Connect with us

Ada begitu banyak basa-basi di sekitar kita. Tapi kita tak bisa benar-benar menghindarinya karena basa-basi adalah kebutuhan dalam komunikasi.

Linda Thomas dan Shan Wearing (2003) menyebut basa-basi sebagai social lubricant. Keduanya mengandaikan bahwa pembicaraan seperti rotasi roda as dalam pusat laher. Supaya as berputar kencang, diperlukan pelumas supaya lancar dan mengalir.

Saya sepakat dengan metafora itu. Basa-basing memang punya banyak fungsi membuat komunikasi jadi lancar dan mengalir.

Tapi persoalannya: basa-basi juga seringkali berakibat buruk. Jika tak dikelola baik, dia bisa membuat obrolan macet, bahkan melukai pihak lain. Kalau kita pakai basa-basi yang terlalu kuno, obrolan juga tersendat karena garing: krik krik.

Terus gimana cara memilih basa-basi yang bagus dong? Yang nggak basa-basi amat gitu.

Saya menyarankan lima hal. Kelima hal ini mungkintak benar-benar baru. Tapi kalau diimprovisasi dalam konteks yang tepat, mungkin bisa menghindarkan kita pada basa-basi yang kelewat basi.

Pertama, kata paling ajaib bagi seseorang adalah namanya.

Ya, setidaknya begitu menurut Maxwell. Buktinya, seorang anak berusia 5 tahun mungkin telah menguasai sekitar 1.000 kata. Namun cuma satu kata yang bisa membuatnya segera menoleh jika disebutkan: namanya.

Nama membuat perbincangan terasa personal dan mungkin intim.

Tapi itu pun tak gampang karena penyebutan nama juga perlu strategsi sendiri. Penyebutan nama resmi akan terasa berjarak. Penyebutan nama kecil (jawa: parab) membuat sapaan jadi dekat. Tapi juga harus tahu batas, supaya kesan akrab tak berubah jadi kurang ajar.

Menyebut nama pun ada strateginya. Ini perlu disesuaikan dengan karakter orang bersangkutan.

Ada orang-orang yang merasa nyaman dipanggil dengan sapaan gelar akademik. Misalnya, saya menyapa setiap profesor dengan Prof (diikuti nama). Ada yang suka dipanggil dengan singkatan. Dosen FISIP Undip Triyono Lukmantoro misalnya, tampak akrab disapa Mas TL. Adapun Mantan Rektor Unnes Prof Arie Trie Soegito ternyata tampak lebih nyaman disapa Pak AT.

Kedua, ada perbedaan gaya antara basa-basi laki-laki dan perempuan.

Ini bukan simpulan yang saya ambil semata-mata berdasarkan uraian jenaka John Gray dalam Men Are from Mars, Women Are from Venus. Perbedaan laki-laki dan perempuan itu nyata. Perbedaan yang awalnya bersifat biologis ternyata membawa turunan ke hal-hal sosiologis, termasuk dalam berbahasa.

Kebanyakan perempuan konon selalu suka diajak bicara tentang keluarganya. Kalau keluarganya harmonis lho, ya.

Saking sukanya, saat ada orang menanyakan berapa umur anaknya, beberapa perempuan akan jawab lengkap dengan ukuran popok, durasi tidurnya, merk bedak yang digunakan, sampai proses persalinannya.

Basa-basi semacam itu cenderung tak laki bagi laki-laki. Meski dia seorang laki-laki baik hati dan setia, pembicaraan tentang keluarga biasanya bukan umpan yang bagus untuk memulai pembicaraan.

Sebagai ganti, laki-laki cenderung suka berbasa-basi tentang hobinya. Akik lah. Liverpool lah. Mobil lah. Sepeda tua lah. Juga aktivitas profesionalnya.

Laki-laki, konon, adalah makhluk paling suka berorientasi pada kekuasaan. Hobi digunakan olehnya (kami?) untuk menunjukkan kelas dan kekuasaannya. Terutama di kalangan priayi.

Ketiga, lakukan deduksi dan mintalah konfirmasi.

Deduksi, sebagaimana dilakukan Sherlock Holmes, adalah teknik pengambilan simpulan dari fakta-fakta terpisah menjadi fakta yang lebih utuh. Kemampuan semacam ini dimiliki setiap orang, meski kecanggihannya bermacam-macam.

Ketika Anda bertemu teman lama, Anda mungkin akan lihat dia menggunakan kaos eksklusif yang hanya diproduksi terbatas oleh sebuah distro di Surabaya. Dari bentuk lipatan dan warnanya, umur kaos itu tak lebih dari dua minggu. Dari fakta-fakta kecil itu, anda bisa lakukan konfirmasi “Baru traveling dari Surabaya lagi?”

Konfirmasi membuat Anda tampak lebih rendah hati. Adapun simpulan– sebagaimana dilakukan Holmes – membuatnya tampak congkak dan sok tahu. Konfirmasi juga membuka pembicaraan lebih luas pada topik lain.

Keempat, hindari pertanyaan klise “Kelas berapa? kapan lulus? kerja di mana?” pada awal pembicaraan.

Percayalah, sebelum Anda menanyakan hal itu, sudah ada beberapa orang yang menanyakannya pada mitra bicara Anda. Itu betul-betul basi sebasi-basinya.

Selain membuat Anda tampak tak kreatif – kata teman saya Lilis K Ismail – pertanyaan itu berpotensi menyinggung perasaan. “Kelas berapa?” adalah pertanyaan sensitif bagi siswa yang tinggal kelas. “Kapan lulus?” bisa bikin mual mahasiswa level 14. Dan “kerja di mana?” akan membuat blogger, fotografer freelance, dan penulis lepas kesulitan menjawab dengan singkat. Apalagi pengangguran beneran!

Kelima, belajar menjadi pendengar yang baik.

Kalimat tanya yang baik berkisar antara 4 sampai 12 kata. Jika pertanyaan itu sudah tuntas, sebaiknya kita berhenti bicara dan memfokuskan perhatian ke arah wajah mitra bicara. Biarkan dia menjawab dengan durasi yang cukup.

Ada beberapa orang yang punya kecenderungan dominan saat ngobrol. Orang-orang seperti ini bersikap seolah-olah pengalaman dan pendapatnya jauh lebih berharga, unik, dan original dibanding orang lain.

Bicara terlalu banyak tentang pengalaman dan pandangan sendiri menunjukkan kurangnya rasa hormat. Itu buruk pada perjumpaan-perjumpaan awal. Seperti siarankan Paul Grice, patuhilah prinsip kuantitas: berkontribusilah dalam pembicaraan secukupnya saja.

Ada pula yang orang yang selalu menarik topik pembicaraan pada kasus yang dialaminya. Misalnya “O, gitu? Aku juga bla bla blab la bla…”

Kawan bicara yang baik, saya kira, seperti kawan bermain sepak bola. Dia tahu posisinya, tahu kapan harus menggiring bola, tahu kapan harus mengumpan, juga tahu kapan melesakkan bola ke gawang lawan. Itu membuat permainan, – eh, obrolan – jadi layak dinikmati bersama.

Rahmat Petuguran
Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang
Ikuti Youtube saya di Rahmat Petuguran

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending