Connect with us

Tokoh

Lebih Dekat dengan Prof Retmono, Mantan Rektor IKIP Semarang yang Dikenal Ramah

Published

on

Mantan Rektor IKIP Semarang Prof Retmono sudah lama pensiun sebagai dosen.  Tapi sifat pria bertubuh tinggi ini masih seperti ketika aktif mengajar: ramah, santun, dan – tentu saja – intelektual. Di hadapan mahasiswanya, tiga kesan itulah yang paling banyak dikenang.

Beberapa alumni IKIP Semarang merasakan betul keramahan Prof Retmono. Ia tak segan menyapa, mudah menghafal nama, dan selalu bicara dengan halus. Seorang alumni IKIP bahkan pernah mengaku pernah mendapat tumpangan mobil dari Prof Retmono saat dia menunggu angkot di tepi jalan mengenakan jas almamater Unnes.

PORTALSEMARANG.COM menyajikan kisah hidup Prof Retmono sejak ia masih bocah di Malang, mengalami masa sulit saat masa penjajahan, kuliah di Amerika, hingga akhirnya menjadi Rektor IKIP Semarang. Kisah hidupnya kami sajikan dalam beberapa bagian tulisan.

***

RAMPOK-rampok itu datang tiba-tiba. Malam beranjak dan hari sudah gelap. Dari balik rimbunan pepohonan mereka muncul dan langsung mengepung rumah. Tidak kurang dari seratus jumlah mereka. Tanpa ampun, mereka mengambil semua barang. Tidak hanya uang dan perhiasan, mereka juga menjarah padi di lumbung dan ternak di kandang.

Usia Retmono masih belasan tahun saat itu. Bersama orang tua dan keempat adiknya ia sedang dalam perjalanan dari Madiun menuju Salatiga.Sebenarnya mereka sudah pernah tinggal di rumah di desa Tambakmas, di sebelah Barat Kecamatan Uteran tersebut sebelumnya.

Dalam rencana Bapak Retono , ayah Prof. Retmono mereka akan kembali ke Salatiga di mana ada rumah keluarga besar Prawirorekso.. Mereka mengungsi sejak Juli 1947 karena karena Malang sudah diduduki tentara Belanda dan bapak Retono, yang bekerja di Dinas Pekerjaan Umum (DPU) tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial.

Perjalanan ke Salatiga rencananya akan ditempuh dengan jalan kaki. Mereka memutuskan untuk kembali ke Tambak Mas setelah sampai di Lembeyan karena tentara Belandapun sudah sampai di sana. Suatu malam mereka beristirahat di rumah di Tambakmas yang dahulu sudah pernah mereka singgahi.. Rencananya, keesokan harinya mereka akan melanjutkan perjalanan ke Salatiga. . Tapi mereka tak pernah sampai ke Jogja. Para rampok membuat perjalanan mereka gagal.

Dikepung ratusan orang, Retmono sekeluarga tak bisa berbuat apa-apa.Bapak Retono yang coba bicara untuk menenangkan istrinya justru kena pukul. Punggung golok mendarat di bagian belakang kepalanya. Darah keluar dan ternyata kemudian mengalami gegar otak dan harus dibawa ke rumah sakit.. Baru di pagi hari ia dibawa ke rumah sakit di Madiun untuk diobati.

Retmono menyaksikan peristiwa itu dengan kalut. Usianya baru 13 tahun Akibat peristiwa itu, keluarga Retmono tak punya perbekalan lagi. Jangankan uang, baju ganti pun raib. Retmono, misalnya, hanya punya satu kaos singlet dan celana pendek. Kaos singlet dan celana itu terpaksa ia pakai 3 hari tanpa ganti sebelum akhirnya ada seseroang yang memberinya celana.

Situasi politik pascakemerdekaan memang tak menentu. Di Jakarta Seokarno-Hatta baru memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Tapi, proklamasi kemerdekaan tak diakui Belanda. Tahun 1947, dua tahun setelah proklamsi, Belanda justru mengirim kembali tentara-tentaranya. Khalayak menyebut come back tentara Belanda itu sebagai agresi militer.

Kondisi ini berpengaruh pada keluarga Retmono. Ayahnya adalah pegawai di Dinas Pekerjaan Umum. Meski jadi pegawai pemerintah kolonial, sejak lama ia merasa tak nyaman. Ia, sebagaimana bumiputra lainnya, mengidamkan kemerdekaan Indonesia. Karena itulah, ketika tahun 1947 tentara Belanda datang lagi dan coba menghimpun kekuatan, Retono menolak bekerja sama.

Saat itu para pegawai pemerintahan terbelah jadi dua. Kelompok “co” adalah yang memilih bekerja kembali. Co berarti “cooperatief”. Kelompok “non” adalah yang jengah dengan Belanda. Non berarti “noncooperatief”. Mereka menolak bekerja kembali. Retono termasuk kelompok kedua. Ia memilih mengungsi.

Pilihan ideologis Retono berkonsekuensi panjang. Oleh tentara Belanda ia diburu. Karena itulah Retono akhirnya memilih hidup berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Selama 1947 hingga 1949, lebih dari 10 kali mereka pindah. Dari Malang ke Wagir, lalu Blitar, Sumberpucung, Karangkates, Madiun,Uteran, Ngebel Tambakmas, Lembeyan,ambakmas, M adiun , Surabaya.

“Bapak tidak mau hidup di daerah yang diduduki Belanda,” kenang Retmono.

Retono seorang fanatik nasionalis. Ia tidak senang kepada Belanda, begitu pun kepada Jepang. Saat masih muda Retono pernah tinggal di Semarang. Ia sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Semarang, sekolah Belanda yang kini jadi SMP 2 Semarang dan dikenal sebagai sekolah “MILO”. Setiap kali tokoh-tokoh pergerakan seperti Soekarno, Alimin, dan Muso datang ke Semarang dan berceramah, Retono hampir selalu datang. Bahkan, saat ia sedang sakit ia minta teman-temannya menggotongnya.

Ketidaksenangan Retono kerap diungkapkan dengan ledekan. Pada masa pendudukan Jepang, misalnya, seluruh pegawai pemerintahan wajib upacara setiap hari. Menghadap ke timur laut, Tokyo, mereka diminta memberi penghormatan pada Kaisar Jepang. Sambil menundukan badan mereka dipandu beteriak “Banzai… Banzai… Banzai…”. Oleh Retono dan teman-teman seideologinya penghormatan itu diplesetkan jadi “Bangsa….t, bangsaaa…t, bangsaaa…t.”

Ledekan serupa juga dilancarkan kepada Belanda. Tahun 1941, dalam kisruh Perang Dunia II Belanda kalah perang dan negaranya diduduki Jerman. Kaum Nazi yang di bawah pimpinan Hitler menjadi begitu perkasa berhasil membuat Belanda bertekuk lutut.

Tentara Jerman merusak bendungan-bendungan di negeri kincir angin. Orang-orang Belanda di Indonesia membuat lagu penyemangat: Eens komt den dag dat Neerland zal herrijzen (Pada suatu hari nanti negeri Belanda akan bangkit kembali.) Oleh Retono, lagu itu diplesetkan menjadi: Eens komt den dag dat Neerland zal verdwijnen (Pada suatu hari nanti negeri Belanda akan musnah dari muka bumi).

Ketika Retmono menirukan lagu itu di rumahnya, ayahnya menegur.”Hush, aja nyanyi lagi kuwi neng njobo. Mengko aku sing ditangkep pulisi Londo” (Hush, jangan menyanyikan lagu itu di luar rumah. Nanti Bapakmu yang ditangkap polisi Belanda)

Sabtu 18 Agustus 1945 Retmono sedang liburan ke rumah budhenya di Probolinggo. Entah dengan kendaraan apa, ayahnya tiba-tiba datang dari Malang. Ia bermaksud mengajak Retmono pulang.“Not, ayo mulih. Indonesia wis merdeka…” Kalimat itu masih terus Retmono ingat. Ayahnya mengucapkan kalimat itu dengan berbinar. Tampak amat bahagia.

Tidak hanya nasionalis, Retmono mengingat ayahnya sebagi pribadi yang jujur. Lempeng. Pernah suatu ketika, setelah penyerahan kekuasaan, Retono kembali bertugas di Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Provinsi Jawa Timur. Ia menjadi kepala bagian kepegawaian, jabatan yang dalam struktur kedinasan sangat strategis. Salah satu tugasnya adalah merekomendasikan kenaikan pangkat di lingkungan kerjanya.

Seorang pegawai DPU dari Lamongan datang ke rumah membawa sekarung beras.

“Ini hanya ucapan terima kasih,” kata tamu itu. Rupanya ia baru saja naik pangkat.

Alih-alih bungah, Retono justru minta tamu membawa pulang buah tangannya.

“Ndak apa-apa. Wong ini cuma ucapan terima kasih kok.” Tamu itu sedikit memaksa.

Tapi, prinsip Retono telanjur mapan. Ia justru meminta Retmono mengangkut beras itu untuk dikembalikan. Retmono mengangkutnya dengan mobil dinas ke Lamongan. Beras dikembalikan. Sepanjang jalan mereka “ngrasani” bapak.

“Yo ngono kuwi Mas Retono, ora gelem nompo yen diaturi barang-barang,opo maneh dhuwit, padahal kuwi rak tanda terima kasih kita.“

Di luar itu, Retmono juga pernah merasakan perlakuan kasar dari tentara Belanda ketika Madiun diduduki Belanda waktu Agresi Militer Kedua. Saat itu ia masih kelas dua di SMP 2 Madiun. Saat pelajaran bahasa Jawa Kuna, pelajaran yang kurang ia sukai, ia dan beberapa rekannya bolos dan jalan-jalan di Pasar Besar Kota Madiun. Di sana sudah ada truk militer Belanda tiba-tiba datang. Mereka sedang memburu para pejuang. Retmono dan rekan-rekannya turut diciduk.

“Ayo, naik semuanya!” bentak salah satu tentara Belanda.

“Lho, kami ini anak-anak sekolah,” jawab Retmono.

“Tidak peduli. Cepat naik.”

Tentara itu tak mau kompromi.

Retmono dan rekan-rekannya di bawa ke penjara. Di sana ia digeledah dan diintrogasi.

Beruntung, saat digeledah tentara menemukan catatan pada saku Retmono. Catatan itu berisi kutipan lagu-lagu berbahasa Inggris yang ia sukai, seperti Home on the Range, Five Minutes More dan lain-lainnya.

“Hey, apa ini?” kata tentara Belanda.

“Catatan lagu.”

“Bahasa apa ini?”

“Bahasa Inggris.”

“Bisa nyanyi?”

“Bisa. Sedikit.”

Mendengar Retmono menyanyi dalam bahasa Inggris yang lumayan baik, tentara tersebut menyuruhnya pulang. Tentara itu bilang, “Lain kali kamu orang jangan bolos sekolah lagi, ya?”

“Sudah, kamu pulang. Jangan keluyuran lagi ya. Kalau sekolah ya sekolah saja.”

Retmono pulang. Adapun rekan-rekannya ditahan hingga 5 hari bersama warga lain yang dicurigai Belanda sebagai pejuang.

Suatu hari, pada masa pengungsian di Madiun, Retmono sekeluarga tinggal di sebuah rumah warga. Rumah itu terletak di pinggir jalan besar namun terpisah oleh sungai. Melihat patroli tentara Belanda ia segera sembunyi. Dari rumah, melalui celah dinding gedhek ia mengamati tentara Belanda melintas.

“Wah, nek tentara melihat ke sini. Blaik.” Ia membatin.

Sadar dengan kondisi itu membahayakan, Retmono cari akal. Ia kemudian mencopot jembatan bambu yang menghubungkan jalan besar dengan rumah yang ia tinggali.

Lanjut ke bagian 2: Cemerlang Akademik

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending