Kolom
Sampai Kapan Manusia Bersolek?
Ada orang yang mulai merias diri sejak sebelum Subuh untuk mempersiapkan acara yang dimulai pukul delapan pagi. Empat jam berdandan untuk jam kegiatan. Dan kegiatan itu adalah wisuda: orang yang berdandan empat jam duduk bersama ribuan orang lain yang juga berdandan. Sama, seragam, standar, tidak unik.
Bagi saya, aktivitas bersolek semacam ini adalah keganjilan jenis baru yang tidak dapat mudah dipahami. Ini jenis aktivitas yang sama sekali berbeda dengan aktivitas sosial kebanyakan.
Aktivitas bersolek agaknya bermula dari tradisi kaum borjuis Eropa. Mereka adalah para bangsawan dan anak turunannya. Dengan keleluasaan finansial, mereka membeli banyak bahan pakaian untuk merias diri.
Pada masa itu, bersolak punya tujuan jelas: menegaskan kelas. Para bangsawan perlu berdandan dengan lebih necis dan wangi agar tidak tampak sama dengan buruh perkebunan yang mereka pekerjakan. Mendandani diri adalah ikhtiar performatif yang dilakukan untuk memaksa orang lain menerimanya pada lingkungan elit.
Bagi kaum snob masa kini, bersolek bukan lagi penegasan kelas. Bersolek adalah fantasi tanpa batas yang dipicu kompetisi sosial. Bersolek tidak lagi menjadi tiket masuk kelas tertentu, tapi pernyataan perang. Dengan bersolek kaum snob menyatakan bahwa dirinya adalah yang paling di antara yang paling.
Orang Jawa juga bersolek. Motifnya: beragam. Para priayi punya motif yang sama dengan bangsawan Eropa. Kelas. Tapi orang Jawa pedalaman, agaknya punya motif yang berbeda. Mereka bersolek sebagai tanda hormat kepada liyan. Meski simplifikatif, ini pembacaan yang patut dipertimbangan.
Saat menerima tamu, misalnya, orang Jawa pedalaman menggunakan pakaian yang layak. Mereka akan mengganti kaos oblong kumal yang baru dipakai dari sawah dengan kemeja atau bahkan batik. Ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan.
Ketika hendak sembahyang, mereka juga bersolek. Mereka memilih pakaian paling bersih, sarung yang tersetrika, dan bahkan wangi-wangian. Karena ibadah kerap dilakukan di kamar yang sunyi, tanpa pengawasan orang lain, musthil tindakan ini dilakukan sebagai penegasan kelas. Dalam kondisi itu, bersolek adalah ikhtiar melayakkan diri menghadap Dzat yang paling layak.
Ragam aktivitas bersolek itu agaknya menggambarkan keyakinan yang mengendap dalam pikiran seseroang. Ada tata nilai yang rapi dalam diri seseroang sehingga menggerakan seseoroang untuk bersolek.
Pertanyaannya: keyakinan semacam apa yang menggerakan seorang wisudawan rela berdandan empat jam lamanya? Bukankah saat diwisuda ada ribuan wisudawan lain juga berandan dengan style yang sama? Artinya, bersolek standar ala wisudawan sebenarnya sama sekali tidak membantu mereka tampil istimewa bukan?
Kalau ingin tampak keren dan unik, bukankah mestinya wisudawan tidak berdandan justru pada hari di mana semua orang berdandan?
Rahmat Petuguran
Sumber gambar: di sini.
-
Muda & Gembira10 years ago
Kalau Kamu Masih Mendewakan IPK Tinggi, Renungkanlah 15 Pertanyaan Ini
-
Muda & Gembira9 years ago
Sembilan Kebahagiaan yang Bisa Kamu Rasakan Jika Berteman dengan Orang Jepara
-
Muda & Gembira10 years ago
Inilah 10 Sifat Orang Ngapak yang Patut Dibanggakan
-
Lowongan10 years ago
Lowongan Dosen Akademi Teknik Elektro Medik (ATEM), Deadline 24 Juni
-
Muda & Gembira9 years ago
SMS Lucu Mahasiswa ke Dosen: Kapan Bapak Bisa Temui Saya?
-
Muda & Gembira10 years ago
Inilah 25 Rahasia Dosen yang Wajib Diketahui Mahasiswa
-
Kampus11 years ago
Akpelni – Akademi Pelayaran Niaga Indonesia
-
Kampus13 years ago
Unwahas – Universitas Wahid Hasyim
Ima Rismaya
October 20, 2015 at 1:37 pm
my conclusion is ” menjadi berbeda itu special” .
rahmat petuguran
October 20, 2015 at 1:40 pm
Makanya saya bingung, mengapa wisudawan/wati justru bersolek untuk menyetandarkan diri. 🙂