depannya.

Somsong Sangkaeo mengatakan kebiasaan membaca di semua Negara ASEAN memang bukan reading society. Melainkan chatting society mereka lebih senang mendengar dan berbicara ketimbang membaca. Kalaupun membaca buku, mereka akan berteriak dengan keras, kompas.com (15/04/18).

Dilansir dari florespost.co (24/9/17), bahwa dibuktikan dengan penelitian dari Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, yang menempatkan Indonesia pada peringkat 60 dari 61 negara dalam hal minat baca anak Milenial. Padahal, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa dalam segi penilaian infrastruktur pendukung minat baca. Hal ini menandakan, penyebab utama rendahnya minat baca masyarakat Indonesia terutama anak zaman milenial sekarang memang ditengarai oleh kemauan mereka sendiri.

Di samping itu, terdapat pula problematika pola pikir anak milenial yang membuat mereka enggan membaca. Pola pikir membaca hanya untuk sekadar hobi masih sering terdengar di telinga kita. Pandangan ini menjadi dalih seseorang tidak mau membaca hanya karena bukan termasuk salah satu hobi atau kegemarannya. Padahal, tak dipungkiri bahwa membaca adalah kunci dari gudang ilmu yang sudah selayaknya menjadi syarat bagi kemajuan manusia kedepannya.

Padahal kebiasaan membaca telah terbukti menuntun banyak orang menuju jalan kesuksesan, misalnya saja Bill Gates sang pendiri Microsoft. Disebutkan bahwa Gates terbiasa menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membaca. Bahkan, Bill Gates sendiri mengaku dapat membaca lebih dari 50 buku setiap tahunnya. Berkat kebiasaannya ini, Ia dapat mengubah dunia melalui pemikiran-pemikirannya yang visioner, florespost.co (5/8/2017).

Membudayakan membaca sebagai kebutuhan. Diawali setelah melakukkan sholat subuh bagi yang beragama islam dan sebelum memulai aktivitas harian.

Sekitar 20 hingga 30 menit setiap harinya sebagai pembuka di pagi hari, kemudian bisa melanjutkannya pada siang hari atau pada waktu luang lainnya. Jikapun tidak sempat pada waktu siangnya, setidaknya sudah membaca pada pagi harinnya. Ini merupakan hal sederhana yang bisa dilakukan secara rutin untuk meningkatkan minat baca kita.

Jika kebiasan ini terus digalakkan menjadi kebudayaan bahkan kebutuhan. Bukan tidak mungkin Indonesia menjadi negara maju dengan sumber daya manusia yang berkualitas seperti halnya Negara Jepang.

Karena untuk memulainya hanya soal pembiasaan untuk tetap istiqomah. Kita perlu membuka jembatan ilmu dengan membaca untuk bisa menyebrangi lautan yang luas. Pikiran juga butuh diberikan asupan bacaan agar tidak terjebak dalam kebodohan. Jangan biarkan pikiran kelaparan, beri ia makan dengan membaca, dan beri ia minum dengan berdiskusi.

[Naila Nur Atqiya]

Opini ini merupakan hasil latihan mahasiswa mata kuliah Jurnalistik dari jurusan kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP UNNES.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending