Connect with us

Terus terang, saya masih belum move on dengan clemongan nakal para demonstran. Bahasa yang mereka pakai unik dan penting.

Unik karena relatif baru, jarang terjadi, sekaligus ganjil. Tapi bahasa mereka juga penting, terutama karena pilihan bahasa mereka menggambarkan sesuatu yang lebih besar dari clemongan itu sendiri. Cara mereka menggunakan bahasa menggambarkan etik dan etos baru pada generasi baru.

Sebagai pengajar sosiolinguistik, saya meyakini betul bahwa bahasa adalah identitas personal dan komunal yang sahih. Jenis dan cara bahasa digunakan menggambarkan karakter mental, sosial, dan budaya penggunanya.

Karena itu, perilaku bahasa bisa menjadi perkamen otentik untuk menelusuri identitas dan bahkan ideologi penggunanya.

Argumentasi itulah yang membuat bahasa selalu memiliki informasi implikasional (informasi terbenam) tentang penuturnya.

Hipotesis ini relevan dengan model perubahan yang digagas sosiolog Talcot Parson. Menurutnya, sistem perilaku dikendalikan oleh sistem kepribadian. Sistem kepribadian dikendalikan oleh sistem sosial. Adapun sistem sosial dikendalikan sistem budaya.

Bahasa adalah satu jenis perilaku. Karena itu, jenis dan cara berbahasa seseorang dikendalikan kepribadiannya.

Lalu, kepribadian macam apa yang memungkinan lahirnya kata selucu itu dalam aksi demonstrasi yang mengusung agenda amat penting itu?

Salah satu penjelasan paling masuk akal saya peroleh dari Jamie Notter dan Maddie Grant, penulis buku When Milenials Tak Over.

Berdasarkan penelitian mereka, ada empat etos dasar milenial yaitu digital, cepat, lentur, dan terbuka. Tapi saya merasa perlu menambahkan satu hal lagi: terkoneksi.

Kombinasi lima etos itulah yang membuat milenials sebagai subjek sosial memiliki kekuatan konstruktif sekaligus destruktif luar biasa dalam mengubah wajah peradaban kita hari ini.

Sifat lentur dan terbuka adalah sifat yang amat terkait dengan lahirnya perilaku milenial dalam konteks ini. Sebab, kelenturan dan keterbukaan memungkinkan mereka menerima hal baru sekaligus mengawinkannya dengan hal-hal lama.

Di tangan milenial, dua hal yang tampak sangat berjarak sehingga tampak sebagai pilihan biner justru digabung. Yang serius dan yang guyon bisa digabung. Yang sakral dan yang profan bisa menjadi satu. Yang fisik dan yang digital bisa dikombinasikan. Yang penting dan yang receh pun bisa dirangkai.

Sifat itu membuat milenial ogah memilih salah satu dari dua kondisi yang selama ini didudukkan sebagai pilihan biner. Mereka ogah memilih serius atau santai sebab merasa bisa serius sekaligus santai.

Etos serius sekaligus santai itulah yang membuat clemongan-clemongan menggelitik itu bisa lahir.

Itu tergambar dalam sejumlah “kekacauan” di berbagai bidang yang menjadi portofolio mereka.

Saat mereka pengin kerja sekaligus santai, mereka bikin sistem kerja bercita rasa liburan. Saat mereka ingin kaya tapi tak mau meninggalkan kesenangannya, mereka bikin sistem yang membuat hobi jadi sumber penghasilan. Saat mereka pengin saleh tapi tetap trendi, mereka ciptakan gaya hidup yang memungkinkan keduanya.

Dengan etos lentur dan terbuka, milenial terbukti bisa menggabungkan hal-hal yang tampak bertentangan itu dalam satu ekspresi. Politik sekaligus seru-seruan, kenapa tidak? Demonstrasi sekaligus yang-yangan, why not Brooh?

Kayaknya sih begitu.

Rahmat Petuguran
Generasi post-yangyangan

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending