Connect with us

Oleh Azalia Yustika Setiawan*

Pola asuh orang tua memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi kesehatan mental anak khususnya terhadap kepercayaan diri anak.

Dilansir dari Suara.com, Selasa (10/3/2020), Indonesia baru-baru ini digemparkan dengan kabar mengejutkan dari Sawah Besar, remaja berusia 15 tahun membunuh bocah 10 tahun dibawahnya. Kabar ini tentu mencuri perhatian besar semua pihak, mulai dari masyarakat umum, orang tua, bahkan psikolog dan badan-badan berwenang yang fokus dalam bidang perlindungan anak. Bagaimana bisa gadis yang masih masuk dalam kategori anak dibawah umur ini menjadi sosok mengerikan seperti tokoh pada film yang ditontonnya.

Diketahui bahwa remaja ini berasal dari kondisi keluarga broken home. Remaja yang dikenal pendiam karena jarang bersosialisasi dengan tetangga dan lingkungan sekitarnya, serta kerinduan terhadap sosok ayah yang tertuang dalam curahan hati pada gambar-gambarnya menjadi bahan assement pihak kepolisian dan para psikolog.

Psikolog Liza M Djapri dalam laman Suara.com, Senin (9/3/2020), mengungkapkan bahwa ada kemungkinan remaja ini memiliki gangguan kepribadian psikopat dan skizofrenia. Dapat dikatakan demikian berdasar atas perilaku yang ditunjukkan secara terang-terangan oleh remaja ini, yang mana seluruh perilakunya yang menyebabkan serangkaian kejadian pra dan pasca pembunuhan sangat menunjukkan kecondongan remaja pada diagnosis ini.

Kejadian ini tentu harusnya menjadi fokus dan perhatian besar masyarakat luas, khususnya orang tua sebagai lingkup terdekat anak. Masyarakat dewasa ini semakin maju dan berkembang tetapi pada kenyataannya masih miris kurvanya jika sudah membahas kesadaran akan kondisi kesehatan mental. Orang tua pun begitu, agaknya marak sekali pernikahan di usia muda yang mana sebagian besar dari mereka tidak sadar bahwa persiapan parenting masih sangat minim. Hal inilah yang menjadi sebab banyak pula lahirnya generasi yang tanpa disadari memiliki luar yang baik padahal ia pendam buruk didalamnya.

Pola asuh orang tua dapat dikatakan menjadi tonggak pertama dan utama patokan sehat tidaknya mental seorang anak. Pengasuhan yang mengabaikan, seperti tidak pernah fokus pada anak, kurangnya perhatian dan waktu dalam mendengarkan apa yang anak ingin ceritakan tentang dirinya maupun aktivitas kesehariannya menjadi salah satu faktor dari timbulnya rasa tidak percaya diri anak. Kurangnya apresiasi orang tua terhadap pencapaian dan apa yang telah berusaha dilakukan oleh anak juga menjadi faktor lain dari timbulnya rasa tidak percaya diri pada anak.

Jika orang tua sebagai lingkungan terdekatnya saja tidak memiliki ketertarikan terhadap apa yang sedang menjadi interest nya, maka bagaimana mungkin ia dapat percaya diri mengekspresikan hal tersebut pada orang-orang diluar lingkungan terdekatnya itu. Muaranya adalah dikhawatirkan anak menjadi terbiasa memendam apa yang sedang ia rasakan dan sulitnya anak dalam mengekspresikan apa yang sedang menjadi emosinya. Anak akan memilih untuk menarik diri dari lingkungan sekitarnya dan berdampak pula pada semakin jauhnya anak dari jangkauan orang tua karena hilangnya respect anak terhadap orang tuanya. Hal ini tentu sudah sangat tidak baik untuk perkembangan mental anak, serta pada hubungan orang tua dan anak itu sendiri.

Lemahnya pengawasan dan perhatian orang tua terhadap apa yang sedang anak senangi dan bagaimana mood nya akan memberikan dampak yang sangat fatal seperti kasus remaja di Sawah Besar tersebut, yang mana perilaku yang ditunjukkan olehnya adalah bentuk dari buruknya ia dalam mengekspresikan apa yang menjadi emosinya dan gagalnya ia dalam mencerna film yang tentu tidak sesuai dengan usianya. Orang tua harus memberikan perhatian dan pengawasan yang tepat pada setiap anaknya. Hurlocks (1999) mengatakan apabila dalam keluarga diciptakan hubungan yang erat satu sama lain, harmonis, saling menghargai satu sama lain dan memberikan contoh yang baik akan memberikan pandangan yang positif pada anak dalam membentuk identitas diri.

Orang tua diharapkan lebih aware terhadap kondisi kesehatan mental anaknya, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan dirinya. Orang tua seharusnya lebih berorientasi pada proses bukan hasil, dengan mampu mengapresiasi setiap usaha anak dalam melakukan atau mencapai sesuatu, memberikan dukungan bukan kritikan, serta meluangkan waktu untuk menjadi teman bicara dan pendengar yang baik untuk anak. Dengan ini anak akan merasa lebih dihargai, berharga, dan bernilai di mata orang tuanya sehingga akan membentuk konsep diri yang positif pada dirinya.  Karena pola asuh yang baik dan tepat akan mampu mencetak karakter anak yang baik serta mental anak yang sehat.

 

*Azalia Yustika Setiawan, mahasiswa Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, FIP UNNES.

Artikel ini dipublikasikan sebagai hasil latihan mahasiswa peserta mata kuliah jurnalistik dari jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP UNNES

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending