Connect with us

Dalam studi sosiolingustik, gender menjadi salah satu variable sosial yang dianggap penting. Ini karena gender dianggap sebagai factor sosial yang sangat mempengaruhi performa bahasa seseorang. Ini bukan sekadar asumsi, tetapi realitas yang sudah dibuktikan melalui berbagai penelitian.

Nah, karena itulah wajar kalua ada pertanyaan, emang apa sih pengaruh gender terhadap bahasa? Atau lebih lugasnya, bagaimana perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan? Bener ga sih perempuan lebih cerewet dari laki-laki dan laki-laki lebih banyak bohong daripada perempuan?

Simak artikel ini dalam format vide di channel Youtube Rahmat Petuguran:

Sebelum kita jawab pertanyaan-pertanyaan itu, mari kita sepakati dulu bahwa yang dimaksud gender di sini berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin adalah kategori biologis, ya, sedangkan gender adalah kategori sosial. Nah, karena merupakan kategori sosial, peran gender adalah  konstruksi sosial.

Menurut peneliti bahasa dari University if Texas Rober L Young, gender didefinisikan oleh serangkaian norma di masyarakat. Konsep kelaki-lakian dan keperempuanan disepakati, disosialisasikan, kemudian dikukuhkan melalui serangakan pendisiplinan.

Proses pendisiplinan bisa terjadi di ruang sosial yang amat sempit yaitu keluarga, tapi juga berlangsung di ruang sosial yang lebih besar seperti masyarakat dan negara. Agama juga menjadi arena sosial yang punya peran dalam mendefinisikan gender.

Proses pendisiplinan itulah yang membuat anak laki-laki dan perempuan, meskipun lahir dari keluarga sama, hidup di masyarakat yang sama, akan membentuk identitas gender yang berbeda. Perbedaan itu terutama dapat diamati pada rangkaian perilakunya, termasuk perilaku berbahasa.

Di sebagian besar kebudayaan, laki -laki didisiplinkan untuk berbicara dengan lugas. Adapun perempuan didisiplinkan untuk berbahasa secara lembut.

Pendisiplinan itu lazimnya berkaitan dengan pembagian peran sosial di masyarakat bersangkutan. Anak-anak yang sedang belajar mengenali lingkungannya cenderung mengikuti aturan yang sudah ada. Itu wajar karena pelanggaran terhadap aturan biasanya membawa konskuensi sosial yang kurang menyenangkan.

Pada masyarakat tribal misalnya, laki-laki punya tanggung jawab dalam menjamin keamanan kelompok. Mereka harus siap berburu, meramu, dan kalua perlu berperang. Karena itu, mereka didisiplinkan agar bisa berbicara garang sebagai bagian dari mekanisme pertahanan ketika menghadapi lawan.

Perempuan cenderung punya peran lebh besar dalam melindungi anak-anak. Mereka cenderung didisiplinkan pada peran domestic. Karena itulah, mereka juga didisplinkan agar berbahasa dengan lembut karena berhadapan dengan bayi dan anak-anak.

Warisan masa purba inilah yang harus diakui sampai sekarang masih banyak kita temui dalam sistem sosial masyarakat modern. Meskipun dalam banyak hal pembagian semacam itu juga terus diubah dan dievaluasi.

Nah, sejauh penelitian yang saya baca, tidak ada hubungan universal yang tetap antara gender dan bahasa. Setiap masyarakat memiliki keteraturan yang berbeda sehingga anggota-anggotanya melahirkan perilaku berbahasa yang berbeda.  Oleh karena itu, ketika kita ingin mempelajari perbedaan bahasa laki-laki, konteks sosial budayanya harus diidentifikasi lebih dulu. Karena, factor sosial budaya kerap punya pengaruh lebih dominan daripada gender.

Kalau begitu, apakah tidak ada pola pasti yang menghubungkan gender dan bahasa?

Menurut saya, tidak ada pola yang universal. Namun ketika diteliti dalam lingkup lebih kecil, pola-pola itu bisa ditemukan.

Penelitian di Taiwan misalnya menunjukkan bahwa perempuan punya kosakata tentang warna yang lebih banyak dan bervairasi, terutama warna-warna sekunder dan tertier. Perempuan cenderung mampu menggambarkan gradasi warna secara tepat, adapun laki-laki cenderung kesulitan.

Kecnederungan ini masuk akal. Riset yang saya baca menunjukkan bahwa laki-laki  lebih punya peluang buta warna karena gen yang bertanggung jawab terhadap buta warna adalah kromosom X.

Selanjutnya, ada pola yang menunjukkan perempuan lebih sering menggunakan kalimat tidak langsung ketika membantah atau memerintah. Sifat bahasa demikian bisa dihubungkan dengan kecenderungan perempuan untuk berkoalisi, berbeda dengan laki-laki yang cenderung berkompetisi. Karena membutuhkan superioritas, laki-laki cenderung vulgar menyatakan penolakan atau pertentangan.

Lalu, benarkah perempuan cenderung lebih cerewet dari laki-laki? Riset sederhana yang pernah saya lakukan menunjukkan rata-rata panjang kalimat yang ditulis perempuan lebih Panjang. Namun penelitian lain menunjukkan, dalam penggunaan lisan, laki-laki dan perempuan sama-sama menggunakans ekitar 16 ribu kata per hari.

Jadi, kalua ada yang bilang perempuan lebih cerewet, mungkin itu sterotip yang perlu dievaluasi.

Demikian penjelasan saya tentang bahasa gender. Semoga bermanfaat.

 

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending