Connect with us
Kemarin malam saya menyaksikan film dokumenter tentang Manny Pacquiao. Seperti nama lain dalam olahraga, saya tidak mengetahuinya secara persis. Tahu sekilas dari media yang saya baca sekilas.
 
Sepanjang yang saya tahu, dia adalah seorang champion.
 
Sebagaimana saya melihat juara lain, dia hebat, bukan karena tangguh ketika berada di atas ring. Juara, siapa pun orangnya, hebat karena berhasil menaklukkan setiap hambatan untuk bisa berlaga di atas arena.
 
Tentu sulit untuk menahan rasa kagum ketika menyaksikan daftar pencapaian jagoan olahraga seperti Valentino Rosi, Christiano Ronaldo, atau Roger Federer beraksi. Mereka adalah berlian yang berkilauan.
 
Tetapi, saya kira, mereka berkilau karena memang lahir di tangan yang tepat. Sementara Manny Pacquiao adalah sesuatu yang lain. Dia adalah kolase antara kegigihan, determinasi, kegilaan, dan tentu saja keajaiban. Komposisi itulh yang dapat dilihat pada legenda olahraga lain seperti Pele.
 
Rosi, Ronaldo, dan Federer lahir dari sebuah komunitas bangsa yang menghargai bakat. Tetapi Pacquiao lahir dari masyaraat yang karena kebutuhan dasarnya saja tidak terpenuhi, harus tidak mengenal apa itu bakat. Kalaupun ada bakat di mata komunitas seperti ini adalah bertahan hidup. Itu jenis bakat yang paling berharga di komunitas masyarakat miskin.
 
Dia terlahir dari keluarga yang sangat miskin. Bersama keluarganya ia tinggal di rumah beratap dan berdinding daun kelapa di sebuah perkebunan yang tak pernah dijangkau kendaraan.
 
Orang tuanya demikian miskin sehingga ia dan saudara-saudaranya yang kadang-kadang tidak makan berhari-hari. Bahkan pada satu waktu, anjing yang dimiliki keluarga ini harus disembelih untuk dimakan agar mereka tidak mati kelaparan.
 
Jika itu benar-benar telah dilakukan, tentu cukup meyakinkan bahwa kemiskinan yang dialami Pacquiao dan keluarganya adalah kemiskinan dari jenis yang mengerikan.
 
Pilihan Pacquiao terhadap dunia tinju bukan pilihan rasional. Maksud saya, ia tidak memilih tinjau dengan pertimbangan yang rumit karena ia melihat bahwa dunia itu menyediakan sesuatu yang patut diperjuangkan. Ia datang ke dunia tinju karena sebuah kejaiban. Sebagaimana Pacqman katakan berkali-kali dalam film dokumenter itu, apa yang dilakukannya selama ini adalah apa yang dikehendaki Tuhan. Tidak lebih dari itu.
 
Untuk memperbaiki nasib, keluarga Pacquiao pindah ke kota Sarangani ketika ia berusia 5 tahun. Tetapi mengubah nasib adalah istilah yang terlalu sederhana jika dibandingkan dengan kenyataan. Dia dan keluarganya masih hidup dalam kemiskinan. Manny bekerja sebisa mungkin agar ia dan keluarganya bisa makan. Tetapi kondisi sulit agaknya tidak akan segera teratasi.
 
Itulah yang membuat ibu Pacquiao justru menitipkannya kepada seorang pamannya yang untuk pertama kali memperkenalkannya kepada dunia tinju. Di situlah pintu terbuka. Pacquiao memasuki dunia baru yang memberinya harapan, meski di balik harapan itu tersimpan kengerian yang sama mengerikannya dengan kemiskinan.
 
Saya terpesona melihat cara Paqman menjalani hidup. Bahwa industri tinju telah mengubah banyak hal dalam dirinya, tentu saja. Bahwa popularitas dan kekayaan telah memberi identitas baru baginya, tentu saja iya. Tetapi ada karakter dasar yang saya lihat tersimpan begitu dalam pada dirinya. Karakter itu, antara lain, adalah kerendahhatian. Ya, dia adalah pribadi yang rendah hati.
 
Ketika melihatnya sedang berbicara, saya melihat ada dua hal yang dapat saya rasakan dalam kata-katanya. Pertama adalah rasa syukur dan kebanggaan bahwa kerja kerasnya telah memberi begitu banyak hal pada dirinya. Tetapi pada saat yang sama, pada kata-katanya selalu tersimpan pengakuan bahwa pencapaian-pencapaian itu selain berharga, juga tidak ada apa-apanya.
 
Perpaduan ganjil itulah yang membuat Manny menarik perhatian saya.
 
Sebagai petinju, tentu saja, dia adalah polesan industri. Kesan publik terhadapnya, saya yakin betul, adalah hasil kerja marketing yang panjang dan berkelanjutan. Tetapi pada diri Manny, setidak-tidaknya masa lalunya, terdapat sesuatu yang tetap orisinil dan patut dipelajari sebagai kebaikan.

Salut!
 
Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending