Novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi mengantarkannya meraih Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2016. Penghargaan itu, betapa pun diakui tak membuatnya terlalu bangga, membuat namanya kian dikenal. Setidak-tidaknya: berhasil membuat orang lain lebih memperhitungkan perannya sebagai pencerita.
Senin malam dia datang ke Semarang, kampung halamannya, untuk melayani sejumlah anak muda yang ingin ngobrol dengannya. Di lantai dua Mukti Cafe, Jalan Wahid Hasyim Semarang, diskusi itu berlangsung sekitar 2 jam. Saya datang untuk ikut belajar.
Karena dia termasuk pendatang “baru” (sebutlah angkatan 2010-an) perhatian saya terhadapnya masih berkaitan dengan hal-hal mendasar. Siapa dia? Bagaimana dia berproses kreatif? Bagaimana dia berposisi dan berdisposisi dalam arena sastra Indonesia?
Sebelum menyita perhatian publik melalui Raden Mandasia, ia pernah melahirkan Rumah Kopi Singa Tertawa (2011) dan Grave Sin No. 14 and Other Stories (2015). Tetapi banyak orang, agaknya, mengenal kpirah kebudayaannya sebagai Ketua Komisi Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Dengan peran di lembaga kebudayaan sebesar DKJ, boleh dibilang, ia menikmati banyak keuntungan kultural. Salah satunya, tentu saja, komunitas kreatif. Bagi banyak pengarang, komunitas kreatif itu tak sekadar perlu, tapi amat penting.
Dia sendiri menyarankan anak-anak muda (berarti doi belagak tua, ya? Hehe) agar membuat komunitas belajar kalau mau belajar nulis. Komunitas inilah yang siap “membantai” karya kita sebelum karya itu keluar untuk dinikmati publik.
Publik mencatat, lembaga seperti DKJ telah menjadi ruang belajar yang membesarkan banyak orang. Bukan sekadar menahbiskan pengarang melalui sayembara yang rutin digelarnya, DKJ punya “jasa” tak kecil melalui kelas kepenulisan yang diadakannya.
Dalam lingkungan kreatif seperti itu, aku menyangka, dia tumbuh dan membangun fondasi kepengaranannya.
Situasi macam itu semakin cocok karena dia sendiri telah lama bergiat di dunia penerbitan. Ia adalah pemilik Penerbit Banana. Novel-novelnya ia terbitkan melalui penerbit yang dimilikinya.
Dia bilang “Menerbitkan novel sendiri membuatku lebih punya akses melihat penetrasi karya-karyaku, apakah diterima pembaca atau tidak,” katanya.
Saya melihat kpirahnya di DKJ dan kiprahnya sebagai pemiliki Penerbit Banana adalah modal kultural yang berperan menunjang karier kepengarannya.
Untuk dibandingkan dengan penulis kawakan di Indonesia, Paman Yusi barangkali “baru” memulai tahapan baru. Karena itulah, menarik untuk melihatnya terus tumbuh jadi penulis yang hebat, kelak. Menarik pula untuk melihat bagaimana ia bernegosisasi dengan sastrawan lain, lembaga kebudayaan lain, juga termasuk dinamika pasar sastra, kelak.
Rahmat Petuguran
-
Muda & Gembira10 years ago
Kalau Kamu Masih Mendewakan IPK Tinggi, Renungkanlah 15 Pertanyaan Ini
-
Muda & Gembira10 years ago
Inilah 10 Sifat Orang Ngapak yang Patut Dibanggakan
-
Muda & Gembira9 years ago
Sembilan Kebahagiaan yang Bisa Kamu Rasakan Jika Berteman dengan Orang Jepara
-
Lowongan10 years ago
Lowongan Dosen Akademi Teknik Elektro Medik (ATEM), Deadline 24 Juni
-
Muda & Gembira9 years ago
SMS Lucu Mahasiswa ke Dosen: Kapan Bapak Bisa Temui Saya?
-
Muda & Gembira10 years ago
Inilah 25 Rahasia Dosen yang Wajib Diketahui Mahasiswa
-
Kampus11 years ago
Akpelni – Akademi Pelayaran Niaga Indonesia
-
Kampus13 years ago
Unwahas – Universitas Wahid Hasyim