Connect with us
Bagian paling asyik (sekaligus nyebelin) saat belajar teori-teori postrukural adalah menemukan konsep yang ambyar definisinya.
 
Beda dengan teori-teori struktural yang batas-batasnya jelas, postrukuralisme menghindari kekakuan batas konseptual. Sikap itu, mungkin karena para teoretikus bersikap hati-hati: ogah melakukan penyederhanaan (simplifikasi) yang jadi kelemahan utama kaum struktural.
 
Nah, keambayaran konsep itulah yang malam ini saya temukan saat coba menelaah lagi konsep habitus.
 
Itu salah satu konsep kunci untuk memahami teori produksi kulturalnya Pierre Bourdieu.
 
Dulu, saat dibimbing langsung oleh Alm. Prof Agus Maladi, saya merasa punya pemahaman cukup tentang konsep itu.
 
Tapi berselang 4 tahun, pemahaman saya terhadapnya pudar, berkembang, atau mengalami rekontekstualisasi.
 
Lalu, sebenarnya apa itu habitus dan fungsinya dalam analisis persoalan kultural san sosial?
 
Bagi saya, amat sulit membuat definisi yang pasti soal konsep itu.
 
Tapi dengan berbagai risiki simplifikasi: saya akan coba menuliskan ulang apa yang sudah saya baca.
 
Habitus sebagai konsep sosial beda dengan habit “kebiasaan”. Tapi kalau mau dilayak secara historis-etimologis, akan ketemu juga kesamaannya.
 
Habitus, bagi saya, adalah sebuah struktur mental individu yang relatif stabil yang distrukturkan atau dibentuk oleh struktur lain yang lebih dominan melalui proses konsumsi budaya yang panjang.
 
Struktur yang distrukturkan itu kemudian menstrukturkan aneka pilihan praktis yang dipilih individu ketika menghadapi situasi konkret dalam arena tertentu.
 
Dari definisi yang njlimet itu, ada empat ciri utama habitus.
 
Pertama, ia bersifat relatif stabil atau tetap karena dibentuk oleh proses kultural sejak individu lahir, namun tidak tetap.
 
Kedua, habitus bisa dialihpindahkan dalam berbagai praktik di berbagai arena yang beragam.
 
Ketiga, habitus adalah struktur yang distrukturkan, karena keberadannnya dibentuk oleh kondisi objektif di luar manusia.
 
Keempat, habitus adalah struktur yang menstruktural, dalam artian ia membentuk praktik-praktik sosial yang sesuai dengan situasi khusus tertentu.
 
Dari empat ciri habitus itu, mari kita coba terapkan dalam analisis sosial.
 
Sifat realtif stabil habitus bisa dilihat dari kegagapan budaya yang diamali oleh migran.
 
Migran di sini tidak berarti perpindahan fisikal, tetapi perpindahan kelas sosial, pergeseran peradaban, atau perubahan rezim budaya.
 
Orang-orang yang lahir dan tumbuh pada era prainternet telah membentuk habitusnya tanpa melibatkan internet sebagai unsur penting.
 
Habitus prainternet inilah yang membuat orang-orang tua gagap belajar memakai gadget baru berbasis internet.
 
Bagi anak-anak digital native, memakai WhatsApp, Google, Maps, atau permainan daring seperti Mobile Legend itu gampang.
 
Perlu beberapa tahun agar orang tua supaya memiliki kelincahan demikian. Waktu yang lama itu diperlukan karena orang tua harus mengatur ulang struktur mentalnya. Ya, mengubah habitusnya itu.
 
Sifat kedua: bisa dialihpindahkan di berbagai arena yang berbeda.
 
Karena habitus melekat pada diri individu, ia menyertai individu ketika individu itu melakukan praktik kultural di berbagai ruang.
 
Habitus akan terepresentasi ketika individu hadir sebagai subjek di ruang ekonomi, sosial, politik, atau keagamaan. Meskipun arena itu memiliki keteraturan yang otonom antara satu dengan lainnya, habitus individu akan tetap hadir.
 
Sifat ketiga, habitus adalah struktur yang distrukturkan.
 
Saya menafsir, sifat ini berkaitan dengan asal muasal habitus yang dibentuk oleh kondisi objektif.
 
Di sini Bourdieu mengakomodasi ide-ide determinisme tanpa harus sepenuhnya menggeser unsur-unsur subjektif manusia.
 
Karena habitus distrukturkan oleh kondisi objektif lingkungan, orang-orang dari kelas sosial tertentu cenderung memiliki habitus yang mirip.
 
Misalnya, saya punya sikap yang sama dengan sebagian besar kawan-kawan di desa dalam menyukai tanaman. Pada saat yang sama, saya punya apreisasi yang sama terhadap ilmu pengetahuan seperti kebanyakan dosen.
 
Kalau saja saya hidup di Ukraina, pandangan saya terhadap sosialisme mungkin saja mirip dengan kebanyakan orang di negara itu.
 
Sifat keempat: habitus adalah struktur yang menstrukturkan.
 
Di sini, habitus berlaku sebagai entitas yang superior karena membentuk pola-pola perilaku ketika subjek menghadapi situasi spesifik.
 
Pilihan saya untuk minum es teh, pakai celana kolor di rumah, atau menyukai perempuan dengan aksen wajah kearab-araban, bukanlah tindakan yang acak.
 
Pilihan-pilihan yang kelihatannya tak berpola itu sebenarnya dibentuk sebuah keteraturan tertentu.
 
Pola-pola itu tidak sepenuhnya disebabkan oleh kepatuhan sadar terhadap aturan-aturan dalam arena itu (logic of games), tapi juga dibentuk oleh keteraturan mentalistik yang dipengaruhi oleh sense of practice.
 
Itulah gambaran say mengenai habitus. Tentu saja bisa meleset dari gagasan aslinya.
 
Saya gunakan catatan ini untuk mengendapkan hasil bacaan saja. Toh saya yakin, di Facebook tidak akan ada yang baca catatan ini. Apa lagi sampai kelar.
 
Salam,
Rahmat Petuguran
Dosen Bahasa Indnesia Universitas Negeri Semarang

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending