Connect with us

Seorang perempuan Katolik memberi hadiah buka puasa kepada sopir ojek daring.

Sejumlah anak TK Katolik mendatangi TK Islam dan berbagi keceriaan.

Jamaah sebuah pura membagikan santapan berbuka kepada saudara Muslimnya.

Kalau Anda pengguna aktif Facebook, ketiga berita itu kemungkinan besar sempat singgah di beranda Anda. Entah terperhatikan, entah tidak.

Yang menarik, ketiga peristiwa itu dikomentari dengan amat haru. Kebanyakan komentar di posting itu mengglorifikasi peristiwa itu sebagai peristiwa besar dan sangat beramakna.

Komentar haru biru itu, menurut saya janggal. Sebab, ketiga peristiwa di atas sebenarnya biasa saja. Bahkan dalam bentuknya yang lain, itu sudah menjadi keseharian masyarakat di Indonesia selama puluhan tahun silam.

Lihatlah, bukankah sebelum postingan-postingan berlabel toleransi itu, kita sering mendapati keguyuban antaragama yang sama?

Di kampung tempat saya tinggal, warga Katolik mengirim takjil lewat pintu belakang rumah. Suaminya memaving gang bersama-sama saat ada kerja bakti. Ketika ada warga meninggal, pasangan suami istri ini takziah dan bahkan turut menyiapkan tenda.

Jika hidup di masyarakat heterogen, saya kira Anda juga mengalami keguyuban yang sama. Anak Anda mungkin punya teman sekolah beda agama dan sekali waktu main ke rumah. Di sekolah kita punya guru berbeda agama yang kita hormati sama seperti kita menghormati guru lainnya.

Jika momentum kerukunan itu telah menjadi keseharian, kenapa musti dirayakan? Apa yang membuatnya masih mengharu-biru jika peristiwa itu sudah jadi keniscayaan? Apakah peristiwa itu benar-benar sudah menjadi langka atau kita saja yang mempersepsinya telah langka?

Dari analisis wacana, saya menduga penggunaan kata “toleransi” membuat hal-hal semacam itu tiba-tiba menjadi asing. Ini tampak spekulatif, tapi bisa kita runut argumentasinya (dengan durasi tulisan yang lebih panjang).

Saat pertikaian antargama muncul, orang riuh menjadikan “toleransi” sebagai obatnya. Dengan istilah baru itu, toleransi seperti dimaknai sebagai sesuatu yang baru pula. Akibatnya, gagasan yang ada di balik istilah itu menjadi asing.

Ketika kerukunan antaragama disebut toleransi, ia diposisikan sebagai sesuatu yang hebat dan menggairahkan. Dengan istilah itu, peristiwa keseharian yang dilabeli sebagai toleransi dianggap amat berharga. Padahal substansi peristiwanya adalah peristiwa biasa.

Jika analisis ini dilanjutkan, misalnya, menggunakan analisis wacana kritis (AWK) kita bisa menjajaki kemungkinan apa agenda di balik popularitas istilah “toleransi” dan meredupnya popularitas kata “rukun”, “guyub” dan sejenisnya.

Kemungkinan itu terbuka, karena setiap istilah (meskipun bersinonim) memiliki makna dan menghasilkan intepretasi yang berbeda. Adapun interpretasi yang berbeda akan melahirkan pandangan dunia (worldview) yang berbeda. Akhirnya, itu menghasilkan praksis sosial yang berbeda pula.

Masyarakat, kemudian hari, mungkin akan heran ketika kata “toleransi” sudah menjadi konsep yang demikian mapan dan secara konseptual ternyata telah begitu jauh maknanya dengan kata “rukun”. Sementara toleransi menjadi demikian mewah dan berharga, rukun dan guyub menjadi asing dan kurang bermakna.

Apakah ini kecurigaan berlebih? Bisa jadi.

Rahmat Petuguran
Pemimpin Redaksi PORTALSEMARANG.COM

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending