Connect with us

Lahir dari keluarga perokok, saya sudah ketularan ngrokok sejak kelas tiga SMP. Awalnya diam-diam tapi kemudian ketahuan orang tua. Awalnya mereka negur, marah. Tapi karena saya masih ngrokok juga, mereka mulai bosan. Masuk SMA, saya sudah biasa berbagi rokok dengan kakak. Klepas klepus di rumah.

Saat masih bocah, saya suka main petasan. Ibu menaihati sekaligus melarang karena petasan berbahaya dan mengganggu orang lain. Sejak saat itu saya berhenti main petasan. Meskipun punya uang saat puasa dan lebaran, saya tidak pernah sekalipun beli petasan.

Dua kejadian itu bikin saya mikir, kenapa nasihat dari orang yang sama tapi endingnya beda. Argumentasi dua nsihat tadi kurang lebih sama. Rokok dan petasan itu tindakan pemborosan, karena sama sekali tidak berkaitan dengan kebutuhan dasar. Rokok dan petasan sama-sama bisa membawa akibat buruk bagi kesehatan dan keselamatan. Rokok dan petasan juga bisa mengganggu orang lain.

Kenapa pada petasan saya bisa indahkan nasihat ibu, tapi tidak pada rokok? Memang sih, merokok itu kesenangan pribadi. Prinsip saya, setiap orang punya hak menyenangkan diri asal tidak mengganggu orang lain.

Tapi terus terang, argumentasi saya ini cuma cocok untuk dikatakan. Saat lidah mulai kecut dan segera pengin ngrokok, kadang saya ngrokok suka-suka. Terutama sehabis makan di warung. Ambil rokok, nyalakan, dan bullll. Saat seperti itu saya tidak selalu cermati apakah ada orang (terutama perempuan) di sekitar yang merasa terganggu atau tidak. Artinya, argumentasi saya di atas bahwa rokok itu kesenangan pribadi sebenarnya saya ingkari.

Banyak teman nonperokok (termasuk teman istimewa, :-)) yang ajak diskusi tentang untung rugi rokok. Ada yang jelaskan dari aspek ekonomi, kesehatan, sampai-sampai ke persoalan ideologi dan agama.

Kalau dari aspek ekonomi, paling banyak teman bicara soal pemborosan. Mereka akan kalkulasi uang yang dihabiskan untuk beli rokok pada rentang waktu tertentu. Dia kira, kalau angkanya spektakuler saya akan merasa sayang dengan uang yang saya habiskan. Tapi nyatanya tidak.

Dari aspek kesehatan, argumentasi paling sering dipakai adalah soal risiko penyakit. Di bungkus rokok sendiri sudah disebutkan, merokok dapat menyebabkan kanker, inpotensi, bla bla bla. Tapi suwer, penjelasan itu gak bikin saya takut. Lha buktinya, banyak orang di kampung saya yang ngrokok puluhan tahun baik-baik saja. Jadi?

Nah, kalau penjelasan ideologi, yang paling sering saya dengar adalah soal industri. Industri rokok itu murni kerjaan kapitalis. Harga rokok yang sebegitu mahal ga punya relevansi dengan kesejahteraan petani tembakau atau buruh linting. Karena itu, menjadi perokok adalah tindakan yang tepat membuat orang paling kaya di Indonesia semakin bertambah kaya.

Tapi penjelasan itu pun gak masuk dalam pikiran saya. Lha kalau mau dianggap sebagai representasi kerakusan, semua produk kan begitu to? Pakai pasta gigi aja sudah memperkaya perusahaan multinasional. Jangankan pasta gigi, cotton bud saja produk idnsutri besar kok. Masa gara-gara itu gak boleh pakai cootn bud?

Inilah kondisi yang bikin saya mikir, ternyata gak ada sugesti dari luar yang bisa bikin perokok bisa berhenti. Atau dalam bahasa saya, tidak ada bahasa di dunia ini yang bisa digunakan untuk menghentikan perokok. Bahasa apa pun, dari bahasa akadmeik, bahasa agama, sampai bahasa jalanan, akan mentok. Makanya, meminta orang untuk berhenti ngrokok adalah kerjaan paling sia-sia di dunia, meskipun para perokok sendiri sudah tahu kalau rokok lebih banyak mudharatnya.

Makanya, saya sering cerita sama teman-teman cewek, kalau mau pacaran dengan cowok perokok ya terima saja apa adanya. Ga usah bawel nyuruh dia berhenti. Kalau emang kamu ga nyaman karena dia ngerokok, saya sudah tinggalkan saja. Percuma diajak diskusi, apalagi debat. Diskusi dan debat itu soal menggunakan pikiran, sedangkan keputusan untuk ngrokok adalah keputusan yang tidak didasarkan pada itu.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending