Connect with us

Ini tengang sikap partisan. Otak manusia telah berevolusi menjadi demikian canggih. Bukan hanya volumenya menjadi relatif besar dibanding otak primata lain, tapi juga memiliki pembagian kerja yang kompleks.

Pembagian peran ini memungkinkan pikiran manusia menangani tugas yang amat beragam.

Otak manusia bukan saja menjadi kendali bagi keputusan-keputusan logis, tetapi juga keputusan emosional, etis, dan estetis.

Sejarawan Yuval Noah Harari menyebut, evolusi pemikiran telah membuat otak manusia memiliki fungsi khas yang tidak dimiliki primata lain: berimajinasi.

Dengan miliaran sel di dalamnya (dan konon baru sebagian kecil yang digunakan), otak manusia dirancang untuk bekerja keras.

Saya berhipotesis, kecanggihan otak manusia juga memungkinkannya menangani kondisi paradoksal dan dilema secara seksama.

Eksperimen berjudul “The Trolley Problem” digunakan para psikolog untuk melihat bagaimana otak manusia menangani dilema moral.

Masalah dalam eksperimen itu, kurang lebih adalah: apakah Anda akan bertindak menyelamatkan 5 orang dengan mengorbankan satu orang atau Anda akan diam saja membiarkan lima orang terbunuh agar satu orang yang mungkin Anda pertahankan hidupnya bisa selamat?

Saat menengani kondisi itu, ternyata ada dua bagian otak yang bekerja yaitu prefrontal cortex (PFC) dan amygdala yang membuat kedua bagian otak itu saling sandra.

Bagi PFC, menyelamatkan 5 orang yang terancam bahaya dan mengorbankan satu orang adalah tindakan yang patut dipilih. Kalkulasi logisnya sederhana karena 5>1..

Tapi bagi amygdala, mengorbankan satu orang yang sama sekali tidak dalam bahaya adalah pelanggaran moral.

Dalam dilema itu, bagaimana otak bekerja untuk menghasilkan keputusan akhir?

Eksperimen itu saya tafsir bahwa otak manusia terlatih untuk saling “mengawasi” antara bagian satu dengan bagian lain. Proses inilah yang membuat orang ragu-ragu atau dilema.

Ketika orang merasa ragu-raguan, itu artinya, bagian-bagian otak sedang bekerja mempertimbangkan kemungkinan dari berbagai sudut pandang.

Mekanisme ini agaknya diperlukan agar otak bisa menghasilkan keputusan terbaik, bukan sekadar keputusan cepat atau sekadar keputusan yang menyenangkan.

Keragu-raguan semacam inilah yang tampaknya tidak dimiliki para partisan. Bagi para partisan, sebuah persoalan menjadi sederhana karena pilihan-pilihan yang tersedia tampak berseberangan: baik-buruk, bagus-jelek.

Bagi partisan, segala sesuatu yang dipilihnya adalah baik. Tidak peduli bagaimana jahat aslinya, otak akan mempersepsi bahwa yang dipilihnya adalah baik. Fakta-fakta yang menunjukkan bahwa pilihannya kurang baik atau buruk akan ditolak.

Sebaliknya, sesuatu yang tidak dipilihnya adalah jahat. Fakta-fakta yang menegasikan sikap itu akan ditolak, dianggap tidak bermakna, atau kurang relevan.

Sikap partisan semacan ini agaknya menggambarkan mekanisme saling kontrol antarbagian otak tidak berjalan. Sikap ini membuat salah satu bagian bekerja secara dominan menyingkirkan peran lainnya.

Karena tidak “diawasi” oleh bagian otak lain, pertimbangan salah satu bagian otak tidak terkontrol bagian lainnya. Otak bekerja dengan relatif cepat dan mudah namun tidak mengoptimalkan potensi alamiah yang dimilikinya.

Akibatnya, otak tidak bisa kritis terhadap berbagai kemungkinan yang tersedia.

Argumentasi inilah yang membuat saya berhipotesis bahwa sikap partisan berpotensi merusak fungsi kerja otak.

Dengan begitu, semakin partisan sikap seseorang akan semakin tidak optimal kerja otaknya sehingga semakin tidak kritis, alias semakin goblok.

Begitukah?

Salam,
Rahmat Petuguran

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending